Mencari Uang atau Mencari Prestasi? 
Oleh : William Wiguna 

Sering kali kalau saya meng-interview seseorang karyawan baru khusus untuk 
departemen kami, senantiasa terlontar sebuah pertanyaan sangat menentukan 
sikap. Saya menanyakan, apa alasan ybs mau bekerja di perusahaan/departemen 
kami.

Jawaban sangat bervariasi dan sebagian besar menjawab dengan klise seperti 
"untuk menambah pengalaman", "menambah ilmu" dsb. Mereka biasanya setelah 
diberikan kesempatan untuk memperjelas alasan yang tepat, akhirnya 
ujung-ujungnya mengatakan "mencari uang". 

Nah, disini saya selalu terkenang akan masa lalu dimana setelah lulus S1, saya 
tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan S2 karena memang kebutuhan akan 
uang tidak tercukupi bila harus memaksakan diri "mencari ilmu". Tetapi saya 
berhasil "menghibur diri" dengan menggunakan alasan logika, bahwa dimana tempat 
saya bekerja dan berkarir adalah S2 saya dan begitu seterusnya karena keinginan 
saya untuk mau terus belajar entah sampai kapan...

Kembali dengan interview, mereka biasanya mencoba merenungkan ide saya sbb: 
Bagaimana bila Anda merefleksikan sikap "mencari uang" itu kedepan. Mereka saya 
ijinkan memperkirakan apa yang dijawab seorang maling yang diinterogasi oleh 
polisi. Ya mungkin dengan cara yang lebih keras supaya sang tawanan tsb 
menjawab "mengapa mencuri". Tentu saja mereka dan Anda juga bisa menjawabnya 
dengan mudah bukan? Mereka "butuh/mencari uang" untuk hidup... 

Saya selalu mencoba mengingatkan, bahwa tentu saja ucapan "mencari uang" tidak 
salah, tetapi akan menjadi bumerang bila mereka ucapkan dengan penuh motivasi 
yang serius atau menjadi keinginan! Otak kita sangat pintar, sehingga bila ada 
instruksi/motivasi yang masuk dengan sadar dan tidak sadar otak kita akan 
bekerja dengan keras mengejar target tersebut, misalnya "mencari uang". Maka 
amat sangat mungkin tahap-tahap yang terjadi bisa saja sbb: mulai 
menghitung-hitung untung-rugi antara gaji dan jam kerja, meng-korupsi waktu dan 
akhirnya materi. Hal ini biasanya akan menimbulkan stress yang tidak sehat. 
Otak kita akhirnya me"rekomendasi"kan atau "tidak bisa lagi membedakan" mana 
uang pribadi dan uang perusahaan. 

Dan biasanya Boss/Owner Perusahaan pastilah bukanlah orang bodoh, dia justeru 
akan main lebih sadis dengan perhitungan untung-rugi dengan karyawan. Bisa 
ditebak juga bukan bila hal ini terjadi siapa yang bakal lebih "pintar" yang 
bakal mendapatkan keuntungan? Bila pun didapat, bukankah itu dari hasil yang 
tidak FAIR? Dan bila sang karyawan dan pimpinan jadi "adu ulet" maka bisa 
dibayangkan sirkuit lingkaran setan yang dibentuk. 

Biasanya, sang karyawan baru akan tercenung, dan disinilah saya membagikan tips 
agar sang karyawan bisa lebih berdaya guna: 

Saya menceritakan kasus saya ketika ingin belajar lebih lanjut tapi nggak punya 
uang seperti diatas, lalu bertekad belajar dimanapun saya mendapat kesempatan. 
Dan biasanya saya ajak sang karyawan mau belajar atau tidak dengan tips ini. 

Di tempat kerja atau "kampus" baru ini sang karyawan adalah "siswa" dan saya 
menjadi pembimbing/guru yang bertanggung jawab atas karir/study ybs. Karena 
toh, dimana-mana ya memang seorang pemimpin harus mengajar dan membimbing 
bukan? Bila ybs berprestasi, akan disediakan Promosi dan kemungkinan "naik 
kelas". Bagi para Pemimpin, poin ini sering dilepas, dia mengajar tetapi tidak 
mengikat sang karyawan untuk tetap semangat belajar selama masih bersama-sama. 

Menggunakan logika, bahwa karena ybs belajar maka mendapatkan istilah "uang 
jajan" sebagai pengganti istilah "gaji". Dari poin ini saja otak kita rasanya 
langsung lebih lega karena tidak lagi berhitung-hitungan dengan input-output 
kerja. Bahkan di "kampus" baru ini ybs tidak perlu membayar uang kuliah tetapi 
justeru menerima seluruh perangkat "belajar"nya dia seperti: seragam, komputer, 
ruangan dsb. 

Selalu saya tanyakan, apakah uang jajan saat sekolah/kuliah lebih besar atau 
tidak dengan "uang jajan" yang dia terima di "kampus" ini. Untuk yang ini 
jawaban mereka 100% setuju bahwa "uang jajan" mereka sudah lebih baik. 

Istilah "belajar" dan "kampus" baru buat seorang yang serius akan berdampak 
dahsyat seperti: kita akan menemukan bahwa otak kita bila sedang belajar akan 
menciptakan prestasi-prestasi yang mustahil akan diberikan oleh orang yang 
bermotif mencari duit. 

Terbukti bukan, saat dulu kita sekolah/kuliah, walaupun berantem atau dimarahin 
Guru, demi ilmu kita tetap masuk dengan semangat untuk lulus bukan? Bahkan 
untuk tim kami disinilah kami membuat prestasi saat dulu kuliah menjadi juara 
LKIP tingkat Nasional, padahal modal kami cuma satu BELAJAR. 

Karyawan-karyawan di departemen kami mencapai rekor tertinggi dalam sejarah 
perusahaan, yaitu melakukan penjualan lebih dari 10 kali target! 

Sebagian model seperti ini juga kami praktekkan di tempat dimana kami 
ber-organisasi, bahkan juga saat kami memberikan konseling dan program TRAIN 
the TRAINER. Bahwa semua anggota tim bisa lebih sukses dari pada saya sendiri 
dan karena tanpa pamrih, saya hanya bisa terus menyampaikan model "BELAJAR" 
seperti ini dimana pun dan pasti SUKSES. Salah seorang "office boy" kami telah 
menjadi National Sales Manager dalam waktu 10 tahun. 

Sangat banyak alasan yang diberikan orang ketika mereka sudah capek-capek lulus 
kemudian dengan mudahnya mengganti motivasi yang benar dengan 
motivasi/keinginan mencari uang. 

Coba renungkan, kalau Tuhan demikian besar dan dahsyat menurut ukuran 
orang-orang beriman, apakah layak motivasi utama seseorang bekerja adalah hanya 
"mencari uang"? Bukankah seharusnya bisa lebih baik dari makhluk lainnya yang 
memang dipersiapkan hanya untuk "mencari makan". 
Saya banyak bertanya kepada para orang tua dan pembina rohani berbagai 
kalangan, ternyata ini adalah salah satu dosa turunan Feodalisme. Bayangkan 
setelah 350 tahun dijajah, inilah paradigma yang keluar dari para generasi tua 
kepada yang muda: "cepat belajar dan lulus supaya bisa cari uang"... 

Mungkin, sekedar membandingkan, kalau sungguh2 para generasi tua maunya begitu, 
sebaiknya jangan sekolahkan mereka, karena tidak mungkin balik modal! Coba 
bayangkan, uang pangkal SD saja sudah 5-10 juta. Kuliah di UI saja butuh Rp. 
150 juta. Sedangkan lulusan Sarjana sudah jamak bersedia dengan gaji di bawah 
UMR. Sebaiknya, mulai sekarang investkan uang pangkal/sekolah mereka dengan 
sesuatu buat mereka yang nanti langsung bisa jualan kalau sudah besar, seperti 
misalnya (maaf) warung. 

OK, menurut saya, sudah waktunya OTAK kita diberikan tugas yang lebih mulia 
yaitu "BELAJAR". Karena saat seseorang belajar, prestasi pasti mengikuti. Dan 
saat belajar dan bekerja, maka setiap orang pasti menerima UPAH bukan? Jadi, 
ajak generasi sekarang memutuskan rantai/kuk "mencari uang" karena itu buat 
makhluk yang kesulitan memahami apa arti belajar. Tips Ini bagi yang sedang 
bekerja. 

Nah, TIPS bagi yang sedang mencari kerja, coba renungkan baik-baik apa jawaban 
yang harus disiapkan bila di-interview, yaitu APA KEBUTUHAN ANDA YANG PASTI 
MENGUNTUNGKAN DAN TIDAK MERUGIKAN PERUSAHAAN?. Jangan lagi bersilat kata karena 
bila kita tidak siap mental, sang interview dengan mudah me"nekan" Anda 
sehingga Anda merasa sangat "murah" dimata sang interview. Bila ini yang 
terjadi, maka dalam proses transaksi, sulit untuk dikatakan kondisi tersebut 
"win-win". 

Bila Anda masih kesulitan untuk membersihkan "suara-suara" yang meminta Anda 
untuk segera "mencari uang", perbanyaklah doa dan baca kitab suci kemudian bila 
sempat diskusikan dengan kami untuk dibantu mengenal Talenta-talenta yang Tuhan 
berikan sebagai saran pembelajaran dan pe-lipat-gandaan prestasi Anda di dunia 
ini. 

Akhir kata, para rohaniwan selalu berkata, bahwa belajar itu adalah perintah 
dari Kitab-kitab Suci. Dan bekerja adalah IBADAH. Jadi renungkanlah, benarkah 
kita boleh "mencari uang" di dalam Ibadah Suci kita? Bukankah UPAH itu pasti 
diberikan ,bukan dicari, bagi yang BEKERJA (baca: BERIBADAH)? 

Note: Cerita ini merupakan kisah nyata penulis saat belajar ilmu "Tahu Diri" 

Name: William Wiguna 
Email: [EMAIL PROTECTED]
Web: www.profilpribadi.com/?id=lisanofi


Kirim email ke