Majalah Kartini kok sensasional banget ya. Kalau tidak salah matematik saya 30% isteri dan 60% suami jadi 90% penduduk ibukota ini yang telah menikah ternyata "ada main"? Bagaimana andai ada yang mendirikan Polisi Ahlak? Lalu apa hukumannya didunia ini? Janganlah sampai di aplikasikan hukuman rajam karena penduduk Jakarta bisa susut secara drastis dan tidak akan mudah lho untuk mendatangkan dari pedalaman gantinya yang sama canggihnya dalam masalah politik, bisnis, pendidikan, penggelaran kriminalitas dan lain-lainnya. MLM
leonardo rimba <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Selingkuh dan Konseling Di kanan bawah cover depan majalah wanita Kartini edisi minggu pertama tahun 2005 ada tulisan: Hasil Penelitian Terkini: 40% Istri di Jakarta Selingkuh. Lalu, dengan huruf lebih kecil dan agak sebelah bawah tertulis: Karena Suami Kurang Perhatian. Apakah maksudnya ? Sensasi atau nyata ? Obyektif atau bias ? Penelitian ilmiah atau ecek-ecek ? Apapun latar-belakang dari penelitian itu, awam mengerti tanpa perlu penjelasan panjang lebar bahwa perselingkuhan telah melembaga di Jakarta. Telah terjadi institusionalisasi perselingkuhan. Jadi, bukan hanya pernikahan yang bisa dilembagakan, perselingkuhanpun bisa. Anggaplah, misalnya, bahwa penelitian yang diekspos oleh Kartini agak dibesar besarkan. Anggaplah bahwa angka 40% itu terlalu besar, sehingga kita merasa cukup fair bila prosentase para istri di Jakarta yang selingkuh itu didiscount seperempatnya sehingga menjadi 30% saja Berarti, satu dari tiga istri yang memiliki suami di Jakarta telah pernah, sedang, atau akan menceburkan diri dalam perselingkuhan dengan pria lain. Memiliki, pernah memiliki, atau berniat untuk akan memiliki Pria Idaman Lain (PIL). Dan asumsikanlah juga bahwa jumlah para suami yang selingkuh berbanding lurus dua kali lipat disbanding para istri. Berarti: 2 X 30% = 60% Artinya: perselingkuhan dengan Wanita Idaman Lain (WIL) telah, sedang, atau akan diniatkan untuk dijalani oleh dua diantara tiga orang pria beristri di Jakarta Fair enough? Konseling Perselingkuhan ____________ _________ ___ Memberikan konseling kepada mereka yang mengalami masalah rumah tangga adalah hal konvensional bagi saya sebagai seorang pewacana tarot. Jalan keluarnya juga konvensional. Biasanya saya akan melihat sejauh mana komitmen keagamaan dari istri atau suami yang meminta konseling itu. Dan perlu juga dilihat apa agamanya; dan, di dalam agama tertentu, apa aliran keagamaannya. Pencaharian solusi akan diusahakan melalui pengertian-pengerti an keagamaan yang diyakini oleh klien. Apabila klien adalah Muslim tradisional, cara penyelesaiannya adalah doa dan puasa. Seorang Kejawen akan memperoleh nasihat serupa sesuai kepercayaannya. Seorang Kristen akan memperoleh nasehat mengenai cara-cara pendekatan kepada yang Illahi sesuai dengan tradisinya Di luar itu, akan diberikan solusi berupa pentingnya komunikasi dengan pasangannya. Bagaimana cara menghadapi pasangan hidup. Bagaimana menghadapi kesulitan finansial. Bagaimana caranya agar klien bisa berubah sehingga makin mampu menghadapi gunjang-ganjing bahtera rumah tangga. Tujuan utamanya cuma satu, yaitu agar perkawinan tetap langgeng. Tetapi, walaupun konseling bagi permasalahan rumah tangga tetap dominan, akhir-akhir ini memang mulai terasa bahwa semakin banyak yang meminta konseling non konvensional. Masalahnya tetap tentang hubungan antar pribadi, tetapi bukan dengan pasangan pernikahannya, tetapi dengan pasangan perselingkuhannya. Kita di Indonesia, dan terutama di Jakarta, sudah memasuki masa Paska Modern (Post Modern). Ini adalah masa dimana nilai-nilai tradisional dari masa lalu mulai dipertanyakan, diragukan, dan setelah terombang-ambing antara dua kutub, biasanya ditinggalkan. Trend atau kecenderungannya adalah ditinggalkannya nilai-nilai masa lalu yang sudah tidak relevan atau sesuai lagi dengan jaman Paska Modern ini. Termasuk disini adalah nilai-nilai perkawinan yang di masa lalu dianggap sakral dan tak bisa tersentuh apapun. Termasuk tidak bisa tersentuh oleh ilmu jiwa (psikologi) modern. Sehingga, walaupun praktek perkawinan tertentu adalah tidak sehat dari perspektif psikologi, praktek perkawinan yang tidak sehat itu tetap saja dijalankan dengan alasan bahwa tradisi mengharuskan demikian. Tetapi hal itu semua sudah runtuh di alam kejiwaan kita, runtuh secara de facto dengan alasan telah datangnya era baru; walaupun memang masih belum banyak yang menyadarinya saat ini. Saya cenderung untuk melihat jatuhnya Rezim Suharto sebagai awal era Paska Modern di Indonesia. Awal runtuhnya banyak nilai-nilai usang. Nilai-nilai kehidupan politik, kehidupan keagamaan, kehidupan sosial, dan kehidupan pribadi Mau tidak mau kita di Indonesia harus sudah mulai menentukan pilihan: mau melihat ke belakang, atau melihat ke masa depan. Melihat ke belakang berarti memegang teguh segala sesuatu yang diturunkan kepada kita, melihat ke masa depan berarti mencari inspirasi dan pelajaran dari masyarakat-masyarak at yang telah lebih dahulu terbuka pikirannya daripada masyarakat kita. Dan itu adalah masyarakat di Eropa Barat dan Amerika Utara Tentu saja yang berpegang teguh kepada nilai tradisional akan protes keras apabila ditinggalkan. Karenanya, orang Indonesia yang memang selalu tepo seliro ini biasanya mengambil keduanya. Dengan bibir diucapkanlah janji setia kepada nilai nilai masa lalu (lip service), dan dengan tindakan dijalankanlah segala pembaharuan nilai-nilai itu, termasuk di dalam institusi perkawinan. Tidak ada yang salah sebenarnya untuk mulai menerapkan nilai-nilai Paska Modern di dalam kehidupan rumah tangga kita di Indonesia. Argumen bahwa kita adalah orang Indonesia yang paling suci murni kelakuannya dibandingkan dengan masyarakat liberal di Barat hanyalah laku sebagai materi bagi Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P4) yang dalam perspektif Paska Modern layak untuk diberi label sebagai Program Pembodohan Massal. Nilai-nilainya bagus, tetapi kita semua tahu bahwa itu adalah menaruh kaki di awang-awang dan kepala di bumi. Terbalik. Seharusnya: kaki di bumi, dan kepala ada di sebelah atas. Hukum gravitasi harus diikuti selama manusia masih hidup. Rezim Suharto bisa melawan gravitasi hanya untuk waktu tertentu saja, setelah itu kembali normal. Dan saat ini, dimana kebebasan yang merupakan hak para individu telah dikembalikan kepada yang berhak adalah masa normal. Hanya yang bernostalgia kepada zaman Suharto yang akan menyesalkan terjadinya pergeseran nilai nilai. Nilai-nilai apa ? Dalam konteks tulisan singkat ini: nilai-nilai perkawinan. Nilai-nilai perkawinan telah berubah. Dan sebagai seorang professional yang langsung menghadapi klien, mau tidak mau saya harus mengikuti nilai-nilai yang telah berubah itu, dan memberikan konseling bagi penyelesaian terbaik. Tidak ada gunanya bagi saya sebagai seorang pewacana tarot (yang lebih sering diperlakukan sebagai seorang psikolog oleh para klien saya) untuk mendesak mereka yang terlibat benang-benang kusut perselingkuhan untuk kembali menjadi istri atau suami baik-baik. Tidak ada gunanya segala argumen tentang rasa malu. Tidak ada gunanya penahan berupa rasa takut ketahuan. Semuanya telah bergeser, dan perlu ada pola solusi baru bagi jernihnya peta jiwa manusia-manusia Paska Modern ini. Selingkuh dan Selingkuh ____________ _________ __ Ada dua macam selingkuh. Pertama adalah yang backstreet, persis seperti waktu kita masih puber dan ngumpet-ngumpet pacaran, walaupun dilarang oleh orang-tua kita. Dan kedua adalah yang jujur, dimana pasangan suami-istri itu saling terbuka mengungkapkan apa sebenarnya yang dihadapi oleh mereka sebagai pasangan, dan mencari jalan keluarnya. Kita harus jujur disini bahwa banyak pasangan suami-istri sudah tidak lagi mengalami perasaan erotis dengan pasangan pernikahannya setelah melewati waktu tertentu. Orang Amerika Serikat lebih action-oriented. Mereka cerai setelah erotisisme itu hilang sehingga tingkat perceraian di AS mencapai 50% dari seluruh pernikahan. Dari dua pernikahan di AS, satu akan berakhir dengan perceraian. Di negara-negara Eropa Barat kurang lebih demikian pula. Kita di Indonesia tidak begitu, karena masyarakat kita masih terkungkung oleh jalan pikiran konvensional bahwa pernikahan harus seumur hidup. Dan, walaupun romantisisme itu sudah hilang, pernikahan tetap dipertahankan dengan alas an demi anak-anak, demi kehormatan keluarga, demi utuhnya asset keluarga, atau demi demi yang lain. Tetapi, hal alamiah berupa jenuhnya erotisisme fisik maupun emosional dalam perkawinan tetap harus diatasi. Dan jalan keluarnya adalah perselingkuhan. Suami selingkuh adalah hal yang wajar di masa lalu. Asal gue gak liat aja, kata para istrinya. Di era Paska Modern (Post Modern) ini, istri yang selingkuh semakin banyak pula. Penelitian terkini yang diekspos oleh Kartini adalah salah satu buktinya. Walaupun tidak diterima secara wajar oleh sebagian khalayak, para istri itu menganggap bahwa selingkuh adalah haknya juga. Suami gue gak menarik, nggak kayak pacar (gelap) gue, begitu alasan umum yang diberikan. Dan itu bukan selalu berarti bahwa suami kurang perhatian seperti disitir oleh majalah Kartini. Majalah wanita yang satu itu toh masih tetap harus menjaga harga diri sebagian pembacanya yang masih hidup di era lalu, jadi tetap harus menyitir nilai-nilai tradisional kalau tidak mau kehilangan segmen pasarnya. Kalau saya, dan para praktisi Paska Modern lainnya, tentu saja akan memberikan alasan yang lebih masuk akal dan realistis. Memang dasarnya gatel . Gatel ? Lha, iya, apa lagi ? Setelah lima tahun menikah, mana ada suami yang tetap bergairah dengan istrinya ? Dan setelah memasuki menopause, apa banyak istri yang masih mau melayani suaminya ? Disini kita menghadapi dilema tentang pencaharian solusi bagi hal-hal alamiah yang sebenarnya tidak perlu dibuat menjadi complicated oleh argumen-argumen mengenai moralitas. Moralitasnya sebenarnya cuma satu, yaitu kesehatan jiwa. Bagaimana kita bisa tetap sehat secara kejiwaan walaupun tidak lagi menemukan kegairahan erotis dan kepuasan emosional dengan pasangan hidup. Bagaimana kita bisa tetap sehat secara kejiwaan, dan menghilangkan segala stress biologis yang terhambat itu, tanpa perlu mengalami gejala-gejala gangguan kejiwaan seperti dikejar-kejar rasa bersalah. Seperti ada yang membuntuti. Seperti ada yang terus-menerus mengingatkan akan dosa-dosa perselingkuhan yang dilakukan. Banyak psikolog tidak berani memberikan alternative solusi di luar agama. Kenapa? Karena para psikolog Indonesia pun masih banyak yang hidup di era lalu, dicetak dalam masa Suharto yang lebih memilih munafikisme daripada keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain. Dan itulah sebenarnya petunjuk yang harus kita ikuti di jaman Paska Modern ini: keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri dan sesama. Termasuk disini terhadap pasangan hidup: terhadap istri, atau terhadap suami. Apa susahnya untuk berterus terang saja dengan pasangan hidup dan mencari ijin untuk selingkuh ? Itu ada, tetapi jarang. Yang banyak terjadi di Jakarta adalah ijin selingkuh dari istri untuk suami tanpa ada ucapan yang dikeluarkan. Istri tahu bahwa suaminya selingkuh, tapi diam saja selama rumah tangga tetap adem ayem. Aman tentram. Suami sendiri biasanya tidak mau memberikan ijin selingkuh kepada istri. Dan memang lebih sedikit lagi istri yang meminta ijin selingkuh. Kalaupun terjadi, akhirnya akan berupa saling berselingkuh, kedua-duanya, suami dan istri sekaligus Walaupun begitu, malam tetap pulang ke rumah, dan tetap berumah-tangga, dan tetap secara social mempertahankan status di depan para kolega. Hal-hal seperti itu hanya akan terbuka kepada teman-teman dekat yang paling bisa dipercaya Dan kepada seorang pewacana tarot seperti saya yang tidak pernah menghakimi klien-klien saya dengan nilai-nilai baheula yang saya sendiri juga sudah tidak pakai lagi. Tidak ada gunanya lagi kita menakut-nakuti manusia Paska Modern dengan ancaman neraka dan imbalan berupa surga. Sudah banyak yang tahu bahwa konsep-konsep itu cuma simbol-simbol belaka. Simbol-simbol yang artinya adalah pencaharian kedamaian batin dan kesehatan jiwa di dunia ini, saat ini, dan bukan di alam antah berantah setelah kita mati nanti. Tetapi itu juga bukan berarti tidak ada kode etik. Bukan berarti bahwa moralitas sudah luntur. Tidak, bahkan akan semakin kuat apabila kejujuran mulai dipraktekkan. Jujur, dan bukan jurus tipu. Bicara, dan bukan diam saja. Itu yang akhirnya saya pegang sebagai rule of thumb untuk mereka yang konseling tentang perselingkuhan. Tidak ada cara lain lagi selain jujur melalui komunikasi yang terbuka. Kita semua sudah dewasa kan? Untuk apa lagi berpura-pura? Dan apabila pernikahan tidak bisa diselamatkan, perceraian bukanlah akhir daripada segalanya. Apabila dimulai dengan baik-baik dan diakhiri dengan baik-baik, Tuhan juga gak akan marah kok Tentang Penulis: ____________ ____ Leonardo Rimba adalah alumnus Universitas Indonesia dan the Pennsylvania State University, seorang professional tarot reader. Media massa yang pernah meliputnya antara lain: Koran Tempo, RCTI, AnTV, dan TransTV. Leo sering muncul dalam acara bakti sosial, baik bagi kalangan lokal maupun ekspatriat di Jakarta, dan bisa dihubungi di HP: 0818-183-615. Email: <leonardo_rimba@ yahoo.com>. Bersama Audifax, Leo menulis buku "Psikologi Tarot" yang akan diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, Bandung. Wait for it! Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com