Elfira, Saya sangat berharap teman kamu itu termasuk yang kamu kirimi email ini.
Debbie ----- Original Message ----- From: ELFIRA ROSA To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; mediacare@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Sunday, April 22, 2007 11:02 PM Subject: [mediacare] Tentang Perempuan Perempuan : Antara Kodrat, Gender, dan HAM Beberapa hari yang lalu saya chatting dengan salah seorang kenalan saya yang berada di USA [seorang WNI yang bekerja disana]. Berikut petikannya: Teman saya (TS) : Kuliahnya ambil jurusan apa? Saya (S) : Jurnalistik TS : Wah, mau jadi wartawan yah? Ha..ha... [dia menambahkan icon tertawa terbahak-bahak yang ada di fitur Yahoo Messenger] Paling-paling juga unjung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Saya hanya tersenyum mendengar kalimat yang bertendensi mengerdilkan salah satu pekerjaan mulia perempuan tersebut. Tak salah memang, jika para laki-laki berkata seperti itu. Karena begitulah yang selama ini terjadi. Pengerdilan peran perempuan yang dikonstruksi oleh budaya dunia. *** Sejak kecil, kita sudah terbiasa dengan ajaran lingkungan yang mengotak-ngotakkan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan harus lemah lembut, perempuan itu makhluk lemah, perempuan harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, urusan perempuan adalah urusan rumah dan dapur. Sedangkan laki-laki itu kuat, tidak boleh cengeng/ menangis, dan urusan laki-laki adalah urusan diluar rumah. Bahkan sebelum muncul sosok Kartini di Indonesia, kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Laki-laki harus diutamakan dalam pendidikan. Tidak ada yang salah dengan “konstruksi sosial” peran gender diatas. Hanya saja, konstruksi sosial tersebut lebih banyak yang mengesampingkan keistimewaan perempuan dalam kehidupan. Seperti yang dikatakan DR. Mansour Fakih dalam “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Kata lain yang maknanya sering rancu dengan gender adalah sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis, ketentuan Tuhan, atau kodrat. Singkatnya, gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial, sedangkan kodrat adalah ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Mengacu pada definisi diatas, sudah jelas bahwa konstruksi sosial yang selama ini berkembang lebih banyak mendiskreditkan kaum perempuan. Sangat tidak adil ketika kaum laki-laki memandang peran gender dengan cara dibelokkan sebagai kodrat. Tertawa terbahak-bahak sambil berkata seolah kodrat perempuan adalah di dapur, merupakan suatu kesalahan besar. Karena hal itu bukanlah kodrat, melainkan peran gender. Jika keadaan berbalik dan seluruh masyarakat sepakat, bisa saja terjadi pertukaran peran gender. Nyatanya, saat ini tak hanya perempuan yang terjun ke dapur. Lihat sekeliling kita. Para pedagang makanan di pinggir jalan, sebagian besar kaum laki-laki. Para juru masak di restoran atau hotel bintang lima, para pedagang makanan kaki lima, koki rumah makan pinggir jalan, sebagian besar adalah kaum lelaki. Dan kaum perempuan tak lantas melecehkan mereka dengan julukan “banci” karena mengerjakan pekerjaan perempuan. Terbukti, perempuan lebih bisa menghargai laki-laki ketimbang sebaliknya [laki-laki menghargai perempuan]. Perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Karena perempuan juga makhluk rasional, bahkan perempuan memiliki perasaan yang lebih peka sosial ketimbang laki-laki. ‘Aisyah binti Abu Bakar, salah satu istri Rasulullah SAW, telah membuktikan, bahwa seorang perempuan memungkinkan untuk lebih pandai dari pada kaum laki-laki dalam bidang politik atau strategi perang. Dialah gurunya kaum laki-laki. Dialah yang menjadi guru para sahabat Rasul dan sebagai rujukan untuk memahami Hadits, sunnah, dan Fiqih. Az-Zuhri berkata: “Seandainya ilmu semua wanita disatukan, lalu dibandingkan dengan ilmu ‘Aisyah, tentulah ilmu ‘Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka.” [H.R/ Thabrani, dalam “Wanita Teladan: Istri-istri, putri-putri & Sahabat Wanita Rasulullah” : 68-71] Ini membuktikan, bahwa agama pun memberi keleluasaan kepada perempuan untuk tidak hanya “melek dapur” tetapi juga “melek ilmu pengetahuan”. Tidak ada alasan bagi sistem apapun di dunia ini untuk mengebiri hak-hak perempuan. Namun, atas kekeluasaan yang ada, kaum perempuan hendaknya tidak lepas kendali, tidak ber-euforia dan lantas melupakan tugas terbesar yang harus diembanya, yaitu mendidik. Pendidikan yang paling utama berasal di rumah. Perempuan hendaknya jangan sampai menjadi korban dari stereotipe atau anggapan negatif yang berkata bahwa “emansipasi berarti diluar rumah”. Itu salah besar. Emansipasi berarti perjuangan untuk lepas dari belenggu penindasan. Jangan sampai para perempuan menganggap bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan hina. Emansipasi bukan berarti perempuan meninggalkan tugas utamanya untuk mendidik calon manusia-manusia hebat di masa mendatang. Kalau ada manusia yang patut diberi penghargaan tertinggi, maka manusia itu adalah para ibu kita. Ibu lah yang mendidik kita hingga menjadi manusia utuh seperti saat ini. Para pemimpin besar dunia sekalipun, tak lepas dari asuhan seorang ibu. *** Betapa luas dan mulianya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi kaum perempuan. Kalau ada yang melecehkan profesi “ibu rumah tangga”, dialah orang yang tidak menyadari, bahwa ia bisa menjadi orang “besar” karena didikan seorang ibu, seorang perempuan! Para pelaku kriminal yang menjadikan perempuan sebagai korbannya juga merupakan gambaran, bahwa mereka telah mengerdilkan kaum yang telah membesarkan mereka. Perempuan memang lebih lemah secara fisik, tapi mental kaum perempuan lebih kuat dari pada intan [batu yang paling keras di bumi]. Jika anda butuh bukti bahwa perempuan memiliki mental yang sangat kuat, lihat saja, kenyataannya, lebih banyak laki-laki yang berselingkuh ketimbang perempuan (suatu bukti bahwa perempuan lebih mampu menahat syahwat), lebih banyak janda yang membesarkan anak seorang diri dari pada duda (suatu bukti bahwa perempuan lebih mampu hidup sendiri ketimbang laki-laki). Setiap manusia diciptakan dengan keunikan tersendiri. Tak ada alasan bagi kita untuk mengerdilkan dan merendahkan siapapun. Setiap insan diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka, pantaskah kita saling menghina, jika apa yang ada pada masing-masing dari kita adalah yang terbaik yang diberikan Sang-Khalik untuk kita? Jatinangor, 20 April 2007 Elfira Rosa Juningsih read more.....in my blog http://jaket_biru.blogs.friendster.com/vira_cool/ ------------------------------------------------------------------------------ Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? Check out new cars at Yahoo! Autos.