Setelah beredarnya pelarangan, penyitaan, saya menunggu - nunguu seremonial pembakaran buku - buku. Ini persis yang digambarkan dalam film - film NAZI . Mereke menyita dan membakar buku - buku layaknya api unggun raksasa.
Dan selamat datang ABAD KEGELAPAN!

BTW, salah dimananya yaaa? banyak orang pintar di Indonesia, sekolahnya tinggi dan sering stui banding ke luar negeri pula. Tapi hingga hari ini belum punya semacam hand book gitu, sebagai pegangan mata pelajaran tertentu. Fisika misalnya. Atau Bahasa Indonesia. Dengan demikian para orangtua nggak perlu pusing jungkir balik mikir harus ganti buku dan ganti buku lagi yang isinya cuma sampah saja!

Hardi






On May 29, 2007, at 8:23 PM, HKSIS wrote:


sumber (http://www.jurnalnasional.com/new2/?KR=JURNAS&KSR=OpiniDebat)

Pelarangan Buku yang "Salah Larang"

Oleh Dr Asvi Warman Adam

Sejak 5 Maret 2007 Jaksa Agung melarang beberapa buku pelajaran sejarah di sekolah. Terdapat 22 judul buku dari 11 penerbit yang dilarang, antara lain "Kronik Sejarah Kelas 1 SMP" (karangan Anwar Kurnia, diterbitkan Yudhistira), "Sejarah 2 untuk SMP" (karangan Matroji, penerbit Erlangga), "Pengetahuan Sosial, Sejarah 1" (susunan Tugiyono KS, penerbit Grasindo).

Alasan pelarangan itu ditulis dalam satu kalimat panjang "bahwa barang cetakan/buku-buku teks pelajaran Sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/ SMK yang mengacu pada "Kurikulum 2004" tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah bangsa Indonesia antara lain Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G.30.S tanpa menyebut keterlibatan PKI, hal tersebut merupakan pemutarbalikan fakta sejarah sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa"

Namun alasan itu tidak berdasar. Buku "Kronik Sejarah Kelas I" (Anwar Kurnia, penerbit Yudhistira) tentu saja tidak memuat pemberontakan tahun 1948 dan 1965. Karena pelajaran sejarah pada kelas I SMP memang belum sampai pada periode kontemporer, melainkan membahas kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipengaruhi Hindu, Budha dan Islam. Buku kelas 2 tentang zaman penjajahan dan baru pada kelas 3 SMP diuraikan perkembangan sejak Indonesia merdeka. Jadi pemberontakan tahun 1948 dan 1965 itu baru diajarkan pada kelas 3.

Di Indonesia kurikulum SMP dan SMA hampir sama, hanya pada tingkat SMA lebih lengkap dari SMP. Dari 22 judul yang dilarang sebanyak 17 buah adalah buku kelas I dan kelas II. Berarti 17 dari 22 buku atau 80 persen adalah salah larang.

Mungkin Jaksa Agung menugasi stafnya meneliti setumpuk pelajaran sejarah tanpa memperhatikan buku itu untuk kelas berapa. Diperiksalah setiap halaman buku pelajaran kelas I dan II . Karena tidak ditemukan pemberontakan tahun 1948 dan 1965, buku itu dilarang.

Yang paling sial mungkin penerbit Grasindo, Jakarta. Buku-bukunya mencantumkan pemberontakan tahun 1948 dan 1965 serta menyatakan bahwa PKI sebagai dalangnya. Penerbit ini konsisten menggunakan versi Orde Baru termasuk menulis istilah G30S/PKI. Itu masih dilarang juga. Penerbit pun bingung.

Berawal dari Depdiknas

Kasus tersebut bermula dari permintaan Mendiknas kepada Jaksa Agung agar memeriksa buku pelajaran sejarah. Ini untuk menindaklanjuti laporan beberapa tokoh seperti Jusuf Hasyim (alm) dan penyair Taufiq Ismail kepada DPR bahwa di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran yang tidak memuat pemberontakan Madiun 1948. Ketua DPR kemudian mengundang Mendiknas dan menanyakan hal ini. Persoalan ini selanjutnya dibahas dalam Rakor Kesra yang dipimpin Aburizal Bakri. Setelah itu baru bergulir ke Kejaksaan Agung.

Kalau ada sebuah buku yang dianggap keliru seyogianya buku itu saja yang diteliti, bukan semua buku pelajaran sejarah di seluruh Indonesia. Sebetulnya Menteri Pendidikan Nasional dapat menanyakan langsung kepada bawahannya pada Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan. Pusat Perbukuan dapat menyurati penerbit bahwa buku-buku yang mengacu kepada kurikulum 2004 tidak lagi digunakan di kelas. Dengan ini persoalannya akan selesai, karena penerbit tentu tidak mau rugi mencetak buku yang tidak terpakai di sekolah.

Ternyata Depdiknas juga mengganti kurikulum 2004 yang telah diujicobakan sejak tahun 2000. Penggantian kurikulum ini mendatangkan kerepotan baru bagi guru dan siswa. Banyak hal lain yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan nasional seperti penuntasan wajib belajar 9 tahun dan peningkatan kesejahteraan guru. Seyogianya Depdiknas berkonsentrasi kepada hal-hal yang vital itu saja, tidak menciptakan kontroversi baru.

Dampak pelarangan buku

Pelarangan ini memiliki dampak luas yang tidak diperkirakan oleh pengambil kebijakan. Sampai hari ini beberapa media asing seperti kantor berita Perancis AFP, Radio/Televisi ABC Australia dan surat kabar Volkrant (Amsterdam) masih meliput peristiwa ini karena pada era reformasi, penyitaan buku masih dilakukan beberapa kejaksaan negeri dan dinas pendidikan daerah. Tentu menggelikan mereka ketika mengetahui bahwa pelarangan buku itu ternyata salah larang. Di Kupang misalnya buku pelajaran sejarah disita karena mencantumkan foto Gorbatchev. Padahal itu wajar saja karena menjelaskan tentang berakhirnya perang dingin.

Bagi guru dan siswa pelarangan ini memiliki efek negatif. Kebanyakan peserta didik sekarang sudah mengetahui berbagai versi Gerakan 30 September melalui buku-buku dan media massa serta internet. Namun agar lulus dalam ujian, guru terpaksa menyuruh murid untuk menjawab sesuai versi pemerintah. Ini menumbuhkan budaya kemunafikan sejak dari sekolah. Dari sudut pandang kinerja kabinet, maka "salah larang" ini mempengaruhi nilai sukses yang diperoleh tim SBY-JK, karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Penulis adalah Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)





Hardi Baktiantoro
[EMAIL PROTECTED]



Kirim email ke