Kompas Jawa Barat, Kamis, 5 April 2007
Perdagangan Perempuan dan Anak R. Valentina Sagala Seperti di banyak tempat di seluruh dunia, di kota Bandung, puluhan masyarakat dan aktivis sejumlah organisasi massa mendatangi Kompleks Gedung Sate Bandung, memperingati Hari Perempuan Internasional (Kompas Jabar, 9/3). Sebelumnya, di kota yang sama, Polres Bandung membongkar kasus perdagangan (trafficking) perempuan ke pulau Batam. Dua korban yang berhasil diselamatkan, adalah warga Kabupaten Bandung. Keduanya berusia anak (Kompas Jabar, 1/3). Pada waktu yang sama, diberitakan inisiatif DPRD Kalimantan Barat (Kalbar) menggulirkan peraturan daerah (perda) tentang perdagangan orang. Bagi DPRD Kalbar, alasan pembentukan perda itu dianggap penting dan mendesak, karena Kalbar berada di peringkat ketiga dalam hal kasus perdagangan orang, setelah Jawa Timur dan Jawa Barat (Kompas Jabar, 1/3). Lantas mengapa hingga kini provinsi Jawa Barat (Jabar) masih enggan melahirkan Perda serupa guna melindungi perempuan dan anak dari trafficking? Persoalan perempuan dan anak tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Dalam kaitannya dengan eksploitasi seksual, penelitian PKPM Unika Atmajaya-UNFPA (2003) mengungkapkan bahwa kemiskinan, pendidikan yang rendah, serta budaya masyarakat merupakan kombinasi yang menyebabkan perempuan dan anak terjebak di sektor industri seks. Hasil Penelitian PKBI Jabar tahun 2003 di daerah lokalisasi di Bandung menunjukkan, 77,6 persen alasan perempuan memilih pekerjaan sebagai pekerja seks karena tekanan ekonomi atau kemiskinan. Di Jabar, jumlah keluarga miskin pada tahun 2003, sebanyak 2.664.478 atau 27,81 persen dari total keluarga. Angka ini tentulah tidak cukup untuk menggambarkan substansi pemiskinan (impoverishment) yang dialami masyarakat Jabar, terutama mereka di pedesaan yang mesti berhadapan dengan kebijakan agraria yang kapitalistik dan berbagai situasi lainnya seperti kekeringan, buruknya pengaturan irigasi yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat, dsb. Inilah mengapa di area pedesaan di Jabar yang tadinya lumbung padi Indonesia, kini lebih dikenal sebagai daerah pengirim buruh migran, anak yang dilacurkan, dan korban trafficking. Simbol sukses kekayaan Tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah juga menjadi faktor signifikan. Ditambah budaya masyarakat, seperti simbol sukses dan status tinggi di komunitas yang didasarkan pada kekayaan, nilai anak yang harus berbakti pada orang tua yang ditafsirkan dalam bentuk sumbangan materi, serta sikap toleransi terhadap cara memperoleh uang. Meski masih berusia belia, tidak sedikit anak-anak Jabar yang terjebak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Kajian Cepat ILO-IPEC di Jabar (2004) menunjukkan bahwa anak yang bekerja di bentuk pekerjaan terburuk, terancam luka seperti cedera akibat kena pisau, gunting, tertusuk jarum, jari terjahit, cedera bakar, dan terkena bahan kimia, mulai dari lem, pelarut, hingga bensin. Sedangkan gangguan kesehatan yang paling sering dialami adalah kejang lengan, pusing, mudah lelah, masalah pernafasan (batuk, TBC), iritasi kulit, gatal-gatal, tekanan darah tinggi, pegal mata, serta sakit otot. ILO mencatat bahwa anak-anak yang dilacurkan berasal dari daerah Indramayu, Subang, Cirebon, Banten, Karawang, Cianjur, Sukabumi, kuningan dan Bandung (2004). Sebanyak 39 persen pekerja hiburan di kota Bandung berusia anak, dengan usia termuda 14 tahun, berasal dari Kota Bandung (39 persen), Kabupaten Bandung (21 persen), kota lainnya di Jabar (31,6 persen), dan sisanya dari luar Jabar. Sebesar 43,5 persen merupakan korban trafficking, dijual pada usia paling muda 14 tahun dengan usia 17 tahun sebagai usia terawan (LPA Jabar, 2003). Tidak hanya diperdagangkan ke luar Jabar, lokasi seks di pantura terbentang dari Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu hingga Cirebon, tersebar di sekitar 100 warung makan, kafe dan tempat karaoke. Sebagian besar mereka berusia 14 hingga kurang dari 20 tahun (ILO, 2003). Perlindungan Hukum Dengan situasi ini, yang ironis dari provinsi Jabar, tentu saja kenyataan bahwa hingga kini belum ada perda untuk mencegah dan menghapuskan trafficking, eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), serta bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Menariknya, tak banyak orang tahu, sesungguhnya pada tahun 2004, pemerintah Jabar bersama dengan Badan Perencanaan Daerah Jabar, Lembaga Perlindungan Anak Jabar, dan organisasi non pemerintah, telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, ESKA, dan Perdagangan Perempuan dan Anak di Provinsi Jawa Barat. Strategi menghapuskan ESKA Secara substansi, definisi trafficking, ESKA, serta bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang diatur dalam RAD ini telah pula selaras dengan ketentuan internasional dan nasional mengenai trafficking, ESKA, dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, di antaranya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The prohibition and Immediate Action For The elimination of The Worst Forms of Child Labour, dan Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia pada 12 Desember 2002. Sebagai sebuah RAD, RAD ini telah cukup komprehensif, dimana di dalamnya telah tercakup visi, misi, strategi provinsi Jabar untuk mencegah dan menghapuskan trafficking, eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dijabarkan pula di dalamnya program kegiatan, mulai dari koordinasi dan kerjasama, pencegahan, perlindungan, pemulihan dan strategi, partisipasi anak, serta monitoring dan evaluasi. RAD tersebut telah dicetak, diperbanyak, dan didistribusikan pada unsur Dinas Terkait (Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial), Bapeda, BPMD, BKKBN, TP-PKK, BKOW, dan LSM-LSM. Dalam buku RAD tersebut, Bapak Danny Setiawan selaku Gubernur Jawa Barat telah pula memberikan sepatah dua patah kata pengantar dan menandatanganinya. Namun dalam konteks hukum, amatlah disayangkan jika RAD tersebut berakhir hanya sebagai sebuah dokumen yang tidak bergigi. RAD ini belumlah memiliki kekuatan hukum, kecuali kekuatan moral. Dengan kata lain, RAD ini seperti ada dan tiada. Sebab, sesuai UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di tingkat provinsi, setidaknya, keberadaan Perda lah yang dapat diperhitungkan, dilanjutkan dengan Peraturan Gubernur. Dalam Laporan Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) di Indonesia Tahun 2004-2005 yang dikeluarkan Kementerian Negara Bidang Kesejahteraan Rakyat misalnya, tertera bahwa daerah diharapkan membentuk gugus tugas yang akan menyusun RAD. Namun RAD itu mestilah dikongkritkan dalam bentuk produk hukum yang ada. Menteri Dalam Negeri telah memberi dukungan melalui Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Surat tersebut mengarahkan bahwa sebagai focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani perempuan dan anak. Daerah-daerah pengirim (sumber), transit, dan daerah perbatasan, menjadi daerah yang diprioritaskan untuk segera membentuk gugus tugas, maupun melahirkan peraturan daerah (Perda). Tercatat dua propinsi yang saat ini telah memiliki Perda penghapusan perdagangan orang: Propinsi Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafiking) Terutama Perempuan dan Anak dan Perda Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Kalbar akan menyusul. Bagaimana dengan Jabar? *Feminis, Executive of Board Institut Perempuan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung ____________________________________________________________________________________ No need to miss a message. Get email on-the-go with Yahoo! Mail for Mobile. Get started. http://mobile.yahoo.com/mail