Bung PD, daripada putar-putar berteori tidak jelas lebih baik langsung saja ke 
permasalahan. Sosialisme? Ya, terserahlah apa istilahnya. Terpenting supaya 
bangsa kita bisa hidup layak dengan keadilan dalam sistem demokrasi yang dapat
  lambat laun baik kualitasnya. Jadi bangsa yang modern dan bermartabat.
   
  Pseudo-nasionalisme? Kebanyakan orang atau negara, lihat Belanda apalagi USA,
  mana mau negerinya pecah-pecah? AS bahkan begitu agresif terkenal senang
  perang untuk mempertahankan interesnya di LN, dan "jangan sampai 
pemuda-pemuda kita harus berperang dipantai-pantai kita". RI ketika Orba serang 
Timtim,
  akhirnya memalukan. Kita urus saja negeri kita secara baik dengan batas-batas 
yang ada.
   
  FPI dan semacamnya? Paling baik kalau dilarang oleh pemerintah! Namun untuk 
sampai kesitu tidak cukup hanya mencaci kiri kanan. Harus ada kekuatan politik
  yang rill untuk membentuk pemerintah dan legislatif yang juga modern pro- 
demokrasi dan tidak munafik. Kalau hanya diskusi di kafe saja tidak cukup.
   
  Papernas? Dalam demokrasi harus punya hak untuk hidup. Ide dan ideologi 
apapun silakan ber saing secara sopan tidak memakai kekerasan.
  Salam, DM 
   
   
  

Papuan Dairy <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Kok masalahnya diplintir jadi sederhana gini? Wah ya repot dong.
Kejayaan Sosialisme memang iya, itu musti dipraxiskan disini. Pertanyaannya 
adalah: mengapa teman-teman yang berjuang dengan gigih untuk memenangkan ide 
besar itu secara praxis di Indonesia malah dihancurkan oleh orang-orang yang 
katanya "nasionalis" dan kadang-kadang mengakui "sosialis"?

Kasihan juga saya melihat teman-teman Papernas. Untuk contoh aja Bung TC. Belum 
apa2 kok sudah diobok-obok kiri-kanan oleh kelompok nasionalis reaksioner 
ditambah lagi FPI yang gak ketulungan juntrung itu. 

Terakhir, rupa-rupanya anda juga terkena sindrom pseudo nasiolalism kaya Bung 
Ruslan.

T Chandra <[EMAIL PROTECTED]> wrote:      
  Teori Bapak-bapak memang hebat deh. Tapi yang penting Papua bagian RI akan 
tetap
  bagian dari RI. Tapi seperti semua daerah RI lainnya kawasan ybs harus di 
adil dan makmur kan. RI harus punya sistem kesatuan yang luwes dengan unsur 
desentralisi yang tidak kebablasan. Semua ini kan memerlukan waktu lama. Jangan 
mau diadudomba dong oleh LN, oleh Uni Eropa atau Australia. Kita carilah ilham 
dari Amerika Selatan dan tengah, dari Chavez, Morales dan sebagainya. 
  Viva Socialismo!
  TCh

Papuan Dairy <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
        Bung Ruslan,
  Saya tidak hendak berdebat dengan anda mengenai Theory Integralistik 
sebagaimana anda lansir dalam tulisan anda. Itu hak anda untuk memiliki 
keyakinan yang seperti itu, tapi terimakasih sudah menjelaskan panjang lebar. 
Saya hanya hendak mengatakan bahwa polapikir “integralistik” atau “holistis” 
seperti yang telah anda ungkap, dalam kenyataan telah melahirkan sejumlah 
kesalahan dalam penerapannya.
  Theory atau ilmu dalam banyak hal mengajarkan nilai-nilai yang benar, tetapi 
yang menjadi masalah adalah ketika sudah dipraktekkan. Dalam praktek, banyak 
sekali kesalahan interpretasi atas theory terjadi, dan ini yang sudah terlanjur 
terjadi disini Bung, di Indonesia.
  Saya kutip pernyataan anda:
  Dengan polapikir yang holistis, yaitu polpikir yang selelu mengikuti ajaran 
tentang Holargi, maka disini kita akan mempunyai kelebihan dalam memandang 
segala suatu hal ichwal; kita tidak akan pernah kehilangan orientasi, bahwa 
setiap phenomenon atau phenomena yang paling pelikpun mampu kita atasi. Dari 
segi Holargi kita melihat saling hubungan baik yang kongkrit yang dapat kita 
saksikan dengan mata telanjang, bahkan kita sanggup pula „melihat“ saling 
hubungan yang sinergetis antar corpus yang satu dengan corpus lainnya yang 
tidak kelihatan, misalnya saja tidak semua orang akan mengakui bahwa >Karakter 
manusia yang tadinya baik, kemudian berangsur-angsur „berubah“ menjadi jelek 
akibat pengaruh konsum yang oleh psychoneurologist disebutnya >the 
consume-syndrome-disease<. Penyakit >konsum-sindrom< ini adalah element yang 
tidak kelihatan yang bermukim didalam „placenta“-induknya yang kita kenal 
dengan >holargi-globalisasi-ekonomi-budaya <. Kalau si patient yang mengidap
 penyakit >KS< (>konsum-sindrom<) ini pergi memeriksakan diri kepada ahli-ahli 
jiwa dan ahli-ahli-sarafotak, sang dokter tidak akan menemukan penyakitnya ; 
pin-tomography-pun tidak sanggup „membaca“ gejala side-effect >konsum-sindrom< 
tsb. Penyakit itu ada, cuma sang dokter tidak-tahu, karena sang dokter tidak 
mengenal apa yang disebut Holargi itu. Dampak-kongkrit 
>globalisasi-ekonomi-budaya < kini terbukti telah merusak 
struktur-cara-berpikir para elite politik dan ekonomi, para pakar ilmu 
pengetahuan, para pakar-spirituil termasuk  para kyai dan ustadnya.

Banyak dari elit politik Indonesia saat ini yang mengidap penyakit 
konsum-sindrom (KS) seperti yang anda maksud. Kalau anda benar-benar seorang 
dokter yang mampu mendiagnosa masalah-masalah ideologis semacam ini, bukankah 
tugas anda untuk membedah manusia-manusia yang sudah terkena KS itu? 
  Maaf saja, dari parnyataan anda, saya tahu bawah anda pendukung setia PDI-P 
atau barangkali saya salah. Nah, pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno 
Putri, bukankah penyakit Konsum-Sindrom seperti yang anda maksud, 
dipertontonkan pemerintahan Megawati dan sebagian besar tokoh-tokoh PDI-P? 
Privatisasi BUMN dilakukan kiri-kanan, apakah itu bukan dampak KS seperti yang 
anda maksud? Jangan sok jadi ideologis, kalau anda tidak mampu menata diri 
sendiri dengan pandangan-pandangan ideologismu. Periksa diri dulu sendiri lalu 
kemudian keluar menggurui orang lain. Saya bukan termasuk tipe orang-orang yang 
menderita penyakit KS itu, saya dan kawan lain di Papua justru sedang berjuang 
untuk menghancurkan imperialisme, kami sadar merekalah yang menjadi musuh utama 
kami dan bukan pemerintah Indonesia, karena berbagai regime yang memerintah 
dinegeri ini adalah regime-regime boneka, tidak ada satupun yang bisa dikatakan 
independent, semua takluk dan tunduk dibawah kemauan imperiaisme.
  KS saat ini telah menjadi epidemi yang mengerikan, ia seperti kanker yang 
menggerogoti bangunan negara ini, merusak semua aspek kehidupan berbangsa. KS 
yang demikian akut menjadi reklame buruk yang ditonton rakyat, kadang reklame 
itu menjadi bahan tertawaan rakyat ditengah kemiskinan dan penindasan 
struktural yang dihadapi, sayang sekali, walaupun kita bertahan dengan 
argumentasi ideologis atau orientasi yang jauh lebih luas, dalam kenyataan 
argumentasi itu kadang berbalik menghakimi diri kita sendiri, karena orientasi 
itu bagai panggang jauh dari api, saya tidak mau menjustifikasi hal ini.
  Rupa-rupanya placenta induk yang bermasalah, jika demikian placenta yang 
sakit itu harus segera diobati, ataukah anda hendak membiarkan dia menjadi 
semakin parah dan akhirnya akan menghancurkan diri sendiri?
  Paham integralistik yang dikolaborasi dengan budaya feudal yang parah 
dinegara ini telah menghasilkan formasi pemimpin yang berjiwa kerdil, 
paternalistik, anti-demokrasi dan bahkan anti-kemanusiaan. Bagaimana saya dapat 
membayangkan Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati dan kini SBY melakukan hal 
yang baik bagi bangsa ini?
  Soekarno dalam banyak hal menciderai semangat demokrasi. Demokrasi terpimpin 
yang ia cetuskan menjadikan dia Raja dan bukan presiden. Paduka Yang Mulia / 
Pemimpin Besar Revolusi, dll, bukankah ini mentalitet pemimpin feudal? Bukankah 
mentalitet ini sama dengan mentalitet Sultan Agung? Mentalitet yang demikian 
telah melahirkan perpecahan dalam angkatan’45. Bagaimana saya dapat menerima 
Hatta akhirnya harus mundur karena mental feodal Soekarno yang tidak menghargai 
demokrasi? Hasilnya, ya jelas, ada pemberontakan dimana-mana pada saat itu, 
DI/TII muncul, PRRI/Permesta muncul, dan akhirnya hura-hara politik 65 yang 
telah mengorbankan jutaan petani dan buruh, walaupun memang saya harus akui, 
peristiwa 65 adalah akibat dari perang ideologis, kelompok kanan-reaksioner 
berhasil mengambil keuntungan dari pertarungan ideologis global yang berimbas 
kedalam. Tapi harus saya pertanyakan, bukankah itu muncul karena paham 
integralistik yang salah diterapkan? Pada akhirnya semangat
 nasionalisme dan demokrasi yang keliru telah melahirkan Soekarno sebagai 
seorang diktator, seorang presiden seumur hidup. Seandainya saja tidak terjadi 
peristiwa 65, saya yakin Soekarno masih menjadi presiden sampai akhir hayatnya. 
  Saya kutip lagi peryataan anda:
  Mungkin anda salah dalam menangkap dan memahami apakah yang dimaksud dengan 
polpikir yang secara integral atau „integlalistik. Ini tercermin dalam tulisan 
anda yang menyamakan praktek otoriterisme militer rezim orde baru Suharto, yang 
menjalankan system centralisme militer dalam pemerintahannya; dengan polapikr 
secara integral atau holistis menurut ajaran Sytem Theori..
  Bung Ruslan, sentralisme militer sebagaimana anda maksud juga terbawa dalam 
praktek politik, kalau demikian bukan saya yang salah menafsirkan paham 
“integralistik” dong, Soeharto dan kroni-kroninya yang salah menerjemahkannya 
dan mereka kembali mengulang kisah “presden seumur hidup.” Kalau tidak ada 
reformasi, jelas Soeharto akan mati sebagai presiden, bukan sebagi mantan 
presiden. 
  Nah, bukankah Bung Karno juga memberikan pengaruh dalam hal ini? Soeharto 
belajar dari Soekarno, Soekarno belajar dari Raja-raja Jawa dikolaborasi 
sedikit dengan paham Marxisme jadilah suatu bangunan ideologis nasionalis yang 
tambal-sulam, jika sudah begitu, apakah saya yang musti disalahkan dalam 
mengkritisi hal ini? 
  Selanjutnya anda menulis:
   1. Demensi Intern individuil diri bangsa Indonesia atau jatidiri (jiwa) 
bangsa Indonesia, yaitu jiwa bangsa Indonesi yang tercermin dalam sumpah pemuda 
yang di deklarasikan pada tanggal 28 Koktober 1928, yaitu Satu nusa satu bangsa 
dan satu bahasa kita. Ini adalah manifestasi adanya suatu kesatuan bangsa 
Indonesia.
   Jawaban Saya:
  Sayang sekali, tidak ada perwakilan Papua yang ambil andil dalam Sumpah 
Pemuda 28 Oktober 1928. Sejak SD yang diintrodusir dengan pelajaran sejarah ini 
dan saya sudah melakukan tinjauan pustaka dari berbagai literatur, tidak ada 
satupun yang secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa ada perwakilan 
pemuda Papua pada waktu sumpah ini dilakukan. Dengan demikian saya hanya mau 
katakan bahwa ini jelas bukan manifestasi sebuah bangsa, sebagaimana yang anda 
maksud, kalau memang anda bermaksud bahwa Papua juga ada disana.
  
    
   Demensi Ekstern individuil dari bangsa Indonesia, yaitu adanya ribuan 
pulau-pulau yang berjajar dari sabang sampai Maraoke.  
  Jawaban Saya:
  Wah, ya jelas anda pasti akan menulis demikan. Masih perlu dilakukan banyak 
klarifikasi sejarah menyangkut masalah Papua. Saya tidak mau berpolemik dengan 
anda mengenai ini karena jelas akan menyita banyak waktu, maklum saya bukan 
termasuk orang yang setiap saat bisa mengakses internet.
  3. Demensi intern kolektif bangsa Indonesia, yaitu adanya partai-partai 
politik, yang menganut mermacam-macam faham, misalnya kesatuan, federal, 
anarkisme,sparatisme, agama dll. 
  Jawaban Saya:
  Bukankah itu perlu dihargai?
    
   Demensi ekstern kolektif dari bangsa Indonesia, yaitu pengaruh lingkungan 
Internasional yang dalam hal ini adalah pengaruh tentang system 
masyarakat,misalnya kapitalisme, sosialisme, liberalisme yang sekarang menjadi 
neoliberal.
   Jawan Saya:
  Sepakat mengenai ini. Hal perlu saya tegaskan. Kapitalisme lahir dengan 
bentuk kolonialisme – pembangunanisme – liberalisme – neoliberalisme, itu saja 
Bung, jangan anda membedakan Kapitalisme dengan liberalisme atau 
neo-liberalisme, keduanya hanya merupakan taktik atau penerapan yang dilakukan 
kapitalisme dalam mengeksploitir bangsa-bangsa dunia ketiga. Kedua hanya 
merupakan wajah baru dari pola eksploitasi kapitalisme.
  Selanjutnya anda menulis:
  NKRI adalah merupakan pencerminan dari demensi pertama dan ke dua, yaitu 
demensi intern individuil dari banngsa Indoensia atau jati diri bangsa 
Indonesia yang terbentuk dalam perjuangan panjang dalam melawan penjajahan 
Beanda, Inggris dan jepang, sehingga klimaknya adalah terjadinya proklamasi 
kemerdekaan RI pada tamnggal 17 Agustus 1945. yang selanjutnya menyatukan semua 
pulau-pulau dari Sabang sampai maraoke , menjadi apa yang disebutnya NKRI.
   Jadi mempertahankan NKRI bukanlah berarti sebagai pseudo nasionalis, seperti 
apa yang anda tuduhkan pada sebagian besar bangsa Indonesia yang menyokong 
berdirinya NKRI ini. 
  Jawaban saya:
  Saya menghargai prinsip anda untuk menerapkan dua pandangan diatas, tetapi 
harus diperhatikan. Penerapan dua prinsip tadi (dimensi intern dan eksternal) 
seperti yang anda jelaskan tidak harus dipraktekkan dengan sikap-sikap 
chauvinis. Dalam soal Papua, sikap chauvinis dapat saya benarkan, karena kami 
merasa diperlakukan seperi itu dengan penerapan system NKRI yang membabibuta. 
Silahkan mempertahankan NKRI, tapi tolong jangan dipertahankan dengan 
penindasan. 
  Saya tidak dapat menerima NKRI dipertahankan di Papua dengan pemberlakukan 
operasi militer. Dua puluh (20) tahun “operasi militer” dilakukan di Tanah 
Papua. Operasi Militer terjadi sejak tahun 1978 sampai dengan 5 Oktober 1998, 
lebih banyak 11 tahun ketimbang Acheh yang hanya diterapkan selama sembilan (9) 
tahun saja (1989-1998). Hasilnya? Kurang lebih 30.000 warga Papua harus 
mengungsi ke PNG (Negara tetangga), karena tidak merasa aman tinggal diatas 
tanah mereka sendiri. Mengenai ini, anda bisa menghubungi Ikrar Nusa Bakti yang 
lakukan penelitian mengenai pelintasan batas yang dilakukan warga Papua selama 
masa operasi militer. Thesis doctoral Ikrar Nusa Bakti mengambil tema ini, 
sayannya tidak dijadikan buku untuk dapat dibaca rakyat Indonesia lainnya 
supaya benar-benar mengerti penindasan yang terjadi disana, bukan hanya nonton 
di televise, baca Koran, lalu ikut-ikut ngomong soal Papua, seakan-akan dia 
maha tahu, seakan-akan dia Tuhan? Masih banyak reklame buruk lain
 kalau bicara soal pelanggaran HAM di Papua, contoh  tadi hanya untuk 
memberikan gambaran betapa kami tidak dihargai sama sekali sebagai bangsa.
Silahkan anda mempertahankan NKRI, tapi tolong, jangan gadai kekayaan alam 
Papua secara liar kepada pihak asing. Bukankah Modal Asing pertama masuk di 
Indonesia karena ada Papua? Awal April 1967, Soeharto menandatangani Kontrak 
Karya (KK) generasi pertama dengan Freeport McMoran Copper & Gold, model KK ini 
yang jadi model dasar UU Penaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun PMA).   
  Kami dikorbankan oleh KS yang menjangkiti sebagian besar pemimpin negeri ini, 
kami menjadi korban keserakahan komprador kapitalisme, anda dan PDI-P juga 
memiliki investasi politik dalam hal ini. Pada waktu Megawati menjadi presiden 
banyak peristiwa kekerasan militer terjadi di Papua, pembunuhan terhadap 
tokoh-tokoh politik Papua (misalnya pembunuhan Theys Eluay, pada bulan November 
2001) menjadi contoh betapa mentalitas pemimpin berjiwa kerdil dapat dilihat 
secara nyata.
  Saya tidak menuduh semua bangsa Indonesia memiliki pandangan pseudo nasiolis 
seperti itu, sebab ada banyak diantara Bung yang lebih nasionalis ketimbang 
mereka yang berkoar-koar sebagai nasionalis. Jika benar nasionalis, mengapa 
rakyat digusur kiri-kanan? Mengapa pedagang tradisional dan pedagang kaki lima 
tidak bisa berjualan dengan tenang karena diusir setiap waktu oleh aparatur 
Negara? Mengapa anda tidak bersuara lebih keras untuk mensejahterakan kehidupan 
rakyat miskin?
  Bung Ruslan, inikah yang anda maksud nasionalis? Jika tema besar nasionalisme 
seperti ini yang anda bayangkan, maka tunggu waktu saja sebab pasti akan banyak 
makan korban, tunggu waktu saja, rakyat miskin yang sudah mulai sadar hak-hak 
politiknya pasti akan melakukan revolusi social untuk mengubah tatanan 
bernegara disini.
  Terakhir dari saya:
  Amandemen UUD 45 tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang merusak, ia akan 
menjadi relevan jika mengikuti perkembangan jaman. 
  Saya tidak berkepentingan apakah perlu atau tidak UUD 45 diamandemen, 
kepentingan saya adalah bagaimana nasib rakyat Papua juga diperhitungkan, 
seperti juga dengan rakyat miskin lain di Indonesia.
  Salam dari Tanah Papua!
  PD
  
    
---------------------------------
  The fish are biting.
Get more visitors on your site using Yahoo! Search Marketing.   




  
  
---------------------------------
  Need a vacation? Get great deals to amazing places on Yahoo! Travel.   


    
---------------------------------
  Got a little couch potato? 
Check out fun summer activities for kids.  

         

       
---------------------------------
Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, 
when. 

Kirim email ke