Bung Sumar, kayaknya sih baik-baik saja kalau SI itu tetap disana di KM Nol, 
lha kita kan jadi miris dengan pecutannya apalagi katanya akan mulai potong 
tangan untuk maling. Tapi nggak jelas koruptor itu masuk pencuri apa bukan. 
Kalau dari sana merangkak ke arah Timur kan Republik kita ini bisa ambruk. 
   
  Aneh sekali kan bagaimana AS dan Uni Eropah asyiik mendukung Gam yang 
sekarang sudah diresmikan kuasanya di NAD lalu terus memberlakukan SI yang di 
kenyataan kan
  bertentangan dengan HAM, misalnya main cambuk itu? Bagaimana Swedia dan 
Finlandia
  misalnya itu kok pada diam saja soal HAM ini? Munafik dan haus minum minyak 
dan hisap gas alam yah?
   
  Baiknya Indonesia dijadikan negara sekuler tulen seperti Turki. Setuju Bung?
  TSL

sumarsastrowardoyo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          SERAMBI INDONESIA



Sabtu, 19 Mei 2007 

Opini 



a.. 18/05/2007 08:03 WIB

Syariat Islam di Kilometer Nol

[ penulis: H Ameer Hamzah | topik: 
Agama ]

Sebuah tamsil wal ibarat, nun jauh di 
sana! Di Ujong Sikundong Pulau Weh Sabang terdapat Kilometer Nol 
Republik Indonesia. Bangunan tua yang dibangun masa Walikota H 
Bustari Mansur, terkesan tak terawat. Tak listrik yang menerangi di 
malam hari, semak belukar mulai merambah sampai ke halaman bangunan, 
daun dan ranting kayu yang gugur tampak berserakan di mana-mana. 
Jalan menuju Kilometer Nol tersebut juga sudah rusak. Para turis 
sudah jarang ke sana karena kawasan itu sepi dan sunyi. 

Melihat nasib Kilometer Nol, saya 
teringat Syariat Islam Kaffah yang sudah berusia 10 tahun di Aceh. 
Nasibnya hampir sama dengan bangunan di tengah rimba itu. Maksudnya 
belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Jika Kilometer Nol 
terbengkalai karena faktor dana, jauh dari pusat kota, dan kurang 
menarik pelancong, dapat kita maklumi. Akan tetapi bila Syariat 
Islam harus berjalan di tempat (masih di kilometer nol) menjadi 
tanda tanya besar? Apakah orang Aceh tidak suka kepada syariat 
Islam? Bukankah dulu mereka yang menuntut Jakarta supaya diberikan 
Syariat Islam? 

Ada apa gerangan? Apakah gempa dan 
tsunami (2004) membuat semangat bersyariat turut melemah? Ataukah 
dampak pascatsunami ketika Banda Aceh masih kota tradisional berubah 
mendadak menjadi kota megapolitan? Apakah kita malu-malu kepada 
pendatang bila kita tampil dan bergaya syariah? Ataukah kita sudah 
disihir oleh siluman dari negeri Antah Berantah supaya lupa kepada 
syariat Islam yang suci, yang kita tuntut bertahun-tahun dari 
pemerintah pusat? 

Terlalu lamban Syariat Islam mencapai 
titik finish (kaffah). Seakan ada kaki yang terpasung. Ibarat 
jalannya siput, konon lagi para petinggi di Dinas Syariat Islam 
menganut pribahasa, "biar lambat asal selamat." Coba bayangkan, Cuma 
baru hukum cambuk untuk penjudi, pengkhalwat dan peminum khamar yang 
baru dilaksanakan. Itupun hanya berlaku untuk kelas masyarakat 
kecil. Sedangkan kalau kena yang besar-besar, tunggu dulu! Padahal 
kita makfum, syariat Islam sangat luas dan memiliki perundangan. 
Mulai hal kecil sampai hal-hal yang besar, seperti potong tangan 
bagi pencuri dan koruptor, rajam bagi penzina dan homoseks, qishash 
bagi pembunuh. 

Pertanyaannya, apa memang tidak ada 
niat masyarakat (muslim) di Aceh untuk menerapkan Syariat Islam 
kaffah? Atau sudah puas dengan 'kulit' syariat Islam saja? Kalau 
sekedar 'kulit' lebih baik kita beristighfar saja. Guru besar kita 
yang terkenal alim dan wara' Prof Dr Alyasa' Abubakar MA lebih baik 
pulang ke kampus daripada mengurus 'kulit' syariat Islam. Biarlah 
kulit diurus oleh mereka yang suka membuat 'keurupuk jengek' saja. 

Tantangan syariat Islam 

Memang terasa Syariat Islam ditimpa 
musibah besar akhir-akhir ini. DPRA yang diamanatkan oleh rakyat 
membuat dan mengundangkan qanun, seperti 'manok male'- yang tak mau 
bertelur. Ironinya daripada pusing bikin qanun, lebih sedang 
bersiteru sesama temannya. Ujungnya melancong ke luar negeri atau 
membuat di warung kopi. 

Eksekutif dan sejumlah cendekiawan 
(ulil albab) juga sudah sibuk kerja di BRR. 

Yang senang pastilah kaum sekuler 
karena menginginkan syariat Islam kaffah tidak berlaku di Aceh. 
Beragam dalih, seperti Islam sama sama saja dengan agama lain yang 
cuma mengatur hubungan dengan Allah SWT semata. Sedangkan negara, 
sosial dan masalah-masalah modern dapat diatur dengan sistem global 
menurut kesepakatan dunia internasional. Makanya mereka sangat benci 
kepada kaum syariat yang memandang Islam sebagai agama yang 
sempurna, Islam sebagai sebuah sistem yang dapat mengatur hubungan 
dengan Allah SWT dan dengan sesama manusia. Di sinilah salah satu 
kenapa gerak syariat Islam di Aceh seperti jalan di tempat-kilometer 
nol. 

Gempuran sekuler sedang berlangsung, 
dan kita kaum syariat sudah larut dalam euforia. Siasat kaum sekuler 
begitu rapi dan terencana, karena mereka memahami watak orang 
(muslim) Aceh yang fanatik. Kaum sekuler tidak berani terang-
terangan menyerang, tetapi ditempu dengan berbagai modus seperti 
menyuntuk dana, membuat seminar-seminar sehari, menghadirkan tokoh-
tokoh sekuler dengan maksud menanamkan kebencian etrhadap syariat 
Islam dengan memuji-muji sistem lain. Kaum sekuler juga menggunakan 
media untuk melakukan propaganda bagi misi mereka. Begitu muslihat 
dan tak terasa sudah menjejas ajaran Islam yang sepempurna. 

Berikut ini beberapa pikiran kaum 
sekuler yang sangat sering dikumandangkan saat ini melalui agen 
mereka di Aceh. Pertama, syariat Islam tak perlu dilaksanakan 
sekaligus, tetapi harus pelan-pelan, sedikit demi sedikit, jangan 
dipaksa. Jika dipaksa negara-negara Barat dan Amerika akan marah dan 
tidak mau lagi memberi bantuan kepada Aceh untuk dana rehab dan 
rekon. Kedua, katanya, Nabi Muhammad SAW waktu membawa agama Islam 
dulu butuh waktu 23 tahun. Nabi saja butuh waktu lama apalagi kita 
manusia biasa. 

Ketiga, syariat Islam dapat diterapkan 
lewat pendidikan. Alokasikan dana sebanyak-banyaknya untuk 
pendidikan, kita didik generasi muda kita sejak dini agar mereka 
tahu Islam. Merekalah nanti pewaris syariat Islam karena sudah 
berpendidikan. Demikian kata mereka. Pemikiran semacam itu sekilas 
terkesan logis, tetapi mereka tidak tahu bahwa penegakan hukum juga 
bagian dari syariat Islam. Orang Barat apa kurangnya pendidikan, 
tetapi karena hukum mereka lemah dan tidak sesuai dengan syariat 
Allah, maka kriminalitas merajalela. Kita sependapat pendidikan 
penting, tetapi lembaga hukum Islam juga penting. 

Selain tantang dari luar juga datang 
dari dalam melalui media (televisi) yang menyajikan acara tidak 
Islami. Sinetron, dan program entertimen yang mendedah aurat dan 
vulgar, berita-berita syahwat, kriminalitas, semakin membuat 
penerapan syariat Islam lumpuh di Aceh tercinta. Prilaku kaula muda 
yang cenderung kebarat-baratan (gaul bebas, baju ketat, kaset-laset 
CD/VCD yang dijual bebas, ponsel canggih yang bisa mengakses menu 
esek-esek) semakin menjauhkan dari tuntunan syariat Islam. 

Perlu pemberani 

Untuk menegakkan syariat Islam kaffah 
di Aceh, kita perlu laki-laki dan perempuan pemberani. Siapa mereka 
yang pemberani itu? Alquran mengatakan, adalah hamba-hamba Allah 
yang takut kepada azab Allah, tapi berani melawan Taghut (Syaithan). 
Sang pemberani percaya sepenuh iman, bahwa syariat Islam itu wajib 
ditegakkan di atas permukaan bumi. Mereka tidak nyaman hidup dalam 
sistem Taghut (Syaithan) yang mencampuradukkan antara yang haq dan 
yang batil. Telah datang yang benar dari Allah, maka yang batil itu 
harus lenyap! Amar makruf nahi mungkar sangat diutamakan. 

Sang pemberani itu sangat menyadari, 
syariat Islam datang dari Allah dan umat Muhammad wajib hidup dengan 
sistem yang diwahyukan itu. Sang pemberani tak pernah ragu tentang 
konsep Islam yang syumul. Sang pemberani itu belum ada di Aceh? 
Syariat Islam masih terseok-seok di kilometer nol. Karena pengecut 
tak mungkin menerapkan syariat Islam secara kaffah. Wallahu a'lam

*) Penulis adalah Penceramah Masjid 
Raya Baiturrahman Banda Aceh.


Kirim email ke