http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=70008
Jumat, 18 Mei 2007 Tak Ada yang Gratis dalam Sistem Kapitalis Oleh: Titi Qamariah SE* BARU saja kita kembali diingatkan pada kejadian 12 Mei 1998. Sebuah gelombang pergerakan mahasiswa Indonesia yang sangat dahsyat sehingga mampu menggoyang rezim orde baru waktu itu. Sebuah reformasi yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan negeri ini,bahkan hal itupun sudah dibayar sangat mahal dengan tewasnya beberapa aktivis mahasiswa pada peristiwa Trisakti dan Semanggi. Namun, kita semua bisa melihat sendiri bagaimana hasil dari perjuangan itu. Adakah bangsa ini bangkit? Indonesia, negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Sangat membanggakan di satu sisi. Tapi di sisi lain, Indonesia juga merupakan negeri terkorup di Asia. Ironis memang! Para 'tikus berdasi' yang menggerogoti uang negara itu saat ini melarikan diri ke luar negeri. Daftar Koruptor yang dimiliki oleh pihak kejaksaan sampai saat ini ada sekitar 15-20 orang, sebagian besar diantaranya lari ke Singapura. Terkait hal itu (24/4) kemarin di Singapura, delegasi Indonesia dan Singapura berhasil merampungkan proses negosiasi dan pembahasan ekstradisi maupun kerjasama pertahanan. Dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi oleh Menlu RI, Nur Hasan Wirayuda dan Menlu Singapura, George Yeouh, di Istana Tampak siring, Gianyar, Bali, Jumat (27/4). Mabes Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto berharap negara Singapura bisa lebih kooperatif dengan Indonesia karena sejauh ini Singapura tidak kooperatif, kalau sudah berkaitan dengan kasus buronan keuangan atau ekonomi. Menurutnya, Polri tidak akan membentuk tim khusus untuk menyusul pengesahan perjanjian ekstradisi RI-Singapura, karena saat ini ada beberapa buronan yang menjadi prioritas untuk dibawa ke Indonesia, salah satunya Maria Pauline Lumowa buronan dalam kasus LC fiktif BNI dengan kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun. Perjanjian ekstradisi ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap perekonomian Singapura. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Penasehat Singapura, Lee Kuan Yew. Keuangan Singapura tidak terbangun dari uang yang berasal dari Indonesia. Ia mengatakan dana yang terkumpul dalam industri perbankan Singapura berasal dari beberapa negara, termasuk Cina, India, Eropa dan Timur Tengah. (Republika, 25/4/2007) Dengan adanya perjanjian ekstradisi ini banyak kalangan menilai pesimis akan berhasil membawa pulang Agus Anwar (kasus Bank Pelita, kerugian negara Rp1,9 T), Syamsul Nursalim (kasus BDNI, negara rugi Rp6,9 T), Bambang sutrisno dan Adrian Kiki Irawan (kasus Bank Surya, negara rugi Rp1,5 T), David Nusa Wijaya (kasus Bank Sertivia, negara rugi Rp1,26 T), Samadikun Hartono (kasus Bank Modern, negara rugi Rp1,26 T), Nadir Taher (kasus Bank Mandiri, Negara rugi Rp24,8 M), Atang Latief (kasus Bank Bira, kerugian negara Rp155 M) dan lain-lain. Karena menurut Ade Daud Nasution, anggota komisi VII DPR, memperkirakan sekitar 80 persen koruptor itu sudah hengkang dari Singapura. Ade menyontohkan, Sudjono Timan dan Syamsul Nursalin yang menurutnya sudah berada di Shanghai Cina. Begitu juga dengan Sukanto Tanoto sudah menjadi warga negara kehormatan Brazil, karena menanamkan usahanya di Brasil, sebesar Rp1,8 trilun. Kendala lain adalah tidak adanya jaminan pengembalian dan pemulihan (recovery) aset Indonesia karena singapura belum menendatangani konvensi PBB tahun 2003 tentang anti korupsi. Hal ini ditegaskan oleh wakil coordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko dalam konvensi PBB tersebut, khususnya yang mengatur tentang pemulihan aset. Dinyatakan, suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pemulihan aset. Dalam hal ini singapura bisa saja berkelit untuk tidak mengembalikan aset Indonesia karena Singapura belum menendatangani konvensi PBB tersebut. Sebuah pertanyaan besar pun muncul ketika Singapura 'tiba-tiba' sepakat menandatangani perjanjian ekstradisi ini, karena jejak dari perjanjian ini sudah 30 tahun dan akhirnya tahun ini berhasil ditandatangani. Ada apa? Tidak mungkin Singapura mau begitu saja. Kompensasi apa dibalik kesepakatan ini? Ternyata alasan utama Singapura menandatangani paket perjanjian ini adalah ingin mengeruk kekayaan dan potensi ekonomi Indonesia khususnya di Pulau Batam, Bintan dan Karimun. Sebab, tepat sebelum penandatanganan ekstradisi, DCA dan MTA, Singapura telah terlebih dahulu menandatangani perjanjian kawasan berikat (special economic zone) Batam, Bintan dan Karimun. Perjanjian itu memberikan ruang bagi Singapura membangun daerah industri di wilayah Indonesia. Sebenarnya itulah tujuan utama Singapura. Ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar bahwa tidak ada makan siang yang gratis, ya.! Apalagi di sistem kehidupan yang kapitalis sekuler seperti saat ini. Setiap sikap baik selalu diiringi oleh kepentingan. Seperti pepatah mengatakan selalu ada udang di balik batu. Memang, yang menang adalah yang banyak uang, yang berkuasa adalah yang banyak modal (kapital). Sehingga wajar semua berlomba-lomba mengejar materi yang sebanyak-banyaknya, dengan cara apa saja, tak peduli halal-haram. Karena mereka memisahkan antara agama dan kehidupan. Syariat hanya dipakai kalau dianggap menguntungkan dan ditinggalkan saat dianggap mengekang/merugikan secara materi/duniawi. Itulah yang terjadi di Negara kita, di tubuh umat muslim. Maraknya pornografi/pornoaksi, tingginya angka kejahatan, merajalelanya kemaksiatan termasuk tindak pidana korupsi yang sudah mengakar kuat dan 'membudaya' di negeri yang tercinta ini. Makanya, memangkas cabang-cabang dan ranting-ranting pohon yang rusak bukan solusi, karena penyakitnya ada diakar. Analogi itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa ini, yang sudah menggunakan berbagai macam cara untuk mengatasi semua problematika umat di negeri ini, namun tidak kunjung selesai dan justru menimbulkan masalah yang baru. Memberantas korupsi bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan, namun perlu perubahan dari semua mekanisme/sistem pengaturannya. Ya..! kita harus merubah sistemnya, karena itulah akar masalah yang sebenarnya. Merubah sistem kapitalis-sekuler yang sudah jelas kebobrokannya ini dengan kembali pada sistem Islam. Bukan sekadar reformasi apalagi sekadar resuffle yang sama sekali bukan solusi mendasar, karena kesalahan bukan hanya bisa dilihat secara individunya tapi yang jelas-jelas salah adalah sistem yang digunakan dalam pengaturan urusan umat yaitu bukan berdasarkan sistem Islam. Dalam Islam jika mencuri dengan kadar tertentu saja dihukum dengan hukum potong tangan, apalagi jika mencuri uang rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalis-sekuler yang malah melindungi koruptor dan malah menyuburkan tindak pidana korupsi ini. Hanya dengan sedikit usaha para koruptor bisa bebas tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun maling ayam-kasus yang baru-baru ini dimana dua orang penjambret handphone yang bisa jadi terpaksa karena terdesak ekonomi-dihukum 6 bulan kurungan. Sedangkan para koruptur jahat ini, tertawa sambil menikmati hasil curiannya dengan bersenang-senang di luar negeri. Kalau pun ada yang dipenjara, namun tetap saja perlakuannya berbeda. Penjara yang hampir mirip hotel, dengan peralatan yang lengkap, bagaimana mungkin bisa membuat jera. Itulah gambaran saat aturan kehidupan yang dipakai tidak berdasarkan Islam. Tapi justru menjalankan aturan buatan manusia, yang notebene lemah dan terbatas. Semestinya firman Allah dalam surah al-Ahzab : 36 patut kita renungkan bersama; " dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi laki-laki yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketetapan, akan ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. Wahai penguasa muslim, belum tibakah saatnya untuk kembali pada syariat Allah?*** *)Koordinator Tim Media Lajnah I'lamiyah HTI Kalsel