Demokrasi untuk Indonesia?

Oleh I Wibowo

Saya cenderung mempertanyakan validitas teori bahwa demokrasi adalah
penyelamat atas segala kebobrokan di Indonesia saat ini.

BERBAGAI studi yang dijalankan banyak ahli menunjukkan, meski demokrasi itu
sesuatu hal yang pantas dicita-citakan, ternyata demokrasi malah
menghasilkan banyak masalah, bahkan masalah baru yang tidak akan ada
seandainya tidak dipraktikkan demokrasi.

Mari dimulai dengan pendapat pertama yang diajukan Robert Kaplan dalam buku
The Coming Anarchy (2000). Kaplan mengamati apa yang terjadi di Benua
Afrika. Dalam observasinya, demokrasi telah gagal menyelamatkan Afrika.
Bukan perpolitikan yang rasional yang muncul di benua itu, tetapi
pertarungan antarsuku dan antaragama.

Masalahnya, demokrasi mengandaikan partai politik yang menjadi interest
aggregation. Di Afrika, hal itu tidak terjadi. Partai politik ternyata hanya
berbasis agama atau kesukuan, dan pertarungan antarpartai menjadi
pertarungan antarsuku dan agama. Ketika dilaksanakan pemilu, yang terjadi
medan pertempuran berlumur darah dan bukan arena perebutan kekuasaan yang
rasional.

Kaplan terang-terangan mengatakan, demokrasi tak akan berjalan di negara
yang sedang berkembang, yang mempunyai partai politik berbasis suku atau
agama. Kedua hal itu tak mungkin diakomodasi dalam sistem demokrasi yang
pada dasarnya adalah sistem yang didasarkan atas toleransi. "Hari ini kalah,
tidak apa-apa. Lain kesempatan, berjuang lagi." Ikatan primordial (suku dan
agama) tidak mungkin mengatakan hal itu.

MANCUR Olson tidak secara langsung bicara tentang demokrasi. Tesisnya mulai
dari menjawab pertanyaan, mengapa setelah pemerintahan yang buruk,
kemakmuran tidak kunjung datang? Judul bukunya Power and Prosperity (2000).
Olson menunjukkan pada fakta adanya apa yang disebut roving bandits dan
stationary bandits. Bandit sama jahatnya, tetapi antara dua macam bandit
yang disebutkan itu ada perbedaan mencolok.

Bandit yang mengembara adalah bandit-bandit yang biasa kita baca dalam
buku-buku sejarah. Mereka datang secara bergerombol ke sebuah desa, lalu
menjarah habis desa itu. Sangat mungkin bukan hanya harta benda yang
dijarah, juga manusia, terutama kaum wanita. Bandit ini akan meneruskan
perjalanannya dan meneruskan penjarahan ke desa lain. Demikian seterusnya.
Bandit yang kedua tidak mengembara, tetapi menetap di satu tempat. Karena
tahu bahwa ia harus di tempat itu dalam jangka waktu panjang, mereka sengaja
tidak mau menjarah habis harta dari orang-orang yang ada di situ. Dibiarkan
mereka berusaha, bahkan dilindungi usahanya. Namun, mereka harus secara
teratur menyetor kepada para bandit itu. Bandit-bandit ini tidak sebuas
bandit yang mengembara.

Bila tesis Olson ini benar, sebenarnya demokrasi tidak mempunyai masa depan
untuk negara yang baru saja keluar dari kediktatoran. Olson mencontohkan Uni
Soviet. Begitu negara itu keluar dari kediktatoran dan memeluk sistem
demokrasi, keadaannya malah menuju kepada kekacauan. Meski mengumumkan
demokrasi, bukan demokrasi yang bertahta di sana, tetapi para bandit. Ini
berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang mengizinkan pergantian pemimpin
maupun legislator (anggota DPR). Karena tahu mereka akan dijatuhkan dalam
pemilu, pemimpin dan legislator yang dipilih secara demokratis berkelakuan
seperti roving bandits. Mumpung masih berkuasa, menguras kekayaan negara
sampai habis, tanpa menyisakan.

Sama-sama negara yang keluar dari sistem komunisme, Cina ada dalam kondisi
yang jauh lebih menguntungkan. Cina masih ada di bawah kendali Partai
Komunis Cina, yang mungkin sekali diejek sebagai otoriter, tetapi mereka
berkelakuan sebagai stationary bandits yang tidak menjarah habis kekayaan
negara. Demokrasi masih jauh, tidak sempat menghasilkan roving bandits, dan
Cina secara relatif mengalami sebuah stabilitas yang tidak dinikmati Rusia.
AMY Chua dalam buku World on Fire (2003) semakin menambah rumit masalah
demokrasi. Dia sebenarnya tidak bicara tentang demokrasi, tetapi tentang
warga negara minoritas. Mengapa kelompok minoritas etnis Cina di Indonesia,
misalnya, mengalami perlakuan diskriminatif, bahkan penganiayaan, juga
ketika Indonesia sudah masuk ke alam demokrasi? Chua berpendapat, hal ini
disebabkan oleh ramuan yang salah antara dua obat kuat.

Demokrasi memang bentuk perpolitikan yang ideal untuk dipeluk. Namun,
kelompok minoritas akan mengalami kesulitan saat demokrasi dicampur sistem
ekonomi pasar bebas. Kelompok minoritas yang dominan di bidang ekonomi
menikmati keuntungan besar karena diterapkannya sistem ekonomi pasar, yang
membiarkan orang kuat berkompetisi dan mengalahkan yang lemah. Ketidakadilan
ini "dibalas" kelompok mayoritas pribumi dengan memakai sistem demokrasi
yang didasarkan atas sistem voting.

Observasi Chua tidak hanya tak terbatas di Indonesia saja, tetapi di
beberapa tempat di Asia dan Afrika.

Kelompok minoritas yang dominan di bidang ekonomi pasti akan dijadikan
bulan-bulanan kelompok mayoritas pribumi dalam sistem demokrasi. Dengan kata
lain, demokrasi tidak akan dapat menyelamatkan kelompok etnis minoritas yang
dominan secara ekonomis. Atau, demokrasi tidak selalu merupakan jalan
terbaik untuk menghentikan konflik etnis, bila tidak malah memperparah.

Ekonomi pasar bebas tingkat dunia juga tidak menolong tumbuhnya demokrasi.
Sering didengung-dengungkan, perdagangan bebas akan mendorong munculnya
demokrasi. Ini argumen yang dikemukakan Presiden Clinton saat ia memutuskan
untuk memberikan status Most Favoured Nation kepada Cina. Akan tetapi,
studi-studi mutakhir menunjukkan, perdagangan bebas berakibat negatif bagi
demokrasi.

Noreena Hertz dalam Silent Takeover (2001) menjelaskan, perusahaan
multinasional (MNC) hanya mempunyai satu kepentingan, keuntungan global.
Bagi mereka tidak penting apakah sebuah rezim itu demokratis, otoriter, atau
komunis. Rezim yang demokratis adalah mangsa paling empuk bagi perusahaan
multinasional.

Di negara-negara maju (Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang)
kiat-kiat yang dipakai perusahaan multinasional itu benar-benar menggerogoti
demokrasi sampai ke akar-akarnya sedemikian rupa sehingga demokrasi akhirnya
mati. Para politisi memang dipilih rakyat, tetapi begitu terpilih, politisi
tidak peduli lagi dengan konstituennya. Para politisi malah sibuk menjadi
pelayan bos-bos perusahaan multinasional. Apa pun yang mereka minta
dikabulkan: pengurangan pajak perusahaan, pengendalian serikat buruh, dan
pemberian aneka fasilitas impor maupun ekspor.

Kebijakan-kebijakan ini (industrial policy) jelas tak menguntungkan, tetapi
merugikan para pemilih. Kemiskinan, kerusakan lingkungan, pemutusan hubungan
kerja, dan hancurnya pendidikan, harus ditanggung para pemilih, dan pemilih
tidak berdaya menghadapi "pengkhianatan" ini.

Kata Hertz, perusahaan-perusahaan multinasional yang berdaulat, bukan rakyat
atau warga negara. Mereka membiarkan proses demokrasi memilih pemimpin.
Begitu pemimpin terpilih mereka dengan mudah menaklukkan para politisi-
presiden, perdana menteri, ketua parlemen, anggota parlemen-dengan
iming-iming uang dalam jumlah yang menggiurkan. Kolusi antara penguasa dan
pengusaha (korupsi global) akhirnya menelikung dan mematikan demokrasi.
Memang "dari rakyat", tetapi tidak "untuk rakyat", apalagi "oleh rakyat".
Demokrasi pada zaman globalisasi hanya berarti sebuah metode pemilihan
pemimpin lewat voting, tidak ada hubungannya dengan kedaulatan rakyat atau
warga negara.

APAKAH Indonesia berbeda dari negara-negara lain yang menjadi kajian para
ahli itu? Apakah Indonesia unik sehingga demokrasi dapat tumbuh kendati
berbagai faktor yang telah disebutkan di atas? Untuk melompat mengatakan
"ya", kiranya sulit sekali. Fakta empiris selama lima tahun terakhir ini,
sejak Indonesia mengumumkan memasuki era demokratisasi, mendukung
teori-teori itu, bahkan mengonfirmasikannya. Korupsi, perang suku, perang
agama, perang etnis, perusakan lingkungan, kemiskinan, semuanya dapat
dituduhkan sebagai akibat dipakainya sistem demokrasi. Demokrasi justru
dianggap sebagai biang keladi kekacauan.

(I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies, Jakarta)
--
Ezda
=> S2D4 the World

"With the monetary system we have now, the careful saving of a lifetime can
be
wiped out in an eyeblink."
-Larry Parks, Executive Director, FAME

"I believe that exchange rate volatility is a major threat to prosperity in
the world today."
-Dr. Robert A. Mundell, Nobel Laureate 1999

"There's a sensible realization that small open economies, heavily dependent
on
trade and foreign capital, simply cannot live with the volatility that is
inherent in
freely floating exchange rates."
-Dr. Paul Volcker, former Chairman of the Board of Governors of the Federal
Reserve

Visit http://www.FAME.org/
Fight for Honest Monetary Weights and Measures!

Kirim email ke