Iwan Fals, Lelaki Penghapus Tatto, dan Petugas Sampai stasiun kereta Pukul setengah dua Duduk aku menunggu Tanya loket dan penjaga Kereta tiba pukul berapa Biasanya...kereta terlambat Dua jam mungkin biasa Cuplikan lagu karya Iwan Fals di atas sudah cukup lampau, namun nampaknya hingga saat ini masih pas untuk menggambarkan kacaunya manajemen waktu alat transportasi massal bernama kereta. Barangkali kalau saat ini Iwan Fals masih sering berpergian menggunakan kereta, dia akan banyak menciptakan lagu yang bercerita tentang bermacam persoalan berkaitan dengan layanan kereta, bukan hanya soal keterlambatannya. Hingga saat ini saya masih termasuk salah satu orang dari ratusan ribu orang yang mengandalkan (tepatnya: terpaksa mengandalkan!) jasa transportasi KRL atau kereta rangkaian listrik. Sayangnya saya bukan penulis lagu seperti Iwan Fals, sehingga berbagai persoalan berkaitan dengan kereta yang saya lihat dan alami tak akan pernah jadi lagu yang asyik dinyanyikan orang. Saya hanya bisa bercerita lewat tulisan ini. Tidak kurang dari 3 tahun sudah saya terpaksa mengandalkan jasa layanan KRL khususnya KRL jurusan Depok Jakarta. Pada awalnya saya hanya mampu menggunakan jasa KRL kelas ekonomi. Jangan tanya berapa banyak persoalan yang ada di kelas ini. Sejarah perkeretaan di Indonesia adalah sejarah alat transportasi paling massal yang ada di muka bumi Indonesia. Transportasi massal hanya pada artian mampu menampung ribuan orang sekali jalan, jangan bicara kenyamanan disini, tidak ada keamanan disini, praktisnya tidak ada layanan manusiawi disini. Entah anda setuju atau tidak dengan pernyataan saya, bahwa sejarah sesungguhnya bergerak berubah sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, namun ternyata sejarah perkeretaan di Indonesia tidak bergerak, tidak berubah alias jalan ditempat. Dalam KRL ekonomi, terutama saat sibuk pada pagi dan sore hari, diantara himpitan-himpitan sesaknya penumpang dengan mudah anda akan temui: orang meludah sembarangan, buang sampah seenaknya, hilir mudik pedagang yang jumlahnya bersaing dengan jumlah penumpang, copet yang sialan, penumpang gelap alias tanpa tiket, petugas pemeriksa tiket yang tersenyum mendapat selembar ribuan dari masing-masing penumpang gelap, hingga pelecehan seksual terhadap penumpang perempuan. Semuanya itu masih ada hingga kini! Beruntung nasib tidak memaksa saya untuk kontrak seumur hidup dengan KRL kelas ekonomi. Satu tahunan sudah cukuplah bagi saya untuk menikmati layanan KRL yang tidak menghargai harkat dan martabat penumpangnya. Saat kemampuan ekonomi meningkat, tuntutan terhadap layanan transportasi yang ideal juga meningkat. Karena itulah sekarang untuk berangkat dan pulang kerja saya memilih KRL kelas ekspress. Bila semula Depok Jakarta kelas ekonomi saya hanya perlu mengeluarkan uang 1500 rupiah sekali jalan, kini saya harus mengeluarkan 9000 rupiah sekali jalan, selisihnya tentu tak jadi soal karena para penumpangnya dilayani dengan jauh lebih baik dibandingkan KRL kelas ekonomi yang memperlakukan penumpang tak beda jauh dengan tumpukan sayur mayur yang siap diangkat ke Pasar Induk. Namun akhir-akhir ini kenyamanan saya sebagai penumpang KRL ekspres terganggu. Pada awalnya saya tak percaya tentang cerita yang beredar bahwa di gerbong 1 KRL ekspres terdapat komunitas 3000 alias komunitas para penumpang yang hanya membayar 3 ribu rupiah sekali jalan. Beberapa kali saya membuktikan sendiri kejadian seperti ini. Terakhir kemarin (rabu, 18 April 2007) saat pulang dari Jakarta menuju Depok dengan kereta ekspres jadwal pemberangkatan 18.53. Kebetulan saya naik di gerbong 1, dan berhasil mendapatkan tempat duduk. Awalnya suasananya menurut saya biasa saja, agak sedikit padat, gerombolan penumpang saling bercanda dengan garing, pedagang yang hilir mudik dan lainnya tampak biasa saja. Melihat seorang ibu muda yang sedang hamil dan tak mendapat tempat duduk, saya memilih berdiri dan memberikan tempat kepadanya. Seperti biasa kereta berhenti untuk menaikkan penumpang di stasiun Juanda dan Gambir. Setelah itu kereta makin padat dan saya bahkan tak mendapatkan ruang gerak yang cukup untuk membaca buku, seperti kebiasaan saya membaca buku saat perjalanan. Ya mungkin memang kebetulan sedang padat, pikir saya. Penumpang yang duduk bergerombol dibawah, yang pada akhirnya saya sadar bahwa merekalah komunitas 3000, sudah cukup menyebalkan buat saya. Mereka gaduh, tertawa-tawa keras seolah gerbong kereta itu adalah rumah kontrakannya. Saya yakin bila ada alat ukur toleransi yang secara instan bisa digunakan, maka rasa toleransi mereka ada di titik yang paling rendah! Dari sikap yang mereka tunjukkan di gerbong kereta yang sesungguhnya adalah public area, tanpa alat ukur pun saya berani katakan bahwa mereka sangat miskin toleransi! Ditengah perjalanan, mungkin setelah melewati stasiun Cikini, seorang pria dengan bekas luka di lengan kanan karena usahanya menghilangkan tatto, bergerak mulai dari ujung gerbong tepat ditengah-tengah gerombolan yang duduk dibawah. Dari cara mereka berkomunikasi jelas memperlihatkan bahwa mereka telah terbiasa dengan cara-cara yang mereka jalankan. Tanpa banyak bicara si lelaki penghilang tatto itu tersenyum-senyum, sedikit basa-basi, mengumpulkan uang ongkos yang lebih pantas disebut sebagai uang sogokan untuk petugas. Masing-masing anggota komunitas 3000 telah menyiapkan uang ribuan yang saya lihat digulung atau dilipat rapi untuk diserahkan kepada pria tadi. Saya membayangkan bila dalam liputan investigasi barangkali akan banyak orang yang wajahnya perlu di-blur-kan untuk melindungi identitasnya, pertama si lelaki yang berperan sebagai kasir berjalan, dan yang lainnya adalah anggota komunitas 3000. Rasa dongkol saya tidak berhenti sampai dipemandangan suasana KRL ekspres yang ternyata beda tipis dengan metro mini. Saat berjalan sambil mengumpulkan uang dari penumpang haram si lelaki kasir itu berkata hati-hati ya banyak mata-mata. Dalam hati saya tertawa, tenyata laki-laki ini tidak cukup memiliki keberanian untuk menjadi kasir ilegal, mungkin karena tatto di lengannya sudah terhapus. Yang berikut ini barangkali tidak pas bila disebutkan sebagai rasa dongkol. Apa ya ungkapan yang cocok untuk menggambarkan suasana hati yang dongkolnya bertumpuk-tumpuk ditambah kekecewaan, plus rasa marah? Ketika orang yang duduk tepat di depan saya berdiri ternyata juga bagian dari penumpang haram Sialan khan? Bagaimana mungkin penumpang haram merasa lebih berhak mendapatkan tempat duduk dibandingkan dengan penumpang resmi yang memiliki tiket yang sah. Sialnya lagi, jumlah penumpang haram yang nyaman duduk di tempat duduk ternyata jumlahnya tidak sedikit. Anda juga tau khan, kalo ada tesa tentu ada antitesa, ada hitam ada putih, ada penjahat ada jagoan. Nah kalau menggunakan perumpamaan yang terakhir, penjahatnya tentu si pria kasir dan para penumpang haram. Lalu siapa jagoannya? Saya? Tentu saja bukan! Karena saya juga penumpang, tetapi penumpang yang sah menurut hukum dan undang-undang. Jagoannya adalah petugas pemeriksa tiket. Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru ambil kesimpulan bahwa petugas pemeriksa tiket yang bersenjatakan alat pelubang yang bernada tunggal cekrek...cekrek... itu bakal langsung membasmi para penjahat. Saat petugas dengan seragam rapi dan bertopi seperti seorang pilot itu masuk ke gerbong 1, mulanya ia rajin memeriksa karcis setiap penumpang lalu senjatanya bekerja cekrek...cekrek... Tapi sesaat kemudian ketika mulai memasuki area komunitas 3000, senjatanya diam hanya tergenggam di tangan kanannya. Untuk lengan kanan si petugas ini saya tak tau apakah ada tatto atau bekas tatto, tentu saja karena ia menggunakan stelan jas lengkap yang sangat rapi. Si petugas menebar tersenyum, dengan seragam yang dikenakannya saya rasa senyumnya juga tak kalah manis dengan senyum Pollycarpus, ia berbasa basi pada beberapa orang komunitas itu. Sementara si kasir tak kalah manisnya membalas senyum petugas. Selepas petugas masuk ke ruang masinis, saya menunggu penuh selidik apa yang akan dilakukan si kasir itu. Sebelumnya saya sempat melihat, pria kasir itu menghitung dan merapikan lembar-lembar ribuan yang dikumpulkannya dari tidak kurang 50 penumpang gelap, lalu dibagi dua bagian. Satu bagian masuk ke saku depan di kiri celananya, dan satu bagian lagi dimasukkan ke saku kanan depan celananya. Sayang saya tak sempat melihat ending atau klimaks dari drama kalahnya hak-hak penumpang yang sah menurut undang-undang dan hukum. Kereta telah tiba di Stasiun Depok Baru dan inilah tujuan akhir saya. Saya terpaksa turun dan membayang-bayangkan senyum petugas dan pria kasir dengan tatto yang dihapus saat mengakhiri proses mutualisme simbiose diantara mereka, tetapi jelas menjadi parasit bagi penumpang yang sah termasuk saya. Dalam hati saya juga membayangkan, jika saya dapat mengajak Iwan Fals naik kereta ini, pastilah dari tangannya akan lahir lagu berjudul kurang lebih: Gerbong Satu
Salam... Ari Aristides 081316499655 --------------------------------- Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? Check outnew cars at Yahoo! Autos.