Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 42 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- POLITIK INDONESIA SETELAH 9 TAHUN REFORMASI Oleh: FX. Rudy Gunawan dan Rahardja Waluya Jati[1] Memotret situasi politik Indonesia pasca reformasi ibarat memotret sebuah karnaval yang meriah dan penuh warna sementa ra di pinggiran jalan raya sepanjang karnaval, rakyat miskin menonton untuk melupakan pahitnya penderitaan hidup mereka. Anak-anak dengan ingus meleleh dan baju rombeng, tertawa-tawa melihat badut menari-nari di depan mereka. Dalam karnaval itu memang ada banyak badut. Ada banyak pejabat dan tokoh masyarakat, ada generasi muda dengan semangat juang 98, ada cendikiawan yang senantiasa menebar senyum arif seolah bersaing dengan para agamawan yang juga tersenyum lembut sambil terus berdoa. Lalu para anggota parlemen pun membusungkan dada sebagai wakil rakyat terpilih yang terhormat. Selain itu para selebriti dari berbagai profesi pun turut memeriahkan karnaval. Drum band, kesenian tradisional mulai dari ondel-ondel sampai jaipongan, seniman dan budayawan, trio macan, trio gajah, dan trio-trio lainnya, tampil bersemangat sepanjang karnaval. Semua tumplek-blek dalam karnaval yang meriah itu. Semua mencoba ambil bagian untuk memeriahkan karnaval dengan berbagai cara. Tujuannya kurang lebih hanya untuk mendapatkan perhatian rakyat yang menonton karnaval. Rakyat dalam kondisi ini, masih tetap menjadi "objek", menjadi "komoditi" yang diperjual-belikan, diperas, dan bila perlu dijadikan "korban". Seperti dikatakan oleh Mugiyono, aktivis korban penculikan 1998, "negara saat ini sedang mengajak kita semua untuk lupa". Melalui sebuah karnaval yang meriah, rakyat memang bisa "diajak untuk lupa" akan penderitaan mereka. Sebuah karnaval, hakikatnya adalah sebuah hiburan massal. Tapi hiburan massal secanggih apapun sebenarnya tak kan pernah benar-benar mampu mengajak rakyat untuk melupakan lapar yang menggigit, panas yang membakar, atau dingin yang menusuk tulang. "Politik karnaval" hanya akan memperburuk keadaan dan mementahkah agenda reformasi kembali ke titik nol. Perjalanan 9 tahun reformasi memang telah membuahkan beberapa langkah maju di dunia politik, sebut misalnya kebebasan pers dan kebebasan ber ekspresi. Lalu ada juga kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi, tentu dengan segala kekurangan dan catatan kaki. Namun apapun kekurangan itu, tetaplah kita harus menghargai secara objektif langkah maju di bidang ini. Karena masih asyik ber-karnaval-ria, upaya mewujudkan kehidupan demokratis yang sejahtera, aman, dan damai sebagai cita-cita reformasi, sepertinya memang masih jauh dari kenyataan. Otonomi daerah ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan oleh para pemikir desentralisasi. Jika harapan otonomi adalah pemerataan kesejahteraan maka yang terjadi justru pemerataan sistem orde baru di berbagai daerah. Artinya, terjadi sebuah diseminasi sistem secara instan karena tidak ada alternatif sistem lain yang diketahui sebuah pemerintahan daerah. Lebih celaka lagi, otonomi daerah justru diterjemahkan sebagai ajang mengeruk keuntungan di tingkat daerah ketika kini tak perlu terlalu menghamba pada pemerintah pusat. Sehingga tak mengherankan bila kita mendapati bertumpuk berkas korupsi, baik yang dilakukan oleh anggota parlemen daerah maupun birokratnya. Atau menemukan sekian ragam Perda "aneh-aneh" yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi, begitu kran desentralisasi terbuka lebar dan terimplementasikan. Tak heran bila kemudian Teten Masduki, seorang kampiun pemerang korupsi, mengatakan bahwa tipologi korupsi pasca reformasi mengalami pergeseran secara vertical maupun horizontal. Bila dulu korupsi cuma jadi barang mainan para kroni dan kerabat Soeharto, maka kini korupsi telah menyebar rata di partai-partai serta lapis-lapis politisi baru dan para birokrat dari pusat hingga daerah. Setiap proses perubahan sistem dan masyarakat selalu memunculkan tabrakan-tabrakan politik serta rasa masygul. Hal tersebut muncul karena jaringan politik lama masih eksis dan proses transformasi belum menunjukkan hasil nyata. Suatu hal yang benar-benar dirasa-inderakan masyarakat. Semisal turunnya harga kebutuhan pokok, murahnya biaya pendidikan, jaminan keseh atan hingga pekerjaan. Tak jarang kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama sebagai rute untuk kembali berkuasa. Tak bisa disangkal bahwa proses transformasi politik dan kultur kekuasaan butuh waktu. Namun tak bijak juga untuk menyembunyikan setiap keraguan memerangi sisa kekuatan politik lama dalam permakluman tersebut. Tiga pemerintahan sebelumnya tak cukup memenuhi harapan rakyat karena tak tegas dalam menindak praktek ekonomi-politik warisan Orde Baru yang masih mengakar. Tiga presiden usai Soeharto, juga tak kunjung mengambil sikap tegas terhadap semua pelanggaran HAM di masa lampau. Bahkan perulangan kasus pelanggaran juga dianggap tak cukup bagi penguasa saat ini untuk mengatakan, "Sekarang waktunya meluruskan sejarah! Menimbang dengan arif kesalahan dan kemaslahatan lampau! Menghukum dan menghargai dengan bijak para pelaku dan korban di masa lalu!" Akankah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengulang kisah usang tiga rezim pasca kekuasaan Soeharto? Semua kembali pada keberanian SBY untuk mengatakan tidak pada perulangan sejarah tersebut. Dan tentu saja yang paling menentukan adalah bagaimana menjelmakan kekuasaan rakyat (res publica) dalam setiap proses demokrasi dan institusionalisasinya melalui prinsip-prinsip partisipasi serta control sosial. -------------------------------------------------------------- [1] FX. Rudy Gunawan saat ini bekerja sebagai Pemimpin Redaksi dan Rahardja Waluya Jati sebagai Direktur di Voice of Human Rights News Centre. Keduanya adalah anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. [EMAIL PROTECTED]