PEMBERDAYAAN POTENSI ETNIS TIONGHOA SEBAGAI KOMPONEN BANGSA DALAM REKONSTRUKSI 
NASIONAL

- KHUSUS DALAM BIDANG KEHIDUPAN POLITIK -

 

Oleh : Drs. Eddie Lembong[1]

Hotel Nikko Jakarta, 10 Mei 2007[2]

 

 


  

 

 



Sampai pada saat ini, untuk sebagian dari Warga Etnis Tionghoa, Politik 
dianggap Tabu, bahkan momok. Tidak ingin dibicarakan dan tidak ingin ikut 
melibatkan diri di dalamnya. Hal ini tidak lepas dari pengalaman Traumatis yang 
dahsyat beberapa puluh tahun yang lalu. Lebih dalam lagi, hal ini erat 
hubungannya dengan “Collective Memory” berkenaan dengan adanya “Masalah 
Tionghoa di Indonesia”, sebagai Warisan Sejarah Kolonial masa lalu, yang sampai 
hari ini belum lagi selesai tuntas sepenuhnya.

 

Maka, untuk bisa merubah Paradigma yang keliru ini, sehingga kemudian makin 
bisa memberdayakan Potensi Etnis Tioghoa dalam kehidupan Perpolitikan Nasional, 
adalah perlu bahwa terlebih dahulu kita tuntaskan penyelesaian “Masalah 
Tionghoa di Indonesia” itu.

 

Masalah Tionghoa di Indonesia sebagai masalah Warisan Sejarah Kolonial masa 
lalu, mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam bidang 
Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial Budaya, dll.

 

Pada kesempatan kali ini, saya ingin membatasi diri, hanya akan mengkaji dari 
aspek Politik dan Hukum, sebagai prerequisite untuk dapat mendinamisasi Etnis 
Tionghoa menjadi siap terjun ke dalam kancah Perpolitikkan Nasional sepenuhnya, 
diwaktu-waktu yang akan datang.

 

Kewarganegaraan, Dwi-Kewarganegaraan, Nasionalisme, Etno-Nasionalisme

1.       Sebelum Tahun 1892, baik di Tiongkok di bawah Pemerintahan Dinasti 
Ching, maupun di Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda, kita belum 
mengenal paham Kewarganegaraan.

2.     Baru pada Tahun 1892, di Hindia Belanda diperkenalkan Peraturan tentang 
KAULA HINDIA BELANDA, berdasarkan Ius Soli.

3.     Untuk menandinginya, pada Tahun 1909, untuk pertama kali, Pemerintah 
Dinasti Ching mengundangkan UU Kewarganegaraan Tiongkok berdasarkan Ius 
Sanguinis.

4.     Secara praktis dapat dikatakan: sejak kala itu, muncullah masalah DWI 
KEWARGANEGARAAN  yang makin meruwetkan “Masalah Tionghoa di Indonesia”.

5.     Pemerintah Republik Tiongkok (Tiongkok Nasionalis) yang berdiri Tahun 
1911 meneruskan kebijakan UU Kewarganegaraan berdasarkan Ius Sanguinis itu pada 
UU Kewarganegaraannya Tahun 1912 dan 1929.

6.     Dalam 5 tahun pertama berdirinya RRT sejak 01 Oktober 1949, belum 
diadakan kajian atau peninjauan ulang kebijakan Kewarganegaraan tersebut, 
sehingga waktu sidang DPR yang pertama di RRT pada Tahun 1954: terundanglah 30 
orang dari Masyarakat Tionghoa Perantauan (Hoakiao) termasuk dari Indonesia, 
untuk hadir pada Sidan DPR RRT itu! Yang menimbulkan amarah dari pihak 
Indonesia, karena Indonesia menganggap orang-orang tersebut adalah Warga Negara 
Indonesia.

7.     Dari Perspektif Indonesia, kita ketahui bahwa sejak Proklamasi 1945, 
pada Tahun 1946, kita telah memiliki UU Kewarganegaraan berdasarkan asas Ius 
Soli dengan Sistem Pasif. Meskipun Falsafah Politiknya masih terkontaminasi 
dengan Paham Etno-Nasionalisme.

8.     UU Kewarganegaraan RIS Tahun 1949 tetap menganut asas Ius Soli dengan 
Sistem Semi Pasif: kalau dalam 2 Tahun tidak menolak WNI, maka otomatis menjadi 
WNI. Hal ini tidak serta merta diterima pihak RRT, karena masih adanya 
persoalan Dwi Kewarganegaraan yang menggantung.

9.     Sementara itu, karena sejak Pecah Perang Korea pada tanggal 25 Juni 
1950, pukul 04.00 pagi (8 bulan sejak RRT berdiri!) terjadi “Pengepungan” oleh 
Amerika Serikat terhadap RRT, di mana oleh Amerika dibangun Pangkalan-pangkalan 
Militer dari Okinawa-Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, 
Pakistan, dst; menjadi apa yang dikenal sebagai “Strategi Bulan Sabit” 
mengurung RRT disertai Embargo Ekonomi yang sangat luas, maka untuk menerobos 
“kepungan” ini RRT merumuskan kebijakan Politik Luar Negeri baru, dengan jalan 
berusaha membangun hubungan baik dengan sebanyak mungkin Negara, terutama 
Negara-negara Nasional yang baru merdeka setelah Perang Dunia ke II di Asia 
Tenggara, di mana sebagian besar Hoakiao bermukim. 

Sebagai contoh antara lain: Adalah “offensive diplomasi” ynag dimainkan 
Delegasi RRT dibawah Pimpinan P.M. Zhou Enlai di Konferensi Asia Afrika Tahun 
1955 di Bandung. Dalam rangka itulah kebijakan tentang Kewarganegaraan 
orang-orang Tionghoa di Perantauan (Hoakiao) di subordinasi ke dalam kebijakan 
Politik Luar Negeri RRT umumnya yang mengabdi kepada kepentingan Nasional RRT 
yang lebih besar secara menyeluruh.

Maka itu sejak Tahun 1954, terjadi peristiwa penting yang merupakan “Turning 
Point” yang mendasar dan permanen tentang kebijakan Kewarganegaraan orang-orang 
Tionhoa di Luar Negeri (Hoakiao) yaitu: Menyudahi soal Dwikewarganegaraan serta 
menganjurkan sebanyak mungkin orang-orang Tionghoa memilih Kewarganegaraan di 
Negara di mana mereka berada.

Maka tidak heran, perundingan penyelesaian Masalah Dwi Kewarganegaraan RI – RRT 
yang perundingannya dimulai di Beijing Juni – Juli 1954, dimana Dubes Indonesia 
di RRT adalah Alm. Bp. Arnold Mononutu, berjalan lancar dan berakhir dengan 
ditandatangani Persetujuan Pengakhiran Status Dwi Kewarganegaraan di Gedung 
Deparlu Pejambon Jakarta pada tanggal 22 April 1955 antara PM Zhou Enlai 
sebagai Menlu RRT dengan Mr. Sunario, Menlu RI, ditengah-tengah berlangsungnya 
Konferensi Asia Afrika dari tanggal 18 – 24 April 1955 di Bandung yang sukses 
besar itu!

10.  Sejak saat itu (Tahun 1954) s/d sekarang, terutama sejak Era Reformasi di 
RRT (Gai Ge Kai Fang-1978) Pemerintah RRT tetap dan senantiasa menganjurkan 
bahwa orang-orang Tionghoa: Memilih Kewarganegaraan di Negara di mana mereka 
berada, Taat Hukum, Hormati adat istiadat setempat, Terjun bergabung ke dalam 
arus induk masyarakat umum, dengan semboyan “Luo Di Shing Gen” yang padanan 
makna dalam Bahasa Indonesia kita ialah “Dimana Bumi di Pijak, Disitu Langit di 
Junjung”

11.   Sementara itu di Indonesia: Tahun 2006 adalah Tahun yang amat bersejarah 
bagi upaya Nation Building yang tuntas. Seperti yang telah kita ketahui 
bersama, bahwa:

I.      Pada tanggal 01 Agustus 2006 telah diundangkan UU No. 12 Tahun 2006 
tentang Kewarganegaraan; dan 

II. Pada tanggal 29 Desember 2006 telah diundangkan UU No. 23 Tahun 2006 
tentang Administrasi Kependudukan.

Pasal 106 UU ini telah mencabut:

1.   Staatblad 1847 : 23

2. Staatblad 1849 : 25 à 1946 : 136, Tentang Orang Eropa

3. Staatblad 1917 : 130 (bukan 129) à 1946 : 136 (Orang Chinese)

4. Staatblad 1920 : 750 à 1927 : 564 (Jawa Madura)

5. Staatblad 1933 : 74 à 1939 : 288 (Kristen Indonesia)

Kedua Undang-undang ini melepaskan Paham Etno-Nasionalisme, menjadi 
Nasionalisme berdasarkan Hukum! Serta bahwa Pendaftaran Penduduk telah sama 
sekali dipersatukan tanpa ada pembedaan-pembedaan berdasarkan ras, etnis, 
agama, jeis kelamin atau hal-hal lain apapun.

Dengan Kedua UU tersebut kami anggap bahwa peluang untuk mendiskriminasi 
orang-orang Indonesia TIonghoa (Etnis Tionghoa) secara HUKUM, secara Juridis 
formil, untuk pertama kali sejak Republik ini didirikan, telah berakhir untuk 
selama-lamanya! (Ini tidak berarti kemungkinan diskriminasi oleh aparat 
terhadap berbagai pihak karena alasan-alasan lain sudah tidak akan terjadi!)

12.  Dengan perkembangan situasi yang demikian baik di Indonesia maupun dari 
pihak RRT, maka kini “Bola” Peluang dan Tantangan bagi kita semua, baik Etnis 
Tionghoa maupun Etnis Non-Tionghoa sepenuhnya ada ditangan kita! Kita perlu 
bekerja sama seerat-eratnya tanpa pembedaan-pembedaan apapun, untuk 
bersama-sama menyelesaikan semua masalah Nasional/masalah Bangsa dalam Bidang 
Ekonomi, Sosial, Budaya, dll, menuju sebuah Indonesia Baru yang betul-betul 
bersatu atas dasar keadilan dan kesetaraan. Masing-masing dan semuanya 
jor-joran memberi sumbangsih dan Dharma Baktinya yang terbaik bagi Ibu Pertiwi.

Tidak ada lagi alasan bagi Etnis Tionghoa untuk tidak terjun ke dalam kancah 
Perpolitikan Indonesia. Turut menata dan membangun kembali Peri-kehidupan 
Perpolitikan Indonesia yang makin sehat dan makin memperkokoh Bangsa dan Negara 
Indonesia!

Insya Allah!

 

Referensi/Bacaan

1.       Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006 tentang 
Kewarganegaraan.

2.     Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi 
Kependudukan.

3.     Law and The Chinese in South East Asia, edited by M. B. Hooken. ISEAS 
Publication

4.     Renungan dan Analisa masalah Pelepasan Dwikewarganegaraan oleh RRT 
(Dalam Bahasa Mandarin), Pengarang Cheng Xi, Tahun 2005

5.     Roeslan Abdoelgani: The Bandung Connection 

a. Bahasa Indonesia     : Terbitan Gunung Agung, Tahun 1980 

(25 Tahun Konferensi Asia  Afrika)

b. Bahasa Inggris        : Asia Africa Founation (50 Tahun Konferensi Asia 
Afrika)



--------------------------------------------------------------------------------

[1]Ketua Kerhormatan Cendekia Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) / Ketua 
Pendiri Yayasan Nabil 

[2] Disampaikan pada Seminar dalam Rangka Ulang Tahun ke-7 Harian Indonesia 
Shang Bao

 

<<clip_image001.gif>>

Kirim email ke