(Artikel ini juga disajikan dalam website

http://perso.club-internet.fr/kontak)



                        Bagi-bagi duit Bulog




Di tengah-tengah banyaknya berita tentang korupsi di Indonesia,  antara lain
kasus uang haram Tommy Suharto yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi RI,
pers kita juga heboh dengan “berita gila” tentang uang haram yang disimpan
di tiga ember kamar mandi oleh petinggi Bulog, Wijanarko Puspoyo.  Dia
disangka korupsi dalam proyek pengadaan sapi  (secara fiktif) dengan nilai
Rp 11 miliar.  Mengingat sudah seringnya terjadi korupsi besar-besaran di
Bulog sejak tahun 1967, yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi Orde
Baru, maka menarik sekali dua tulisan yang dimuat oleh majalah Tempo
penerbitan 2-8 April 2007. Dari tulisan ini kelihatan sekali bahwa Bulog
sudah sejak lama merupakan sarang korupsi besar-besaran oleh tokoh-tokoh
Orba. Bulog adalah contoh sebagian kecil sekali dari kebobrokan moral dari
pendukung-pendukung rejim militer Suharto. Cuplikan dari dua tulisan
tersebut adalah sebagai berikut :


 ”Widjanarko Puspoyo merupakan petinggi Bulog kelima yang harus berurusan
dengan sel tahanan. Sebelumnya Rahardi Ramelan juga pernah menjadi penghuni
penjara Cipinang. Dalam kasus Rahardi terseret juga mantan Menteri
Sekretaris Negara Akbar Tandjung. Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu
berhasil lolos.

Sebelum Rahardi, Menteri Koperasi merangkap Kepala Bulog Bustanil Arifin
sempat mencicipi pengalaman menjadi tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Orang pertama Bulog lain yang sampai sekarang dipenjarakan adalah Beddu
Amang. Dalam kasus lain, Wakil Kepala Bulog Sapuan termasuk yang pernah
dihukum. Kasus Sapuan menyeret mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yang
kemudian dilengserkan MPR.

Itu artinya, misi lembaga yang didirikan pada 10 Mei 1967 ini banyak
digerogoti akal busuk untuk mencari duit tak halal—bagi kepentingan pribadi
atau kelompok. Bulog pun kemudian terkenal bukan sebagai gudang beras, tapi
gudang korupsi.

Mudah diduga, korupsi muncul akibat peran mutlak Bulog sebagai pemain
tunggal pengadaan beras. Bulog juga memonopoli impor gula dan gandum,
penyedia tunggal daging untuk Jakarta. Lembaga ini mengawasi impor kedelai,
menerapkan kebijakan harga dasar untuk jagung, kacang tanah, dan kacang
hijau.

Sebagai pemain tunggal, Bulog kerap menjalankan tender secara tertutup,
dengan satu dan lain alasan. Yang diketahui publik hanya ujung proses,
misalnya ikutnya Grup Salim dan Keluarga Cendana dalam proses impor bahan
pangan. Untuk setiap ton beras yang didatangkan, importir menikmati untung
sekian puluh dolar. Bayangkan jika beras yang didatangkan lebih dari dua
juta ton setiap tahun.

Perubahan politik pada 1998 ternyata tidak banyak mengubah Bulog. Tender di
sana memang menjadi terbuka, tapi orang tahu ”rekanan lama yang
berpengalaman” masih unggul. Di depan mata Bulog, beras ilegal sering bisa
masuk dengan leluasa. Orang tentu belum lupa hasil audit Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan pada 1997/1998. Badan itu menemukan raibnya beras
sekitar 12.500 ton senilai US$ 3,75 juta (sekitar Rp 34,2 miliar). Usut
punya usut, yang raib itu diduga beras asal Vietnam yang tak pernah dikirim
masuk ke pelabuhan Indonesia.

Itu baru sebagian. Sebelum reformasi, Bulog perlu menyediakan ratusan miliar
rupiah untuk penguasa—yang tentu tak tercatat di buku. Misalnya dana untuk
keperluan presiden dan keluarganya, untuk sebuah asuransi, untuk Yayasan
Purna Bhakti Pertiwi, museum, dan masih banyak lagi.…

Pengubahan status Bulog pada 2003, dari lembaga pemerintah nondepartemen
menjadi perusahaan umum, tak banyak membantu memperkuat posisi perusahaan
itu terhadap spekulan. Bulog ternyata hanya menyerap sekitar tiga persen
dari hasil panen petani di sentra produksi utama. Padahal, sebelum
reformasi, Bulog mampu menyerap dua sampai empat kali lipat lebih banyak.

Dengan kemampuan Bulog selemah itu, tak mengherankan jika gejolak harga
beras di pasar kerap terjadi. Operasi pasar juga sering tak berhasil menekan
harga beras. Dan inilah momentum untuk mereformasi Bulog. Posisi Bulog perlu
ditinjau ulang. Barangkali desentralisasi peran penjaga stabilitas pasokan
dan harga beras dari Bulog kepada pemerintah provinsi dan kabupaten
merupakan sebuah pilihan yang menjanjikan.

Di tangan pemerintah daerah, stok beras lebih mudah dipantau. Sehingga,
kalau kekosongan beras terjadi, tindakan bisa dilakukan lebih cepat. Dengan
skala lebih sempit, pengawasan bisa lebih maksimal, apalagi kalau
wakil-wakil masyarakat diikutsertakan dalam proses pengawasan. Kolusi antara
pedagang beras dan Dolog, perpanjangan tangan Bulog di daerah, bisa ditekan
serendah-rendahnya.

Mungkin dengan cara ini ”Bulog baru” yang bebas kolusi dan korupsi akan
lahir. Hanya sebuah lembaga yang bebas ”kewajiban setor” kepada penguasa
yang sanggup menjalankan program mewujudkan ketahanan pangan, mengurangi
angka kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan petani—seperti
dicita-citakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tanpa pembenahan revolusioner di Bulog, cita-cita Presiden Yudhoyono
dipastikan hanya akan menjadi angan-angan (kutipan dari tulisan yang
berjudul  “Bagi-bagi duit Bulog”  selesai)



--
No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.446 / Virus Database: 269.0.0/752 - Release Date: 08/04/2007
20:34

Attachment: clip_image001.gif
Description: GIF image

Kirim email ke