Refleksi: Masyalloh! Apa saja yang bisa selamat dari salah urus berkebocoran?. 
Salah hitung ataukah memang takdir kutukan ketidakmampuan disamping bencana 
alam silih berganti?


http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Nusantara&id=212998

Selasa, 29 Mei 2007

 
Pertamina Bocor Rp 14,75 Triliun
Kebijakan Bensin Tanpa Timbal Tak Diteken Depkeu


JAKARTA-PT Pertamina (Persero) diperkirakan mengalami kebocoran anggaran Rp 
14,75 triliun sebagai dampak kebijakan produksi bensin non-timbal. Inisiatif 
kebijakan Pertamina tentang bensin non-timbal diduga berpotensi menjadi tindak 
pidana korupsi, menyusul tidak ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) 
oleh Menteri Keuangan. 
Dasar tidak ditandatanganinya SKB itu dengan pertimbangan utama besarnya jumlah 
biaya yang harus dikeluarkan untuk penggantian bensin bertimbal menjadi tanpa 
timbal, yang akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Persoalan ini sedianya dibahas melalui rapat dengar pendapat antara Komisi VII 
DPR RI dengan Pertamina, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat sekira pukul 09.00 
WIB, Senin (28/5), kemarin. Hanya saja, rapat dengar pendapat batal kali ketiga 
dilaksanakan itu kemarin karena Meneg BUMN berhalangan datang. 

"Rapat dengar pendapat ini membahas berbagai topik yang relevan," kata Alvin 
Lie, anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN), kemarin. Ia 
mengatakan itu menjawab koran ini apakah rapat dengar pendapat bertopik utama 
tentang kebocoran anggaran yang sangat besar itu. 

Data yang didapatkan Kaltim Post kemarin menyebutkan, pembengkakan anggaran 
terjadi di tingkat penggantian Tetra Ethyl Lead (TEL) atau yang biasa disebut 
timbal dengan bahan High Octane Mogas Component (HOMC). Di samping pasar 
internasional akan menaikkan harga HOMC, juga kendala keterbatasan fasilitas 
kilang untuk menampung tambahan HOMC dalam jumlah besar. 

Selain itu, kilang Pertamina di Indonesia disebut-sebut tidak mampu memproduksi 
bensin tanpa timbal. Misalnya, Pertamina Unit Pengolahan (UP V) di Balikpapan 
selama ini hanya memproduksi bensin bertimbal. 

Dalam surat Dirjen Minyak dan Gas Bumi Iin Arifin Takhyan kepada Dirut 
Pertamina bernomor 1132/24/DJM.O/2005 tertanggal 28 Januari 2005 juga 
menyinggung persoalan ini. Dalam surat tersebut ditekankan lima alternatif 
untuk produksi bensin tanpa timbal, namun semua alternatif tetap menunggu 
persetujuan Departemen Keuangan. 

Media Relations Pertamina Pusat Rifky R Yusuf yang dihubungi terpisah kemarin 
menjelaskan, kerangka besarnya produksi bensin tanpa timbal mengacu program 
langit biru yang dicanangkan Kementerian Lingkungan Hidup 2004. 

Kendati demikian, ia mengakui yang menjadi beban saat ini karena Departemen 
Keuangan belum mengizinkan, dan ia menolak kalau hal ini dianggap merugikan 
keuangan negara, apalagi korupsi. "Ini hanya persoalan belum ditandatanganinya 
dari Depkeu. Ini investasi jangka panjang jangan melihat dari angka-angkanya. 
Seluruh kilang Pertamina sejak Juli 2006 sudah tanpa timbal. Program dasarnya 
Kepmen LH," kata Rifky R Yusuf. 

Disinggung tentang HOMC, Rifky mengatakan sebagian diproduksi sendiri dan 
sebagian impor. Hanya saja, saat ditanya prosentasi besaran angka impor dan 
produksi internal Pertamina Rifky mengaku tidak ingat. "Saya ada datanya, tapi 
tidak ingat," jelasnya. 

Sementara itu di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada pers 
mengungkapkan, Pertamina sejak Juli 2006 sudah tidak lagi memakai TEL. Ia 
mendukung langkah Pertamina dengan alasan, bensin bertimbal dapat merusak otak 
terutama pada anak-anak. 

Dikatakan Witoelar, Pertamina berupaya optimalisasi produksi HOMC pada seluruh 
kilangnya di Pertamina UP III Plaju, Pertamina UP IV Cilacap, Pertamina UP V 
Balikpapan, Pertamina UP VI Balongan, dan Pertamina UP VII Kasim. "Ini untuk 
melepaskan ketergantungan HOMC impor dan menekan biaya," kata Rachmat Witoelar, 
menandaskan.(ari) 

Kirim email ke