http://www.tempointeraktif.com/

Asvi Warman Adam

Blunder Kejaksaan Agung dan Departemen Pendidikan Nasional
Kamis, 15 Maret 2007 | 10:02 WIB 



       
      asvi 
Sejak 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang beberapa buku pelajaran sejarah di 
sekolah. Terdapat 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang, antara lain 
Yudhistira, Erlangga, Grasindo, Ganeca Exact, Esis, dan Galaksi Puspa Mega. 
Yang dilarang di antaranya Kronik Sejarah Kelas I SMP (karangan Anwar Kurnia, 
diterbitkan Yudhistira), Pengetahuan Sosial, Sejarah 1 (susunan Tugiyono K.S., 
penerbit Grasindo), Sejarah Kelas II SMP dan Sejarah Kelas III SMP (karangan 
Matroji, penerbit Erlangga). Demikian diberitakan Indo Pos, 10 Maret 2007.

Sejak 2006, Direktorat Sosial Politik Kejaksaan Agung meneliti buku sejarah 
terkait dengan peristiwa politik di Indonesia pada 1965. Bahkan Kepala Pusat 
Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang lama (Dr Siskandar) dan yang baru 
(Diah Harianti) diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Hal itu dilakukan atas dasar 
permintaan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada 5 Juli 2005 
(Kompas, 10 Maret 2007).

Alasan pelarangan

Dalam konferensi pers pada 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen 
Muchtar Arifin menyampaikan alasan pelarangan buku-buku tersebut, "Antara lain 
tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan hanya menulis 
keterlibatan G-30-S tanpa menyebut PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1965." 
Menurut Muchtar, "Ini jelas memutarbalikkan fakta dan mengancam persatuan dan 
kesatuan bangsa." Apabila buku sejarah itu dibiarkan beredar, dapat menimbulkan 
keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Tidak hanya peredarannya yang 
dilarang, tapi juga proses pengadaannya. Surat Keputusan Kejaksaan Agung itu 
pun "mewajibkan kejaksaan, kepolisian, dan alat negara lain yang berwenang 
menjaga ketertiban menyita buku-buku teks sejarah tersebut".

Tidak berdasar

Alasan pelarangan Kejaksaan Agung itu tidak memiliki dasar. Buku Kronik Sejarah 
Kelas I (Anwar Kurnia, penerbit Yudhistira) tentu saja tidak memuat 
pemberontakan pada 1948 dan 1965. Sebab, pelajaran sejarah pada kelas I sekolah 
menengah pertama memang belum sampai pada periode kontemporer, tapi membahas 
kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipengaruhi Hindu, Buddha, dan Islam. Pada 
kelas II SMP dijelaskan soal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan baru 
pada kelas III SMP diuraikan perkembangan sejak Indonesia merdeka.

Jika dilihat buku untuk kelas III yang ditulis oleh pengarang dan penerbit yang 
sama, alasan pelarangan Kejaksaan Agung itu juga keliru. Di situ terdapat 
uraian mengenai "pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948)" pada halaman 
59. Walaupun menggunakan istilah "Gerakan 30 September tahun 1965", buku ini 
dengan tegas mengatakan itu pemberontakan PKI. Bahkan dicantumkan sepanjang 
satu halaman penuh kesaksian polisi Sukitman di Lubang Buaya tentang "kekejaman 
pemberontak".
Di dalam buku Sejarah SMP Kelas III (Matroji, penerbit Erlangga) juga dimuat 
pemberontakan PKI Madiun 1948. Walaupun ditulis "G-30-S", pada buku ini juga 
ditegaskan "dalam perkembangan berikutnya, timbul kesimpulan bahwa G-30-S itu 
didalangi oleh PKI" (halaman 109).

Demikian pula pelarangan buku Pengetahuan Sosial, Sejarah karangan Tugiyono 
K.S. (Grasindo) untuk kelas I SMP tidak tepat. Pada buku kelas III SMP terdapat 
uraian mengenai pemberontakan PKI di Madiun (halaman 68 dan 69) dan 1965 
(halaman 94-99). Di dalam buku ini dipakai istilah G-30-S/PKI. Jadi sepenuhnya 
masih menggunakan versi Orde Baru. Lalu kenapa dilarang Kejaksaan Agung?

Gara-gara Departemen Pendidikan Nasional

Kasus ini bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional kepada Kejaksaan 
Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah. Hal itu untuk 
menindaklanjuti laporan beberapa tokoh, seperti Jusuf Hasyim (almarhum) dan 
Taufiq Ismail, kepada Dewan Perwakilan Rakyat bahwa di Jawa Timur ditemukan 
buku pelajaran sejarah yang tidak memuat pemberontakan Madiun 1948. Ketua DPR 
kemudian mengundang Menteri Pendidikan Nasional dan menanyakan hal ini. 
Persoalan ini kemudian dibahas dalam Rakor Kesejahteraan Rakyat yang dipimpin 
oleh Aburizal Bakri. Setelah itu, baru bergulir ke Kejaksaan Agung.

Kalau ada sebuah buku yang dianggap keliru, seyogianya buku itu saja yang 
diteliti, bukan semua buku pelajaran sejarah di seluruh Indonesia. Sebetulnya, 
Menteri Pendidikan Nasional dapat menanyakan langsung kepada bawahannya pada 
Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan masalah itu. Tapi Menteri Pendidikan 
Nasional justru meminta Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengatasi 
persoalan ini. Maka dibentuklah sebuah tim yang diketuai Djoko Suryo (dari 
Universitas Gadjah Mada) dan beranggotakan Hamid Hasan (UPI Bandung), Susanto 
Zuhdi (Kementerian Budaya dan Pariwisata), Wasino (Universitas Negeri 
Semarang), dan W. Soetomo. Soetomo memimpin sekolah pariwisata di Semarang dan 
ipar dari Jenderal Sarwo Edhi.

Berdasarkan hasil tim di atas, BSNP menulis surat kepada Menteri Pendidikan 
Nasional, yang menyimpulkan bahwa "perlu memasukkan ke dalam pendidikan sejarah 
peristiwa PKI Madiun pada 1948 dan mencantumkan kata "PKI" setelah "peristiwa 
G-30-S" sehingga menjadi G-30-S/PKI". Surat BSNP 088/BSNP/I/2006 tertanggal 23 
Januari 2006 itu ditandatangani oleh ketuanya, Bambang Soehendro.

Padahal, dalam uji publik kurikulum yang diselenggarakan tim tersebut pada 1 
Desember 2005 di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, saya 
telah menyampaikan bahwa gerakan yang melakukan kudeta pada 1965 menyebut diri 
mereka secara eksplisit dan tertulis sebagai Gerakan 30 September. Seyogianya 
istilah yang lebih obyektif ini digunakan, karena memang ada berbagai versi 
tentang dalang peristiwa itu (PKI, elite PKI, masalah intern Angkatan Darat, 
CIA, Soekarno, dan Soeharto). Dengan keputusan BSNP itu, muncul kembali 
kontroversi sejarah.

Bukan hanya itu, BNSP juga menyodorkan perubahan kurikulum. Padahal perbaikan 
sebelumnya, dari kurikulum 1994 (direvisi 1999) kemudian menjadi kurikulum 2004 
sudah merupakan proses yang panjang dan melibatkan semua stakeholder bidang 
pendidikan. Untuk mengganti kurikulum 1994 yang dianggap oleh guru-guru terlalu 
sarat muatan, kurikulum berbasis kompetensi telah diuji coba di sekolah-sekolah 
sejak 2002. Kurikulum ini kemudian diganti penyebutannya menjadi kurikulum 2004 
sebagaimana panduan yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan 
Nasional pada 2003 (yang diberi kata pengantar oleh Direktur Jenderal 
Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan 
Departemen Pendidikan Nasional).

Panduan itu telah diedarkan ke sekolah-sekolah dalam bentuk buku dan disket. 
Kenapa kurikulum 2004 ini tiba-tiba diubah menjadi kurikulum 2006? Peraturan 
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 menetapkan 
kurikulum 2006, yang disebut kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan. Pada 
kurikulum yang terakhir ini, materi dan indikator dihilangkan. Ini 
membingungkan guru, karena bahan yang diajarkan dan cara mengujinya terserah 
kepada guru. Jawaban dari Departemen Pendidikan Nasional, kalau guru kurang 
paham, mereka akan membantu. Tapi apakah departemen sanggup melayani ratusan 
ribu sekolah di seluruh pelosok Tanah Air.

Kasus pelarangan buku pelajaran sejarah itu memperlihatkan bahwa Kejaksaan 
Agung dan juga Departemen Pendidikan Nasional tidak bertindak profesional.

Asvi Warman Adam, AHLI SEJARAH 

<<attachment: asvi.jpg>>

Kirim email ke