Hmmmm,...ini BUKAN sekedar amplooooop dan isinya BRO!!,..tapi lebih 
kepada harga diri juga donk!!!. bukannya banyak wartawan yang gak 
suka di colek PRIUKNYA. Atau ribut sama juniornya gara gara rebutan  
SIMPATI dari NARA SUMBER atau uniknya kedekatan dengan junior timbul 
guna mewariskan keahlian tersebut agar ada HUKUM membagi 
HASIL  ,..pernah sekali waktu aku meluapkan ini kepada rekan lain 
(dia wartawan media cetak di JAKARTA), bagaimana sebenernya menembus 
BRIKADE WARTAWAN PARASIT  di jakarta atau merebut hati NARSUM agar 
mau memasukkan nama si "A" dalam LIST WARTAWAN KESAYANGANNYA, 
tapi ,..sang rekanku berkata,..MENEMBUS BRIKADE TERSEBUT tak semudah 
meminum air, RAHASIA UMUMnya :  NARSUM lebih percaya sama wartawan 
senior ELEKTRONIK atau media cetak,.(gak tau kenapa!!!????).



--- In mediacare@yahoogroups.com, streetnewsonline <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Harus Bijaksana Menyikapi Wartawan dan Amplop
> 
> 
> Jika diperhatikan pembicaraan bertopik wartawan dan amplop selalu 
saja seru.
> 
> Wartawan dan amplop sebetulnya beda dan memojokan rekan rekan 
wartawan yang "terpaksa" menerima amplop juga bukan hal bijaksana 
jika kita sendiri tidak berada pada keadaan seperti itu memang kita 
bisa berbicara sangat sangat idealis akan tetapi kalau kita 
berkeadaan lain,.. seringkali "to be or not to be".
> 
> ketika masih muda sekali, baru selesai kuliah, iseng-iseng saya 
melamar pekerjaan menjadi wartawan kebetulan diterima pada koran 
biasa yang dulu katanya bergigi koran "M" punyanya pak BMD ... dan 
sambil bekerja di situ saya melamar di sebuah majalah baru yang 
manajemennya bukan main bagus, gajinya juga bagus... 
> 
> Bedanya memang bumi dan langit soal manajemen dan uang tetapi soal 
hasil kerja dan etos kerja tidak bisa dibandingkan..
> 
> Koran M dengan manajemen administrasi yang amburadul dan manajemen 
keluarga tidak mampu memberikan suasana yang baik bagi kehidupan 
wartawannya,..tetapi para wartawannya bekerja dengan hati dan 
semangat
> sehingga isi dan headline koran itu tetap dipandang punya kelas 
oleh kalangan pembuat keputusan tatkala itu ....
> 
> Sementara MAjalah baru itu dengan modal besar , orang muda-muda, 
hanya jajaran atasnya saja yang berpengalaman media dan komunikasi 
semata-mata berorientasi mengejar "profit"  yang kurang diikuti 
dengan etos dan semangat kerja para wartawan yang menjadi pangilan 
jiwa ... meskipun menerapkan aturan wartawan dilarang menerima 
amplop toh beberapa wartawannya yang senior bahkan juga menerima 
amplop ....
> 
> Siapa sih yang tidak tergiur dengan amplopppppp ?
> 
> Yang penting di sini saya kira soal profesionalisme itu sendiri 
bukan soal etis tidaknya wartawan menerima amplop .... 
> Wartawan adalah pekerja media kalau perusahaan di mana dia bekerja 
berorientasi profit dan wartawan merasa adil dengan  bagian yang 
diberikan oleh perusahaan wartawan tidak akan mencari dan menerima 
amplop tetapi jika Perusahaan dipandang tidak adil dan malahan 
wartawan menjadi "tools" bukan "assets" wajar saja jika wartawan 
juga berpikiran sedikit "profit" bukan "benefit" ...........
> 
> Bicara soal media ... saya sangat pesimis sebuah media apalagi 
media cetak bisa hidup dengan idealisme saja ... tidak !.
> Ada banyak orang , termasuk saya, bermimpi dengan sopan maupun 
dengan serakah ingin punya media , media yang bagus yang dijual cuma 
content saja .. ternyata tidak bisa ... harus ada iklan,.. harus ada 
content iklan ,.. harus ada konformitas yang ujung-ujungnya duit 
(UUD) juga ........
> 
> Ada banyak free media berkeliaran dari mall ke mall dari LSM ke 
LSM.... apa coba yang dijual ? Wartawan ? Bukan..melainkan kerja 
keras AE dan kolaborasi wartawan merangkap AE dengan  para pemilik 
modal/pemberi donor ..... AE dan wartawan ujung-ujungnya harus 
banyak mengalah bekerja lebih untuk kepentingan mereka .. bukan 
kepentingan publik dan hati nurani .... 
> 
> Mereka semua itu tidaklah salah sebab itu soal pilihan .... yang 
ujungnya berupa produk "media"  ... seperti ujaran .. ada banyak 
jalan menuju roma ...
> 
> kita juga tidak perlu munafik dan jijik pada media maupun wartawan 
parasit ... ambil dahulu kaca benarkah sepanjang dahulu, sekarang 
dan nanti saya tidak berpotensi menjadi  parasit  ???????? .....
> 
> kemudian kita lihat sekeliling kita ... apakah perekonomian negeri 
ini benar-benar memberikan iklim yang baik dan benar bagi tumbuhnya 
idealisme murni ?
> 
> berkomentar sebenarnya sangat mudah, enak dan gampang tetapi apa 
gunanya kalau cuma untuk menunjukan pada publik bahwa kita bersih, 
kita ideal, kita tidak seperti itu,..padahal prilaku kita begitu ....
> 
>  
> 
> 
>  
> 
> A
> 
> 
> 
> 
> 
> Kaka Suminta <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                  
Salam
> 
> Sebenarnya berbicara masalah amplop dan keberadaan wartawan, tidak 
berbeda dengan kta berbicara tentang diri kita sendiri, sebagai 
pribadi, keluarga, kelompok atau bahkan sebagai bangsa. Yang pada 
intinya kita telah kehilangan kejujuran kepada diri sendiri 
sekalipun. 
> 
> Mungkin lebih baik saya mulai dari sanggahan teman wartawan saya, 
yang tidak sepakat bila kita gunakan UU pokok pers dan perangkat UU 
perusahaan serta UU tenaga kerja untuk mengeleminir tumbuh dan 
hidupnya media parasit. media parasit adalah ,media yang lahir dan 
tumbuh dengan menyerap sumberdaya sosial yang bukan haknya. Dari 
media parasit maka lahir wartawan parasit. 
> 
> Alasan kawan ini adalah bahwa kita akan berhadapan dengan 
kepentingan yang kepentingan kelompok dan pribadi yang sangat 
komplek. Saya bersikeras bahwa parasit memang harus dibasmi, kalau 
kita mau sehat sebagai wartawan dan pekerja media. 
> 
> Sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana membangun 
kesepakatan, mana yang masuk kategori parasit dan mana yang bukan 
parasit. Masalah amplop hanyalah konsekwensi dari parasitisme media 
saja. Dan bahkan hadirnya media dan wartawan parasit sebagian besak 
akibat niatan awal yang memang tidak didasari oleh idealisme 
kewartawanan. 
> 
> Saya kira kita bisa bernicara lebih jauh dalam diskusi, dengan 
pengantar pendek yang jika dibahas secara utuh akan dapat menjadi 
bagian dari pembangunan pers yang sehat. Dan pada giliranya menajdi 
bagian dari pembangunan bangsa ini ke depan, dengan memangkas 
parasitisme sosial. 
> 
> Wassalam
>


Kirim email ke