http://www.indomedia.com/bpost/052007/24/depan/utama1.htm
26 Kali Gagal Usut Kasus KKN Soeharto a.. Jaksa Agung targetkan sebelum 22 Juli JAKARTA, BPOST - Salah satu amanat reformasi adalah membongkar kasus dugaan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) mantan Presiden Soeharto. Namun, upaya ini selalu gagal. Bahkan, pada 11 Mei 2006, Jaksa Agung (saat itu) Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan Soeharto sakit permanen. Kini posisi jaksa agung dipegang Hendarman Supandji. Dia bertekad terus mengusut kasus-kasus yang melibatkan Soeharto. Berkasnya ditargetkan selesai sebelum HUT ke-47 Kejaksaan pada 22 Juli untuk selanjutnya diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Kita punya satu target, itu semua bisa dilengkapi sebelum HUT Kejaksaan," kata Hendarman di Jakarta, Rabu (23/5). Dia mengatakan, ekspose alias gelar perkara untuk kasus itu sudah dilakukan Kejagung. Dari ekspose itu, ada hal-hal yang perlu dipenuhi, yaitu alat bukti. "Ada dokumen-dokumen seperti fotokopi yang tentunya perlu proses legalisasi, supaya fotokopi itu menjadi alat bukti," ujarnya. Hendarman pun menegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan surat kuasa khusus untuk gugatan Soeharto. Dalam gugatan ini, kejaksaan melihat adanya perbuatan melawan hukum Tekad kejaksaan ini ditanggapi dengan sinis oleh salah satu kuasa keluarga Cendana, OC Kaligis. "Mereka sudah 26 kali gagal. Mana allegation (dakwaan)? Mana charge (tuntutan)? Mana final judgment (putusan final yang mengikat)?" tegas Kaligis yang kini mendampingi Tommy Soeharto dalam kasus dugaan pencucian uang (money laundering) dalam persidangan di Royal Court Guernsey, Inggris. Karena itu, Kaligis mengaku heran dengan sikap pemerintah melalui kejaksaan yang ingin menyita harta Tommy di luar negri dengan alasan harta itu adalah uang korupsi bapaknya. "Pada kasus Marcos (mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos) misalnya, sudah ada putusan pengadilan di dalam negeri yang memutuskan Marcos bersalah korupsi. Soeharto mana?" tandas Kaligis. Dukungan Upaya Kejagung boleh dicibir Kaligis. Tetapi dukungan mengalir dari Gedung DPR. Sejumlah politisi mengingatkan pemerintah supaya tetap menjalankan Ketetapan MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang isinya antara lain tentang pemberantasan korupsi Soeharto. "Tap MPR itu harus tetap dijalankan karena belum dicabut," kata Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim. Dia menilai, pengusutan kasus Soeharto sendiri sebenarnya sudah berusaha dijalankan pemerintah, namun masih terhambat masalah kesehatan, serta gerak kejaksaan sendiri. "Karena itu, kita berharap jaksa agung yang baru bisa serius menyelesaikannya," tegasnya. Anggota Fraksi Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi mengemukakan, selama Tap MPR itu belum dicabut, maka pemerintah wajib melaksanakannya. "Pemerintah seharusnya menyampaikan agenda dan target penyelesaian masalah mantan Presiden Soeharto kepada masyarakat," katanya. Desakan serupa juga disuarakan oleh Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung. "Tapi harus jujur, persoalan itu tidak bisa hanya ditimpakan sepenuhnya pada pemerintahan yang ada sekarang," tegasnya. Menurut Pramono, pengusutan kasus Soeharto, harus menjadi persoalan bersama seluruh bangsa, jika ingin dituntaskan. "Ini menjadi pelajaran, bahwa tidak bisa menyerahkan cek kosong pada siapa pun," ucapnya. Pun dengan ahli ilmu hukum tata negara universitas Andalas, Saldi Isra. "Soeharto harus diadili. Kalau tidak, pemerintah akan sulit membongkar korupsi di Indonesia, terutama yang melibatkan anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya. Peradilan terhadap Soeharto merupakan titik pembuka untuk membongkar kasus korupsi anak-anak dan kroni-kroninya," ujarnya. Dia menjelaskan, Tap MPR memang tidak lagi sebagai sumber hukum. Namun, ada Tap MPR yang substansinya masih ada dalam aturan peralihan, yang harus tetap dilaksanakan oleh pemerintah. "Saya pikir, waktu untuk Yudhoyono masih panjang untuk menyeret Soeharto ke pengadilan," ujarnya. dtc/spc