http://www.harianbatampos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=18575&Itemid=57


      Dominasi "Informasi Seolah-olah"        
      Minggu, 15 April 2007  
      Oleh: Candra Ibrahim

      [EMAIL PROTECTED] Alamat email ini sudah di proteksi dari spambot, 
silahkan aktifkan Javascript untuk melihat alamat email ini  

      HAMPIR sepuluh tahun belakangan, rakyat Indonesia semakin dijejali oleh 
informasi berbagai tragedi yang terjadi merata di seluruh Indonesia. Sebut saja 
tragedi tsunami, gempa bumi, longsor, semburan lumpur, banjir, busung lapar, 
kerasukan, sampai aksi terorisme. Tak ketingglan pula pelbagai kejadian unik, 
seperti munculnya kambing, telur, pohon, bahkan agar-agar bertuliskan lafal 
Allah. Hingga kemudian, berbagai peristiwa lain terekam oleh media, misalnya 
kasus perselingkuhan selebriti, politikus, sampai kepada aksi massa menuntut 
perbaikan kondisi bangsa, dengan cara-cara anarkis pula. Yang tak ketinggalan, 
nasib warga Sidoarjo akibat semburan lumpur sejak hampir dua tahun ini.


      Betul kata pendapat seorang raja media dunia bahwa siapa yang menguasai 
informasi, maka dia akan menguasai dunia. Oleh sebab itu, untuk konteks 
Indonesia, ini seakan telah mengirimkan sinyal kepada kita bahwa Jawa (dalam 
pengertian geografis, bukan etnis) telah menjadi pemilik sebaran informasi di 
Indonesia. 


      Sekecil apapun kejadian di tanah Jawa, seolah dipaksakan menjadi gambaran 
Indonesia secara umum. Lihatlah, ketika seorang kakek tewas akibat busung lapar 
di salah satu desa di Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi gambaran umum 
Indonesia. Apalagi televisi swasta nasional yang kesemuanya berkantor di 
Jakarta (Jawa) kemudian mem-blow-up-nya secara besar-besaran. Maka yang muncul 
kemudian ke benak publik Indonesia secara psikologis adalah bahwa Indonesia 
sudah sekarat, karena ada yang mati akibat busung lapar!


      Demikian pula ketika media ramai-ramai memberitakan kasus seorang bocah 
di belahan Jawa sana tewas gantung diri akibat malu karena belum bayar uang 
sekolah. Siang-malam, pagi-sore, breaking news, televisi swasta kemudian 
memberitakannya secara gencar. Berbagai analisis pakar dikemukakan. Seolah, 
persoalan bangsa ini bakal selesai dengan dialog, analisis, lalu perdebatan di 
ruang-ruang publik. Padahal, bisa saja bakal bertambah runyam, karena semua 
orang merasa benar, merasa pintar, lalu mengeluarkan pendapat mereka. Ditambah 
lagi media cetak nasional, yang kesemuanya terbit dan berkantor di Jakarta, 
memberikan porsi liputan yang luas pula. Lalu kesimpulannya, menjadi 
seolah-olah begitulah gambaran Indonesia: sangat suram, miskin, hopeless, tak 
ada harapan! 


      Sering saya berdebat dengan beberapa teman di berbagai penerbitan pers. 
Baik di grup kami, Batam Pos Group, Riau Pos Group, Padang Ekspress Group, dan 
Sumut Pos Group, maupun dalam grup yang lebih besar, Jawa Pos Group yang 
menguasai 90-an penerbitan media cetak di tanah air. Menurut saya, carut-marut 
di tanah air sejak kran keterbukaan dilonggarkan, tidak terlepas dari peran 
media massa. Sebab, media massa telah menjadi laluan pemikiran, pendapat, 
analisis, maupun carut-marut kehidupan bernegara itu sendiri. Media massa telah 
menjadi sarana paling efektif bagi sekelompok orang untuk mengkritisi atau 
menghantam kelompok lain. Tragisnya, sangat jarang media massa mau menyaring 
informasi sebelum disebarkan ke tengah publik. Apalagi bagi media massa yang 
hanya mencari sensasi, mengejar tiras, atau bahkan sekadar minta eksistensinya 
diakui.


      Dalam hal ini, saya sering mengajak berbagai teman di media untuk 
menyaring berbagai informasi sebelum menyebarluaskannya ke tengah masyarakat. 
Saya membayangkan, kalau saja media bisa menahan diri untuk menyeleksi setiap 
pernyataan dari narasumber yang hanya membuat sensasi, ingin diakui, lalu 
seenaknya saja mengeluarkan statemen, mungkin negara ini tidak akan sekacau 
saat ini. Apalagi misalnya, saat ini berkembang kelompok yang hanya ingin 
berbeda dengan pemerintah, lalu apapun yang dilakukan pemerintah adalah salah. 
Kalau kemudian informasi ini ramai-ramai dipublikasikan ke tengah masyarakat, 
maka akan menjadi justifikasi bahwa negara ini memang tidak ada yang benar sama 
sekali. Akibatnya, masyarakat menjadi linglung, bingung, apa yang hendak 
dilakukan. Benar bahwa masyarakat sudah semakin dewasa, namun berapa banyak 
pula di antara kita yang masih sangat kekanak-kanakan dalam menyerap informasi.


      Itulah sebabnya, dalam konteks koran nasional yang terbit di daerah 
(meskipun istilah pusat-daerah itu masih berbau kolonoalisme), maka saya selalu 
mengingatkan kawan-kawan di Batam Pos untuk selalu berpihak pada daerah, pada 
Kepri secara umum. Tidak semua yang dikatakan Jakarta itu benar. 


      Tidak semua yang terjadi di tanah Jawa itu harus diberitakan, kalau 
akhirnya hanya akan membuat masyarakat di sini semakin kehilangan harapan. 
Bahwa Indonesia bukan hanya Jawa (sekali lagi dalam pengertian geografis, bukan 
etnis). 


      Media massa adalah pilar yang paling memungkinkan untuk membentuk opini 
publik. Media juga tidak harus mencekoki berbagai informasi yang hanya akan 
menghilangkan harapan-harapan masyarakat. 


      Siaran televisi yang selama ini hanya mengumbar kesengsaraan lokal nun 
jauh di sana secara luas, seakan sudah mencekoki penontonnya di daerah lain 
untuk merasakan pedih yang sama. Padahal kepedihan di masing-masing daerah 
adalah berbeda. Semua daerah punya persoalan.


      Akhirnya, daerah harus bangkit dan bersama-sama melawan dominasi Jakarta 
(pemerintah pusat), termasuk dominasi informasi dari media massa, baik cetak 
maupun  elektronik. Sebab, Jakarta selama ini selalu saja merasa benar, 
memandang daerah secara general, lalu mencekoki kita dengan berbagai informasi. 
Mereka juga telah "memaksa" kita menyerap informasi apapun, meskipun kita bisa 
memilih dan memilah. Mungkin mereka lupa bahwa ke-bhineka-an justru tumbuh 
subur di daerah-daerah.***
     

Kirim email ke