Pengabaian hukum dan permintaan pasar internasional
mengancam keberlangsungan Merbau

Jakarta, 25 Mei 2007 – Greenpeace memperingatkan bahwa jenis kayu
keras tropis merbau (Instia spp.) akan segera punah dalam kurun waktu
35 tahun mendatang, atau bahkan lebih cepat, bila tidak ada upaya
serius untuk menghentikan pembalakan ilegal dan merusak serta
mengontrol perdagangannya secara internasional. Hal tersebut
ditekankan hari ini pada peluncuran laporan terkini organisasi
tersebut, `Merbau's Last Stand' dalam versi Bahasa Indonesia
(Pertahanan Terakhir Merbau) (1).  

Sebuah perusahaan retail produk-produk interior terkemuka Home Depot
telah merespon positif laporan ini dengan tidak lagi menerima produk
merbau di Cina, namun hal itu saja tidak akan cukup.  Greenpeace
mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengupayakan penghentian
pembalakan hutan ilegal dan merusak, serta mekanisme kontrol atas
perdagangan merbau secara internasional.

Merbau, yang dulu banyak ditemukan di Afrika bagian timur hingga Asia
dan Oseania, bahkan hingga Tahiti, saat ini hanya dapat ditemukan
dalam jumlah yang signifikan di pulau Nugini – Indonesia dan Papua
Nugini (PNG). Merbau telah dimasukkan dalam daftar `menghadapi resiko
kepunahan tinggi di alam bebas dalam waktu dekat' oleh the World
Conservation Union.  Sekalipun telah dianggap rentan, namun hingga
saat ini Pemerintah Indonesia masih belum mendaftarkan merbau ke dalam
Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) walau
sudah menyatakan niatnya untuk itu (2).

"Pemerintah Indonesia pernah mengumumkan dalam forum internasional
akan mengusulkan merbau masuk ke dalam proteksi CITES, namun hingga
saat ini hal tersebut masih belum juga dilakukan.  Dengan masih
maraknya pembalakan ilegal dan merusak atas merbau dan perdagangannya,
maka keseriusan Pemerintah Indonesia dapat dipertanyakan oleh dunia
internasional," kata Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia
Tenggara.

Peta-peta terbaru yang diolah oleh Greenpeace menunjukkan bahwa, dari
seluruh luas hutan yang saat ini menjadi daerah pertahanan terakhir
populasi merbau di pulau Nugini, 83%nya telah dibalak atau
dialokasikan untuk pembalakan komersial – meninggalkan hanya 17% dari
tempat tumbuh asli merbau yang belum dirusak atau masuk blok tebangan (3).

Kayu keras tropis merbau memiliki harga yang sangat tinggi di pasar
internasional, mencapai lebih dari US$600 per meter kubik. Jenis
tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan produk-produk kayu mewah.
Permintaan global untuk produk-produk merbau telah melibas habis
sebagian besar hutan-hutan merbau di dunia. Cina saat ini merupakan
pasar terbesar merbau sekaligus juga konsumen terbesar kayu bulat
tropis di dunia.

Hasil penelitian Greenpeace mengidentifikasi beberapa rute
penyelundupan ilegal yang digunakan untuk mengirim kayu bulat merbau
ke Cina. Di tahun 2006, puluhan ribu kubik meter kayu bulat merbau
masih bisa masuk ke pelabuhan-pelabuhan di Cina walaupun telah ada
larangan ekspor kayu bulat dari Indonesia. Angka tersebut termasuk
kayu-kayu bulat yang disembunyikan dalam kontainer-kontainer yang
dilaporkan secara palsu sebagai kayu gergajian. 

"Populasi merbau akan punah dalam waktu 35 tahun mendatang, bahkan
bisa lebih cepat. Ini adalah contoh nyata penghancuran hutan-hutan di
Indonesia.  Pemerintah Indonesia harus segera mengupayakan pengetatan
perdagangan internasional terhadap merbau melalui mekanisme CITES.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga perlu segera mendeklarasikan
moratorium terhadap pembalakan hutan-hutan komersial skala besar. 
Jika semua itu tidak dilakukan, maka sama saja artinya dengan
membiarkan kerusakan hutan terus berlanjut dan tak terpulihkan.  Bukan
hanya merbau saja yang akan punah, namun seluruh wilayah hutan di
negara ini," tambah Hapsoro.

Greenpeace adalah organisasi kampanye independen yang menggunakan
konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah
lingkungan hidup dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan
yang hijau dan damai.


Catatan untuk editor:
(1)     Pertahanan Terakhir Merbau: Cara Industri Pembalakan Memacu
Penghancuran Hutan Surgawi Asia Pasifik. Greenpeace (2007)
(2)     IUCN, Red List of Endangered Species, 2006. IUCN.
www.iucnredlist.org; Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna, Twenty Second Meeting of the Animals
Committee, 2006 3(b) (i) Review of Appendices.
http://www.cites.org/eng/com/AC/22/E22-05-02.pdf
(3)     http://www.greenpeace.org/merbaumaps

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Hapsoro, Regional Forests Campaigner, +62 815 8571 9872,
[EMAIL PROTECTED]
Patrisia Prakarsa, Media Campaigner, +62 815 1195 4771,
[EMAIL PROTECTED]
Arie Rostika Utami, Media Assistant, +62 856 885 7275,
[EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke