Pak Jhoni, Dalam artikel pendek saya mengenai aborsi, saya menulis there must be a strict regulation though; that is to do the abortion before the pregnancy reaches three months old. Sepengetahuan saya Tuhan meniupkan roh kepada calon jabang bayi, untuk memberinya kehidupan, pada saat calon jabang bayi memasuki usia kehamilan 3 bulan. (Seperti juga peraturan yang ada di Tunisia, satu artikel yang saya baca di blog http://dedepermana.blogspot.com). Setelah lebih dari usia kehamilan 3 bulan, yang dilakukan baru bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Sebelum itu, karena belum ada ruh yang hidup dalam segumpal darah tersebut, berarti belum bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Aborsi tentu saja merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan kehidupan sang calon ibu, entah karena kehamilan itu membahayakan jiwa sang calon ibu, mungkin juga kelahiran sang jabang bayi tersebut akan membahayakan kehidupan sosial sang calon ibu, dan bisa jadi juga membahayakan kehidupan sang jabang bayi tersebut seandainya dia dilahirkan. (Berapa banyak jabang bayi yang baru saja lahir dibinasakan oleh sang ibu karena dia merasa bakal dinistakan? Hal ini tentu saja jauh lebih kejam daripada menghentikan kehamilan tatkala kehamilan tersebut belum mencapai usia 3 bulan.) Saya percaya bahwa seorang perempuan yang dewasa akan lebih memilih melakukan hubungan seks yang aman daripada dia harus berurusan dengan meja dokter untuk aborsi berulang kali. Meskipun saya menulis artikel yang intinya untuk melegalkan aborsi di Indonesia, (seperti di Tunisia), saya pribadi lebih memilih jalan aman untuk menghindari aborsi, yakni ya itu tadi, melakukan hubungan seks yang aman, maupun no sexual intercourse at all. J Saya masih menunggu masyarakat yang akan menerima secara wajar seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan yang biasanya terjadi karena ketidaktahuannya tentang seks, sehingga dia tidak perlu merasa dihakimi oleh masyarakat, yang biasanya akan mendorongnya untuk melakukan aborsi. Saya masih menunggu masyarakat (atau perusahaan-perusahaan) yang membolehkan pegawai perempuannya untuk hamil, sehingga dia tidak perlu melakukan aborsi karena dia takut dikeluarkan oleh perusahaan. Saya masih menunggu masyarakat (atau perusahaan-perusahaan) yang akan mempekerjakan seorang perempuan yang memiliki anak. Berapa banyak perusahaan yang akan lebih memilih mempekerjakan seorang perempuan yang single dan tidak memiliki anak, karena seorang perempuan yang memiliki anak dianggap tidak akan becus melakukan pekerjaannya atau ditakutkan akan bekerja secara tidak professional karena harus membagi perhatiannya antara pekerjaan dan anak? Pada saat yang bersamaan, saya juga menghimbau kepada kaumku, perempuan, untuk bekerja lebih professional, dan tidak menggunakan alasan anak untuk mangkir dari tempat kerja. Hal ini bisa diatasi dengan bersedianya kaum laki-laki ikut membantu mengurusi anak, dan tidak lagi berpikir bahwa urusan anak hanya milik perempuan saja. Saya masih menunggu sekolah-sekolah yang membiarkan siswinya untuk terus bersekolah, meskipun dia hamil. (untuk anak-anak di usia SMP maupun SMA, biasanya mereka hamil karena ketidaktahuan mereka, karena kurangnya sexual education, juga karena kurang terbukanya antara anak-anak dan orang tua.) Kebanyakan sekolah masih sangat bias gender, dengan mengeluarkan siswi yang hamil, sedangkan siswa (laki-laki) yang menghamilinya tidak dikenai sanksi apa-apa. By the way, memang sangatlah diperlukan orang-orang seperti Mother Teresa yang bersedia untuk menampung bayi yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Mungkin sudah waktunya bagi kita orang Indonesia untuk membentuk wadah seperti ini? Sehingga tak ada lagi calon jabang bayi dibunuh hanya karena orang tuanya merasa miskin, tidak akan mampu membesarkan anaknya, maupun alasan-alasan lain. Salam, Nana
"Tuerah, Jhoni" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: [Bu Nana] Sebagai seorang feminis, aku hanya ingin memandangnya dari kacamata perempuan yang bisa jadi adalah sang korban [Jhoni] Dear Bu Nana, Saya juga melihat seperti itu. Ketika kita sedang memperjuangkan sesuatu, kita bisa sedemikian terserap dengan sesuatu itu, sehingga bisa melupakan suatu sudut pandang lain yang menurut saya juga sangat penting untuk diperhatikan. Menurut saya, tulisan legalisasi aborsi dari artikel yang Bu Nana kirim adalah sebuah artikel yang seperti itu, sedemikian terserapnya dengan suatu pemikiran untuk suatu yang dianggap baik sampai melupakan bahwa: 1. bayi memiliki hak hidup yang merupakan hak asasi dia. 2. aborsi adalah pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Untuk paham feminisme yang mendorong munculnya aborsi, berarti perlu muncul gerakan lain lagi yang memperjuangkan hak hidup bayi. Feminisme seperti itu kembali lagi menjadi seperti paham-paham lain yang egois yang hanya memikirkan dirinya / kelompoknya sendiri. Seperti patriarkhal yang egois untuk pria, feminisme menjadi egois untuk wanita, dan karenanya perlu muncul kelompok yang membela bayi, dan seterusnya. Hal lebih mendasar yang diperlukan manusia sebenarnya perjuangan membentuk kelompok-kelompok yang memiliki hati seperti Bunda Theresa, bagaimana membuka hati dan pikiran manusia sehingga kita hidup penuh kebaikan. Di artikel tersebut, menurut saya, alasan-alasan (advantage) aborsi yang diajukan terlalu practical dan bersifat egois, untuk keenakan dan kenyamanan kita. Dan untuk ini, Bunda Theresa menjawab dengan: "jangan bunuh anak itu, saya menginginkan anak itu, biar saya yang urus kalau kamu merasa dia menimbulkan kesulitan dalam hidupmu". Dan di Kalkuta sendiri, beliau dan rekan2nya sudah menyelamatkan 3000 bayi dari aborsi. Are we going to let people doing abortion? Or even influence them? Atau membuat mereka merasa nyaman melakukan hal itu, dengan melegalkannya sehingga aborsi seolah-olah menjadi hal biasa dan wajar2 saja? Or are we going to give ourselves to save those going-to-be aborted baby? That's a better, loving way to solve abortion problem. Saya tidak akan tahan melihat bayi-bayi yang diaborsi itu. Too cruel for me. Saya sendiri hanya setuju aborsi kalau itu menyangkut keselamatan nyawa sang ibu, dan masih pikir-pikir kalau akibat perkosaan (sepertinya ada cara lain untuk menyelesaikan masalahnya dibandingkan aborsi, yang menurut saya, merupakan penyelesaian yang kejam untuk sebuah masalah). My opinion. Bagaimana pendapat Bu Nana? --------------------------------- From: Nana P [mailto: [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, May 18, 2007 7:06 PM To: Tuerah, Jhoni; FPK Kompas; Mediacare; Rumahkitabersama; Perempuan Subject: Re: Abortion Pak Jhoni, Terima kasih atas kiriman quote dari Mother Teresa tentang abortion. Apparently, Mother Teresa memandang masalah ini dari kacamata si calon bayi, sedangkan aku lebih memandangnya dari kacamata sang calon ibu. Kita semua memiliki alasan kuat untuk segala hal yang kita lakukan di dunia ini. Sebagai seorang feminis, aku hanya ingin memandangnya dari kacamata perempuan yang bisa jadi adalah sang korban, mungkin korban ketidaktahuannya sehingga dia hamil, korban perkosaan, korban masyarakat patriarki yang menganggapnya sebagai mesin pengembangbiakan anak, korban yang mungkin akan dikucilkan oleh masyarakat tatkala dia hamil karena belum menikah, korban yang mungkin membuatnya tidak akan mendapatkan pekerjaan karena dia memiliki anak, dan korban-korban lain. Anyway, thanks a million for your attention to my post. Salam, Nana "Tuerah, Jhoni" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Selamat pagi, Pak Agus, Mohon dirilis email saya di bawah. Mungkin kelewatan. Terima kasih. --------------------------------- From: Jhoni Tuerah Sent: Wednesday, May 16, 2007 3:00 PM To: '[EMAIL PROTECTED]' Subject: Re: Abortion In Memory of Mother Teresa Quotes About Abortion --------------------------------- "It is a poverty to decide that a child must die so that you may live as you wish." --------------------------------- February 1997 - National Prayer Breakfast in Washington attended by the President and the First Lady. "What is taking place in America," she said, "is a war against the child. And if we accept that the mother can kill her own child, how can we tell other people not to kill one another." --------------------------------- "Please don't kill the child. I want the child. Please give me the child. I am willing to accept any child who would be aborted, and to give that child to a married couple who will love the child, and be loved by the child. From our children's home in Calcutta alone, we have saved over 3,000 children from abortions. These children have brought such love and joy to their adopting parents, and have grown up so full of love and joy!" --------------------------------- "America needs no words from me to see how your decision in Roe v. Wade has deformed a great nation. The so-called right to abortion has pitted mothers against their children and women against men. It has sown violence and discord at the heart of the most intimate human relationships. It has aggravated the derogation of the father's role in an increasingly fatherless society. It has portrayed the greatest of gifts -- a child -- as a competitor, an intrusion, and an inconvenience. It has nominally accorded mothers unfettered dominion over the independent lives of their physically dependent sons and daughters" And, in granting this unconscionable power, it has exposed many women to unjust and selfish demands from their husbands or other sexual partners. Human rights are not a privilege conferred by government. They are every human being's entitlement by virtue of his humanity. The right to life does not depend, and must not be declared to be contingent, on the pleasure of anyone else, not even a parent or a sovereign." (Mother Theresa -- "Notable and Quotable," Wall Street Journal, 2/25/94, p. A14) --------------------------------- "But I feel that the greatest destroyer of peace today is abortion, because it is a war against the child - a direct killing of the innocent child - murder by the mother herself. And if we accept that a mother can kill even her own child, how can we tell other people not to kill one another? How do we persuade a woman not to have an abortion? As always, we must persuade her with love, and we remind ourselves that love means to be willing to give until it hurts. Jesus gave even his life to love us. So the mother who is thinking of abortion, should be helped to love - that is, to give until it hurts her plans, or her free time, to respect the life of her child. The father of that child, whoever he is, must also give until it hurts. By abortion, the mother does not learn to love, but kills even her own child to solve her problems. And by abortion, the father is told that he does not have to take any responsibility at all for the child he has brought into the world. That father is likely to put other women into the same trouble. So abortion just leads to more abortion. Any country that accepts abortion is not teaching the people to love, but to use any violence to get what they want. That is why the greatest destroyer of love and peace is abortion. " --------------------------------- "Any country that accepts abortion, is not teaching its people to love, but to use any violence to get what it wants." --------------------------------- For the world, you are just someone; for someone, you can be his/her world visit my blogs please, at the following sites http://afemaleguest.blog.co.uk http://afeministblog.blogspot.com http://afemaleguest.multiply.com THANK YOU Best regards, Nana For the world, you are just someone; for someone, you can be his/her world visit my blogs please, at the following sites http://afemaleguest.blog.co.uk http://afeministblog.blogspot.com http://afemaleguest.multiply.com THANK YOU Best regards, Nana --------------------------------- It's here! Your new message! Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.