http://www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=UTAMA&id=27800

Selasa, 29 Mei 2007



Setahun yang Sia-Sia


 JAKARTA - Setahun sudah lumpur panas Lapindo menyembur. Namun, belum tampak 
tanda-tanda semburan tersebut akan berhenti. Berbagai upaya yang telah 
dilakukan pun belum menampakkan hasil nyata. 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Chalid 
Muhammad bahkan menyatakan, masa setahun itu adalah waktu yang terbuang 
percuma. ''Setahun yang sia-sia dan tidak serius. Yang terjadi justru semakin 
meresahkan warga dalam radius yang lebih luas,'' ujarnya di Jakarta kemarin. 

Berdasar data Bappenas, kerugian selama sembilan bulan mencapai Rp 30 triliun 
hingga Rp 33 triliun. Berarti, setiap bulan sejak lumpur kali pertama muncul 
pada 29 Mei 2006, kerugian yang ditimbulkan sekitar Rp 3,3 triliun. Kalau 
sekarang sudah setahun dibiarkan, kerugian diperkirakan sudah mencapai hampir 
Rp 40 triliun. 

Kerugian tersebut hampir pasti terus bertambah. Lumpur yang kini menggenangi 
lebih dari 717,072 hektare perumahan dan areal persawahan di wilayah 11 desa 
belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Semburan lumpur yang awalnya hanya 
sekitar 5.000 meter kubik/hari terus meningkat menjadi 50 ribu meter kubik/hari 
dan terus meningkat lagi hingga 126 ribu meter kubik/hari. Jika satu truk bisa 
mengangkut maksimal lima meter kubik, diperlukan 25 ribu truk untuk mengangkut 
lumpur Lapindo. 

Menurut Chalid, sedikitnya ada empat alasan mengapa waktu setahun yang telah 
dilewati untuk menyumbat lumpur sia-sia. Pertama, tidak terlihat upaya maksimal 
untuk menghentikan semburan lumpur. ''Upaya yang ada tidak lebih untuk 
menunjukkan bahwa sudah ada usaha yang dilakukan. Walaupun, mereka tidak yakin 
bahwa itu tidak efektif,'' ujarnya. 

Yang diharapkan adalah adanya mobilisasi alat serta ahli untuk menangani. 

Alasan kedua, kata dia, tidak ada keseriusan mempelajari dampak semburan 
tersebut. Hal itu diindikasikan oleh masih banyaknya korban yang belum menerima 
ganti rugi, korban yang terkatung-katung nasibnya yang masih tinggal di 
penampungan di Pasar Porong, serta masih adanya demo-demo warga yang menjadi 
korban. 

Tidak adanya pihak yang menyatakan bertanggung jawab secara mutlak disebut 
Chalid sebagai alasan ketiga. Bahkan, yang lebih parah, semburan lumpur 
tersebut justru digiring menjadi bencana alam yang penanganannya menggunakan 
uang negara. ''Tidak ada yang bertanggung jawab. Rakyat sudah susah, tapi uang 
negara justru digunakan untuk membayar yang seharusnya menjadi tanggung jawab 
orang lain,'' ungkapnya. 

Alasan keempat, kata dia, kasus pidana yang tidak jelas juntrungnya. 
Penyelesaian melalui jalur hukum tersebut hanya disibukkan dengan bolak-balik 
berkas dari penyidik dan kejaksaan. ''Yang menjadi tersangka pun hanya level GM 
(general manager) ke bawah. Pemilik perusahaannya malah tidak. Jadi, secara 
umum, setahun ini sia-sia,'' tegasnya. 

Kondisi seperti itu, jelas Chalid, tidak dibiarkan berlarut-larut. ''Pemerintah 
dan Lapindo harus stop playing the game,'' ujarnya. 

Selain itu, pemerintah harus menunjukkan keseriusan dengan memanggil pihak 
Lapindo, Medco, serta Santos (pemilik saham di Sumur Banjar Panji I) untuk 
segera menuntaskan masalah tersebut. ''Pemerintah harus meminta tanggung jawab 
mutlak. Jika tidak, mereka (Lapindo, Red) harus di-black list dan aset-asetnya 
disita untuk membayar ganti rugi,'' katanya. 

Chalid juga menyoroti BPLS yang dibentuk pemerintah melalui Perpres Nomor 14 
Tahun 2007 yang dianggap tidak berbeda dari tim nasional yang digantikan. Tim 
yang ada seharusnya merupakan tim independen yang berisi para ahli dan netral. 
Meski demikian, tim itu harus mempunyai otoritas untuk mempercepat pembayaran 
kompensasi. 

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) justru menilai, lambannya penanganan yang 
dilakukan pemerintah merupakan wujud ketidakmampuan mereka. ''Pemerintah 
seperti mempertontonkan sinetron ketidakmampuannya. Kayak mati akal, sehingga 
tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih dari sekadar lamban, sampai tidak ada kata 
yang pas untuk menggambarkannya,'' ujar Koordinator Nasional Jatam Siti 
Maemunah kepada koran ini tadi malam. 

Dia juga mempersoalkan tanggapan Presiden SBY yang dinilai tidak menganggap 
masalah semburan lumpur tersebut sebagai masalah serius. ''Bandingkan ketika 
SBY yang merasa terganggu imageĀ¬-nya oleh pernyataan Amien Rais (tentang aliran 
dana DKP, Red), sehingga sampai perlu mengadakan jumpa pers khusus. Tapi, 
dengan semburan ini?'' katanya penuh tanya. 

Munculnya semburan lumpur tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak 
mampu mengatasi pebisnis migas dan melindungi masyarakat jika penambangan itu 
berada di kawasan padat huni. 

Padahal, kata Siti, terdapat 49 blok migas milik di Sidoarjo, Mojokerto, dan 
Pasuruan yang mencakup 30 desa. ''Itu memiliki risiko yang sama (dengan yang 
sekarang). Selama ini, pemerintah tidak punya mekanisme preventif jika terjadi 
bencana migas di kawasan padat huni,'' ungkapnya. 

Siti mengaku tidak bisa membayangkan prediksi yang menyebutkan semburan lumpur 
baru berhenti setelah 30 tahun. Sebab, hingga saat ini, catatan kerusakan sudah 
mencapai 717,072 hektare. 

Sementara itu, dari perspektif hukum lingkungan, menurut Direktur Indonesian 
Center for Environmental Law (ICEL) Rhino Subagjo, terdapat cacat hukum dalam 
penyusunan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) PT Lapindo Brantas. 

Sebab, kata dia, dalam amdal itu terdapat mekanisme yang dilakukan untuk 
mengatasi dampak yang ditimbulkan. ''Termasuk penanganannya. Jadi, kan sudah 
bisa diantisipasi sebelumnya,'' jelasnya. 

Dengan parameter itu, ujar Rhino, diyakini bahwa amdal yang ada tidak disusun 
secara baik. Selain itu, seharusnya ketika penyusunan amdal, ada konsultasi 
dengan masyarakat sekitar. ''Saya kira dulu (konsultasi) itu tidak ada. Jadi, 
dalam hal ini, pemerintah lalai,'' ujarnya. 

Selain itu, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain yang menjadi 
dampak semburan tersebut. Menurut dia, pemerintah melalui BPLS hanya berupaya 
menahan laju lumpur agar tidak meluas. ''Padahal, dampaknya juga mencakup aspek 
ekonomi, bisnis, serta ekologi,'' tegasnya. 

Tentang ganti rugi, jelas dia, seharusnya korban tidak hanya mendapatkan ganti 
rugi atas tempat tinggalnya. Kerugian mereka yang tercabut dari akar budaya dan 
kehidupan sosial juga harus diperhitungkan. ''Kalau yang fisik, itu harus cash 
and carry. Tapi, yang lain, besarannya tak ternilai. Lapindo juga harus 
membayar kerugian lingkungan ke negara,'' katanya. (fal/jpnn

Kirim email ke