“Kerusuhan Mei 1998,

Fakta, Data dan Analisa”

KATA PENGANTAR I

Pengungkapan Kerusuhan Mei 1998 secara tuntas merupakan utang sejarah bangsa 
Indonesia. Karena pada peristiwa Mei 1998 telah menelan ribuan korban jiwa, 
menggoncangkan dunia dan mencoreng keberadaan bangsa Indonesia.

Institusi independen Komnas HAM RI telah melaksanakan tugasnya sebagai 
penyelidik dengan menyimpulkan bahwa kerusuhan atau dikenal dengan Peristiwa 
Mei 1998 telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan 
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang 
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sangat disayangkan pemerintah (cq. Kejaksaan 
Agung) yang mempunyai tanggungjawab sebagai institusi penyidikan tidak 
‘terketuk hati’ nya untuk meneruskan penyidikan kasus tersebut. DPR pun 
tidak bersikap tegas dalam kasus tersebut. pedahal pengungkapan lewat 
pengadilan yang bertanggungjawab sangatlah penting agar pihak-pihak yang 
wajib dimintai pertanggung jawaban tidak begitu saja dengan berbagai dalih 
lepas dari hukuman.

Secara pribadi saya masih mendambakan adanya ‘keberanian’ dari pemerintah 
yang berkuasa sekarang ini untuk tidak membiarkan Peristiwa Mei 1998 menjadi 
beban sejarah yang tidak pernah terungkapkan sehingga anak-cucu penerus 
bangsa ini ‘menderita’ karena menerima warisan ‘utang’ sejarah yang sangat 
mahal harganya.

Adanya upaya dari teman-teman Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Asosiasi 
Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) untuk menulis kembali 
secara sistematis tentang Kerusuhan Mei 1998 patut dihargai agar dapat 
dijadikan bahan renungan dan dijadikan bahan pelajaran bagi bangsa Indonesia 
untuk menjaga bersama agar peristiwa serupa tidak akan terulang kembali. 
Peristiwa Mei 1998 dengan gamblang menunjukkan kelemahan aparat Kepolisian 
dan Tentara Nasional Indonesia di dalam mengantisipasi dan mengatasi 
kerusuhan yang berskala besar.

Dalam perjalanan bangsa ini ke depan kita akan dapat membuktikan, apakah 
institusi-institusi yang bertanggung jawab dan masyarakat dapat menarik 
pelajaran dari Peristiwa Mei 1998 yang telah mencoreng bangsa Indonesia di 
mata dunia? Kalau kita dapat menarik pelajaran akan Peristiwa Mei 1998 
artinya kita dapat mengantisipasi, mencegah dan menjamin bahwa peristiwa 
serupa tidak akan pernah terjadi di negara Republik Indonesia tercinta di 
mana saja.

Dengan demikian upaya menerbitkan hal-hal yang diketahui tim penyusun buku 
ini yang diambil dari berbagai sumber hendaknya dilihat dari kaca mata 
positif adalah untuk dijadikan bahan renungan dan pelajaran serta dijadikan 
bahan pertimbangan dari penguasa untuk membawa kasus ini ke Pengadilan agar 
orang-orang yang diduga terlibat dapat menjelaskan yang sebenarnya di depan 
hakim-hakim yang kita percayai mempunyai hati nurani dan otoritas menetapkan 
putusannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.

Candra Set_awan

(Anggota Komnas HAM RI periode 2002-2007)



KATA PENGANTAR II

Buku ini lain daripada yang lain. Buku-buku yang ada biasanya merupakan 
uraian kejadian disertai analisa dan kesimpulan, tetapi buku ini menyajikan 
fakta secara kronologi. Semua itu disajikan sebagai bahan analisa kita semua 
yang membacanya dan mengambil kesimpulan sendiri.

Data-data yang disajikan adalah mengenai Peristiwa bulan mei 1998 yang 
sangat mengejutkan kita semua, bahkan mengejutkan dunia internasional. 
Betapa tidak, Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai Bangsa yang berbudaya 
luhur, ramah-tamah bisa menjadi ganas, membakar, merampok bahkan memperkosa, 
apa sebetulnya yang terjadi? Siapa penggeraknya? Siapa yang membiayainya? 
Sampai saat ini masih menjadi misteri, didiskusikan, direkareka yang tidak 
ada habis-habisnya.

Membaca buku ini kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan yakin 
bahwa ada unsur penciptaan kondisi, dengan memanfaatkan kesenjangan, 
keresahan dan ketegangan bidang ekonomi dan politik saat itu, diupayakan 
seakan-akan telah terjadi kerusuhan yang “spontan”. Sekarang tinggal kemauan 
politik pemerintah dengan dukungan DPR RI, aparatur intelijen dan Polri 
untuk mengungkap tuntas dam membawanya di pengadilan untuk 
mempertanggungjawabkan kejadian yang membawa korban jiwa lebih dari 1000 
orang dan harta benda serta kerugian moral dan reputasi Bangsa yang tidak 
ternilai besarnya.

Saya ucapkan selamat dan penghargaan pada ibu Ester Jusuf dan Kawan-kawan.

Jakarta, 18 Nopember 2006

Tedy Jusuf

(Ketua Umum PSMTI)

KATA PENGANTAR  III

Non-diskriminasi adalah jantung Hak Asasi Manusia. Penegasan bahwa semua 
manusia setara dinyatakan dalam pasal pertama Deklarasi Universal Hak Asasi 
Manusia 1948: “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan 
hak yang sama….”. Non-diskriminasi kemudian ditegaskan dalam Pasal 2 
paragraf pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Mnausia bahwa “Setiap orang 
berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa 
pembedaan dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, 
bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan” Prinsip non-diskriminasi 
menjadi prinsip dasar hak asasi manusia yang mewajibkan negara untuk 
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak sasi manusia tanpa diskriminasi.

Non-diskriminasi menjadi prinsip dasar hak asasi manusia karena diskriminasi 
merupakan sebuah proses dehumanisasi dan karena itu berlawanan dengan ide 
dasar hak asasi manusia. Yang sering kali tidak disadari adalah bahwa proses 
dehumanisasi tidak berlangsung serta merta. Proses ini dapat berlangsung 
secara bertahun-tahun. Penguasa mungkin melakukan diskriminasi melalui 
berbagai peraturan yang bertahun-tahun kemudian menjadi cara pandang dan 
mengakar dalam pikiran masyarakat. Pikiran bahwa manusia tidak setara 
lama-kelamaan akan menjadi sebuah pikiran bahwa yang lain hanyalah separuh 
manusia. Richard Rorty mengatakan di sini terjadi pendiskriminasian antara 
the true human and the pseudohumans. Pada suatu saat dehumanisasi itu akan 
sampai pada titik bahwa seseorang misalnya karena berkulit hitam atau pun 
bermata sipit, bukanlah manusia dan karen itu dapat dianiaya, diperkosa 
bahkan dibunuh. Di Indonesia itu terjadi. Kerusuhan Mei adalah catatan 
terbaru ketika kita menganggap manusia lain bukan manusia. Ketika orang 
menganiaya bahkan memperkosa tidak merasa menganiaya atau memperkosa seorang 
manusia, tapi hanya menganiaya atau memperkosa seorang China, yang 
kemanusiaannya dianggap tidak setara.

Kenistaan yang kita ulang setelah pada 1965-1966 kita membunuh manusia lain 
hanya dan hanya karena dia dituduh seorang komunis atau punya hubungan 
dengan komunis.

Dehumanisasi itu perlahan hingga kita tak sadar kita telah melakukannya. 
Oleh karena itu bila kita tak ingin mengulang menistakan diri dengan menista 
manusia lain, kita harus mengingatkan diri terus menerus. Buku “Kerusuhan 
Mei 1998, Fakta, Data dan Analisa”, adalah sebuah upaya untuk itu. Sebuah 
upaya kecil. Harusnya kita mencambuk diri kita dengan menghukum mereka yang 
melakukan, serta memulihkan hak-hak korban kerusuhan Mei 1998. Rupanya 
sampai sekarang kita tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya.

Oleh karena itu, harusnya upaya itu tak berhenti di sini. Harus ada 
upaya-upaya lanjutan untuk memastikan kita tidak lagi mengulang 
kenistaankenistaan yang sama. Diskriminasi sebagai akar dehumanisasi, bukan 
hanya harus dilarang secara hukum, tapi juga dibuang jauh-jauh dari 
kehidupan masyarakat. Untuk itu harus ada upaya terus menerus untuk menjaga 
kemanusiaan kita agar kita tetap menjadi manusia.

Asmara Nababan

Kirim email ke