Demokrasi kita jelas masih bayi, jauh dari sempurna, juga pemerintah, legislatif dan justisianya. Kita sering maki DPR, kritisi kabinet, bidang hukum juga amburadul. Tapi kita musti juga bisa dengan nalar melihat secercah hal yang positif. Betul, dalam hal terkait kita harus mengapresiasi DPR. Apapun praktiknya selama ini, soal Singapura, DPR harus jadi benteng terakhir. TOLAK RATIFIKASI perjanjian yang untungkan mereka, dan merugikan kita! Belum terlambat. Agrement yang diteken pemerintah, akan berlaku hanya kalau di ratifikasi DPR! Hukum ekstradisi Singapura didesain untuk melindungi "imigrasi bisnis", masa bodo pendatang ybs tersangkut soal tindak pidana berat di mana saja. Kini malah mereka ini pada siap "kembali" ke negeri kita untuk menguasai bisnis biofuel. Mereka, Singapura dan para konglomerat hitam itu pinter, uangnya seabrek. Banyak pimpinan dan pejabat kita yang "bengak". Logis aja ya mereka itu harus kita ganti dengan yang cinta Tanah Air. Singapura dan yang pada dilindungi itu tidak akan pernah berubah. Mereka cuman cari-cari peluang untuk terus menipu kita. Parahnya yang harus melindungi negara, malah senang "ditipu". Gitu kan? TCh
IrwanK <[EMAIL PROTECTED]> wrote: )(*)(%@)(*#@)(*@)(*()@*)(@@) Pusing deh bacanya.. Bagaimana awalnya perjanjian ekstradisi dibangga"kan, tahunya seperti itu.. :-( Wassalam, Irwan.K http://www.media-indonesia.com/editorial.asp?id=2007052322473206 Kamis, 24 Mei 2007 EDITORIAL Dua Perjanjian yang Merugikan Republik PEMERINTAH kini mendapat pelajaran penting dari DPR. Yaitu sangat dominannya suara wakil rakyat yang menolak dua perjanjian Indonesia-Singapura yang ditandatangani pemerintah, yang isinya dikecam luas telah merugikan Republik ini. Tidak hanya merugikan, tetapi lebih parah daripada itu. Perjanjian mengenai pertahanan dihajar habis-habisan sebagai perjanjian tolol. Tolol karena dengan perjanjian itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah kehilangan kedaulatan wilayahnya, dikuasai secara resmi oleh Singapura untuk keperluan latihan membangun keperkasaan angkatan perang. Berdasarkan perjanjian itu, Angkatan Bersenjata Singapura diizinkan menggunakan wilayah laut dan udara Indonesia untuk latihan menembak dengan peluru kendali (rudal) empat kali setahun. Perjanjian yang lain mengenai ekstradisi juga cuma kulit luarnya menguntungkan Indonesia. Perjanjian ekstradisi itu tidak akan membuat Singapura menyerahkan aset yang dibawa koruptor Indonesia kabur ke Singapura. Sebabnya sangat sederhana, tetapi sangat mendasar. Yaitu perbedaan hukum kedua negara. Di negeri ini pemerintah bisa mengambil keputusan ekstradisi. Tetapi di Singapura, itu harus keputusan peradilan ekstradisi. Kesimpulannya ekstradisi itu gampang dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi sangat sulit bahkan mustahil dilakukan pemerintah Singapura tanpa melalui proses pengadilan. Permintaan ekstradisi itu pun menjadi sia-sia jika ternyata sang koruptor yang telah melarikan diri ke Singapura itu telah berganti warga negara menjadi warga negara Singapura. Yang lebih ironis ialah orangnya mungkin dapat diekstradisi, tetapi harta hasil korupsinya yang telah diparkir di Singapura tidak otomatis juga ikut diekstradisi. Orangnya kembali, tetapi uang negara ini tetap di sana. Lalu, untuk apa Republik ini mendapatkan sang koruptor, tetapi harta hasil jarahannya tetap di Singapura? Itulah sebabnya banyak suara yang menyimpulkan perjanjian ekstradisi itu cuma menghasilkan pepesan kosong bagi Indonesia. Sebaliknya, Singapura meraih keuntungan yang tak ternilai harganya karena bisa menggunakan wilayah laut dan udara Indonesia untuk latihan perang. Kedua perjanjian itu (pertahanan dan ekstradisi) memang dibuat dalam satu paket, ditandatangani pada hari yang sama, di tempat yang sama, tetapi dengan kekalahan fatal di pihak Indonesia. Kedua perjanjian itu sesungguhnya mirip barter kepentingan. Indonesia berkepentingan dengan ekstradisi dan kembalinya hasil korupsi, Singapura berkepentingan mendapatkan wilayah laut dan udara Indonesia untuk latihan perang. Tetapi itulah barter antara si bodoh dan si pintar. Indonesia telah 'dikadali' terang-terangan oleh kecerdasan Singapura. Itulah fakta yang amat menyakitkan yang mestinya membuka mata rakyat. Dalam hal ini kita mesti mengapresiasi DPR yang sangat responsif sebagai wakil rakyat. Sebaliknya, bisa juga itu berarti pemerintah yang sudah tidak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat. Hal itu mestinya merupakan tamparan untuk pemerintah. Bahkan, ditinjau dari bobot kerugian bangsa dan negara, kasus dua perjanjian Indonesia-Singapura itu lebih layak dijadikan sebagai alasan bagi DPR untuk menggunakan hak interpelasinya. Panggil pemerintah, tanya apa tujuan pemerintah menandatangani dua perjanjian yang merugikan bangsa dan negara itu. Dua perjanjian itu jelas menunjukkan kegagalan pemerintah menangani masalah-masalah hari ini. Pemerintah hanya sibuk dan hiruk pikuk dengan mencari-cari berbagai masalah yang terjadi di masa lalu. Sibuk menangkap dan mengadili perkara masa lalu, yang hanya akan menimbulkan dendam pembalasan ketika pemerintah yang sekarang tidak berkuasa lagi. Dua perjanjian yang merugikan Republik dan orientasi kepada masa lalu itu jelas menimbulkan pesimisme. Dalam satu kata bahasa Hokian, bo-huat, alias hopeless.... ------------ On 5/23/07, HINU E. SAYONO < [EMAIL PROTECTED]> wrote: Pada awal tahun 1990-an, ketika berada di provinsi Riau, saya melihat banyak pilot dari angkatan Udara Republik Singapura berada di satu tempat di sana. Kebetulan saya ditemani seorang Kepala Kanwil satu Departemen yang kebetulan adalah adalah seorang perwira TNI-AD berpangkat Kolonel. Ketia saya bertanya tentang keberadaan para pilot AU Republik SIngapura tersebut kepada temanku, dia menjawab dengan entengnya bahwa RI menyewakan satu daerah di provinsi Riau kepada AU negara tetangga tersebut untuk latihan menembak. "Lho?", saya kaget bukan alang kepalang. Ternyata sekarang hal itu ditingkatkan oleh Pemerintahan SBY-MJK dengan memberikan kesempatan kepada AU negara tetangga itu untuk latihan menembakkan peluru kendali. Ditambah dengan "kelihaian" para pejabat Pemerintah dan para pedagang, pasir Indonesia dijual pula kepada Singapura, yang tentu saja menambah wilayah kedaulatan Republik Singapura dan, tentu saja, mengurangi wilayah kedaulatan RI. Konyolnya, bisnis pasir itu diizinkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda. Singapura dan Hilangnya Kedaulatan Wilayah NKRI Media Indonesia Online - EDITORIAL Rabu, 23 Mei 2007 SINGAPURA hanyalah sebuah negara kota. Wilayahnya kecil, terbatas, sangat terbatas baik udara, darat, maupun laut. Namun, Singapura punya akal yang panjang dan cerdik sehingga bisa membuat yang mustahil menjadi berhasil, yang impossible menjadi possible, yang bulus menjadi mulus. Misalnya, daratannya yang terbatas menjadi bertambah luas berkat pasir dari Indonesia. Bukan hanya itu. Yang lebih fantastik adalah untuk kepentingan Angkatan Bersenjata Singapura, wilayah laut dan udaranya pun bertambah luas, sangat luas, karena mencakup pula wilayah laut dan udara Indonesia. Kok bisa? Alkisah, adalah sebuah dokumen yang diterima Media Indonesia tentang perjanjian pertahanan (defence cooperation agreement) Indonesia-Singapura. Perjanjian itu ditandatangani Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono dan Menteri Pertahanan Singapura Teo Chee Hean di Tampak Siring, Bali, 27 April 2007 lalu. Isinya sangat mengejutkan, sangat mengganggu patriotisme dan heroisme anak bangsa. Yaitu, Angkatan Bersenjata Singapura diizinkan menggunakan wilayah laut dan udara Indonesia untuk latihan menembak dengan peluru kendali (rudal) empat kali setahun. Jadi, berdasarkan perjanjian pertahanan itu, secara sah, resmi, mengikat, empat kali setahun, wilayah laut dan udara Singapura praktis bertambah luas karena termasuk pula wilayah laut dan udara Indonesia. Dalam bahasa yang lebih lugas, empat kali setahun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah kehilangan kedaulatan wilayahnya, dikuasai secara resmi oleh Singapura untuk keperluan latihan membangun keperkasaan angkatan perangnya. Meminjam bahasa Medan dalam film Nagabonar 2, "Bengak kali kau Indonesia." Bengak, alias tolol, bodoh, goblok. Bukan cuma bengak kali, melainkan juga sekaligus sangat memalukan. Memalukan, karena bangsa ini kehilangan kemampuan mengatakan tidak kepada negara tetangga yang kecil. Memalukan, karena dengan sadar, negara besar yang kemerdekaannya direbut dengan patriotisme dan heroisme dari penjajah ini bertekuk lutut dengan gampangnya kepada negara kecil melalui perjanjian pertahanan yang bodoh itu. Perjanjian pertahanan yang tolol itu harus segera dibatalkan. DPR harus menggunakan kekuasaannya untuk menekan pemerintah agar segera mencabut perjanjian pertahanan yang goblok itu. Seperti diketahui, konstitusi Republik Indonesia tegas mengatakan bahwa presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain. Jadi, DPR bisa membatalkan perjanjian pertahanan Indonesia-Singapura itu. Setelah mendapat banyak kritik dan kecaman, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono akhirnya mengatakan perjanjian pertahanan itu akan direvisi dan perbaikan ditekankan pada tingkat implementasi. Revisi itu akan dibicarakan dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 28 Mei 2007. Revisi adalah satu hal, tetapi bahwa Menteri Pertahanan Republik Indonesia dengan sadar telah menyerahkan kedaulatan wilayah NKRI kepada Singapura tetaplah perkara yang bodoh dan memalukan. Itu menunjukkan semakin buruknya rasa cinta Tanah Air, semakin dangkalnya patriotisme dan heroisme, dan yang menyedihkan ialah hal itu dilakukan pejabat negara dengan kapasitas Menteri Pertahanan. Singapura rupanya tidak hanya unggul secara ekonomi daripada Indonesia, tetapi juga lebih pintar mengakali, sehingga Indonesia dengan rela menyerahkan kedaulatan wilayahnya dipakai untuk latihan berperang. Hal yang sangat sulit dimengerti dan dimaafkan mengapa sampai terjadi. Ah, bengak kali kau Indonesia.... --------------------------------- --------------------------------- You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck in the all-new Yahoo! Mail Beta.