Wah saya ada pandangan lain nih, terutama berkenaan dengan kalimat.
*Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan
sering membuat takut melangkah*

Sebenarnya mungkin juga bukan takut melangkah. Tapi ibar orang main catur,
karena sudah memikirkan beratus-ratus langkah ke depan, langkah pertama dan
kedua yang harus diambil itu malah sudah lupa. Makanya diam lagi, mikir lagi
dari awal.
Hehehe.. peace yoo..



Regards,
Paulus T.

On 5/19/07, Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

 Refleksi:* Mungkin saja orang Jawa dan Sunda berpikir panjang terhadap
sebab dan akibat dari langkah-langkah yang mereka akan ambil, tetapi
kenyataannya menunjukan hal yang berbeda dari apa yang diungkapkan oleh
penulis, masalahnya bisa dilihat bahwa elit dan penguasa negara baik sipil
dan militer 99,99% terdiri dari kedua etnik tsb. Kalau mereka berpikir
panjang pasti  bisa melihat konsekwenis dari langkah yang diambil dan tidak
melakukan KKKN [Kebengisan, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme]  bertubi-tubi dan
berkepanjangan dengan membebankan kehidupan masyarakat mayoritas dengan
kebodohan dan dimiskinmelaratkan, sedangkan para elit berdendang
dalam kelimpahan nirwana. Apakah hal yang diungkapkan oleh penulis Zaim
Uchrowi adalah ciri etnik ataukah masalahnya terletak pada klas
dan struktur dalam masyarakat ataukah juga takdir Alloh agar mayoritas harus
demikian?*

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=293485&kat_id=19

Jumat, 18 Mei 2007

**
Mentalitas Jawa dan Sunda
Oleh : Zaim Uchrowi

*''Indonesia sulit maju,'' kata seorang teman. ''Kenapa?'' tanya saya.
''Sebab, lebih dari 70 persen penduduknya adalah Jawa dan Sunda,'' jawabnya.
Saya ternganga, sampai ia menjelaskan lebih lanjut.*

*Menurutnya, mentalitas orang Jawa dan orang Sunda bukan mentalitas orang
yang siap maju. Hal itu terlihat dari ungkapan yang banyak dipakai
orang-orang dari kedua suku ini. Orang-orang Jawa disebutnya sering menyebut
kata ''nek'' atau ''gek'', yang berarti ''kalau'' sebagai sebuah
pengandaian tentang sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Orang Jawa
sering mengucap ''nek ngono mengko piye ...'', ''nek ngene mengko piye...'' 
yang berarti ''kalau begitu nanti bagaimana...'', ''kalau begini nanti
bagaimana....''*

*Orang-orang Jawa berpikir begitu panjang. Seluruh kemungkinan di masa
depan telah dipikirkan dari sekarang. Pada satu sisi, hal tersebut baik.
Banyak persoalan telah diantisipasi jauh hari menyangkut akibat yang mungkin
terjadi. Dengan demikian, jika akibat itu benar terjadi, mereka telah siap
untuk menghadapinya.*

*Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan
sering membuat takut melangkah. Ibarat seorang tak punya rumah yang tak
kunjung punya rumah karena takut memikirkan kemungkinannya di masa depan.
Bagaimana kalau gentingnya bocor, bagaimana kalau ada pencuri, apalagi kalau
rumah itu habis terbakar. Begitu banyak kemungkinan yang dipikirkan hingga
orang itu tak berani melangkah untuk punya rumah.*

*Sikap itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Jawa
pasrah pada keadaan yang dimilikinya. Mereka tidak akan berusaha keras
mengejar sesuatu karena kalau gagal akan terasa sangat menyakitkan. Mereka
tidak siap gagal. Akibatnya, pencapaian rata-rata orang Jawa kalah bila
dibanding etnis lainnya. Misalnya dengan rata-rata pencapaian orang Batak,
apalagi dengan keturunan Tionghoa. *

*Orang Jawa tak mau berbuat keliru, dan sangat khawatir keliru. Itu
membuat komunikasi orang Jawa tidak baik. Orang Jawa tidak pandai
mengekspresikan perasaan sendiri, apalagi kalau harus mengatakan tidak.
''Bagaimana nanti kalau orangnya tersinggung.'' Kalimat demikian banyak
diucapkan. Orang Jawa menuntut orang lain paham bahasa isyarat. Kalau
terpaksa harus mengomentari orang lain, paling dengan cara menyindir.
''Jadi, bagaimana orang Jawa bisa maju?''*

*Sebaliknya, orang Sunda cenderung malas berpikir panjang. Istilah yang
banyak dikatakan adalah, ''kumaha engke ...'' yang berarti ''bagaimana
nanti ....'' Jalani dan nikmati hidup seadanya seperti air mengalir yang
akan menemukan jalannya sendiri tanpa perlu diatur-atur. Ingin sekolah ya
sekolah, ingin main ya main, ingin kerja ya cari kerja kalau dapat. Kalau
tidak dapat ya sudah, ''can nasib'' atau ''belum nasibnya''. *

*Nanti cari lagi. Ada uang, nikmati saja sepuasnya. Uang habis tidak
apa-apa. Usaha lagi seperlunya, atau minta bantuan saudara. Tidak berhasil
tidak apa-apa. ''Can nasib.'' Ingin kawin, ya kawin saja biar pun
pekerjaan belum mapan, penghasilan juga pas-pasan. Ingin kawin lagi, ya
kawin lagi saja. Kan boleh dalam agama. Anak banyak, bermunculan saban dua
tahun, tidak apa-apa. Tak perlu ada kesiapan buat merencanakan masa
depannya. ''Kumaha Gusti wae ....'' Terserah Tuhan sajalah. ''Jadi,
bagaimana orang Sunda bisa maju?''*

*Dengan mentalitas begitu, kemiskinan Jawa yang sangat besar tak kunjung
berkurang. Sedangkan kemiskinan Sunda (serta Banten dan Betawi sebagai
kerabatnya) terus membesar dengan kecepatan luar biasa. Anehnya, kita
menganggap fenomena itu fenomena biasa, dan kadang malah menganggapnya
sebagai sikap pasrah pada Allah SWT sesuai tuntunan agama. Padahal, ''pasrah
pada nasib'' sangat berbeda dengan ''pasrah pada Allah''. *

*Pasrah pada Allah SWT adalah membuat perencanaan hidup sebaik-baiknya,
bekerja keras untuk mewujudkan perencanaan itu, serta selalu optimistis
terhadap hasil yang akan diberikan Tuhan pada kita. Reshuffle kabinet
boleh-boleh saja. Tapi, bila sungguh-sungguh ingin membuat bangsa ini dan
bangkit sesuai semangat Hari Kebangkitan Nasional, rombak dulu mentalitas
bangsa ini secara revolusioner. Untuk itu perlu revolusi mentalitas orang
Jawa dan Sunda sebagai mayoritas penduduk bangsa ini.*


Kirim email ke