SENJAKALA SEGALA BERHALA
  

  Oleh:
  Audifax
  Penulis buku”Imagining Lara Croft” (2006, Jalasutra)
  

  “Orang harus berbicara bagai guruh dan kilat kepada indera-indera yang lemah 
dan tidur.
  Namun, suara keindahan berbicara lembut: ia meresap ke dalam jiwa-jiwa yang 
paling bangun”
  

  Friedrich Nietzche
  Also Sprach Zarathustra
  

  Satu-satunya kepastian di dunia adalah ketakpastian itu sendiri. Itulah 
sebuah paradoks dalam kehidupan manusia. Paradoks yang kerap membuat manusia 
tak tahan dan tak berani menghadapi realita bahwa dunia adalah sebuah realita 
ketakpastian. Realita yang terus bertransformasi dan mentransformasi apapun di 
dalamnya. Pada titik inilah manusia lalu merasa perlu untuk membentuk 
ilusi-ilusi mengenai ‘Yang-Absolut’ yang bisa menjamin kepastian. Ilusi 
mengenai ‘Yang-Absolut’ ini bisa bermacam-macam bentuknya. Hidup di tengah 
samudera ketakpastian ibarat hidup dalam ‘malam yang terus-menerus’ (meminjam 
istilah Ratih Ibrahim: Horor tapi juga orgasmik), tak heran jika manusia yang 
tak tahan hidup dalam kegelapan ini lantas merindukan matahari yang membuat 
segalanya benderang dan pasti, meski matahari itu adalah ilusi.
  

  Matahari-matahari inilah yang bisa berwujud konsep mengenai: iman, rasio, 
akal-budi, surga, kiamat, atom, monad, Tuhan, Allah, Yesus, Muhammad, dsb., 
ketika semua itu ditempatkan sebagai ‘Yang-Absolut’ dan 
‘Yang-Tak-Tergugat-Adanya’. Itulah sebabnya cara berpikir manusia selalu 
terjebak untuk menuhankan sesuatu ataupun berpretensi menjadikan dirinya tuhan 
(yang maha-kuasa, yang menentukan mana yang patut dihukum dan diampuni). Jaman 
boleh saja bergeser dari era kegelapan menuju era pencerahan (Aufklarung). 
Gereja boleh saja kehilangan otoritasnya ketika muncul pemikir-pemikir di era 
Aufklarung. Namun, tuhan-tuhan tetap saja ada. Ketika tuhan agama dibunuh oleh 
pemikir-pemikir Aufklarung, diam-diam pemikir-pemikir ini ternyata juga 
menuhankan sesuatu yang baru seperti: rasio, akal-budi, monad dan lain-lain.
  

  Hingga tiba munculnya Nietzche yang melingkarkan waktu untuk membunuh segala 
tuhan. Metafisika ‘logos’ pun meregang nyawa. Sang Matahari pun tak bisa 
melepaskan diri dari gerhana yang selalu menyertainya. Tak ada lagi ‘Sang 
Pusat’ yang mampu memberi jaminan terang kepastian ketika keterpusatan itu 
digeledah dan ditemukan hasrat tersembunyi yang dibalut absolutisme semu. 
Inilah momen senjakala bagi segala berhala dan Sang Zarathustra pun 
mengidungkan Requiem Aeternam Deo! Semoga Tuhan beristirahat dalam Damai.
  

  Nietzche mengkritik dan menggeledah dogmatisme dan ketaktergugatan yang 
membuat jiwa-jiwa terpasung dalam kehinaan. Orang-orang ini berlindung di balik 
penyembahan dan mengira bahwa dengan penyembahan itu hidup mereka lantas 
menjadi mulia dan bermakna. Dalam salah satu aforianya, Nietzche menuliskan 
sesuatu yang menarik untuk kita renungkan:
  

  Siapa yang menciptakan gua-gua dan tangga-tangga penyesalan seperti itu?
  Bukankah mereka itu orang-orang yang ingin bersembunyi dan malu di hadapan 
langit cerah?
  

  Mereka menyebut Tuhan ketika melawan segala yang merugikan mereka, dan 
benarlah, sembahyangan mereka itulah yang mereka anggap perbuatan kepahlawanan.
  

  Dan mereka tak tahu cara lain mengasihi Tuhan mereka kecuali dengan memaku 
manusia ke palang salib.
  

  Inilah yang banyak dilakukan orang-orang malang yang tak mampu menghadapi 
keakpastian kehidupan, mencari manusia atau sosok yang bisa mereka paku di 
palang salib dan menghaturkan sembahyangan sekaligus derita padanya. 
Orang-orang ini bagaikan narapidana yang diintai maut, karena sejatinya ‘dia’ 
yang mereka sebut ‘penebus’ itu justru melemparkan umatnya ke dalam perbudakan. 
Dalam melingkarnya waktu, ritus perbudakan ini tak hanya berlangsung dalam 
drama-drama agama, namun juga dalam banyak kejadian sehari-hari.
  

  Inilah yang kemudian menjebak banyak orang dalam perbudakan nilai-nilai palsu 
dan kitab-kitab palsu dan sejatinya kini mereka memerlukan sesuatu yang mampu 
menebus mereka dari penebus yang mereka sembah. Sejatinya yang terjadi adalah, 
ketika orang-orang ini diombang-ambingkan samudera ketakpastian, lalu dalam 
keputusasaan mereka mengira telah mendarat di sebuah pulau kepastian; tapi 
sayangnya, itu hanyalah monster yang sedang tidur. Monster yang sejatinya bukan 
mahkluk asing bagi mereka karena monster ini lahir dari rahim nilai-nilai palsu 
mereka sendiri. Nilai-nilai yang mereka gunakan untuk menutupi kebusukan diri 
mereka sendiri.
  

  Nilai-nilai palsu itu sejatinya adalah monster maut yang hadir dan bersemayam 
dalam diri mereka. Dan kini, mereka menyangka monster yang tidur itu adalah 
pulau kepastian di tengah samudera ketakpastian. Mereka mendarat dan membangun 
gubuk-gubuk di atasnya. Sayangnya, tiba saatnya monster itu bangun dan memakan 
serta menelan mereka semua yang membangun gubuk-gubuk di atasnya.
  

  “Engkau tidak boleh mencuri!”, “Engkau tidak boleh membunuh!”, “Engkau tidak 
boleh memuja kemapanan!”. Kata-kata seperti itu menjadi kata-kata suci, lalu di 
hadapan kata-kata itu orang-orang berlutut dan menundukkan kepala-kepala mereka 
serta melepas alas kaki mereka. Tetapi, kita bisa mengajukan pertanyaan pada 
mereka: “Dimanakah terdapat pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh yang mencuri 
dan membunuhnya lebih suci dibanding kata-kata suci itu?”, “Dimanakah terdapat 
kehausan akan kemapanan yang kemapanannya lebih suci dibanding kata-kata suci 
itu?”
  

  Tidakkah terdapat dalam semua kehidupan itu, pencurian, pembunuhan dan 
kehausan akan kemapanan yang begitu besarnya?
  

  Dan ketika kata-kata: “Mencuri”, “Membunuh”, “Haus Kemapanan” disucikan, 
bukankah di saat itu juga ‘Sang Kebenaran’ itu sendiri yang dibunuh?
  

  Atau bukankah ketika khotbah kematian itu begitu disucikan, yang terjadi 
justru pembantahan dan perlawanan terhadap inti kehidupan itu sendiri?
  

  Saudaraku, pecahkan, pecahkanlah prasasti-prasasti hukum lama!
  

  

  

  © Audifax – 30 Mei 2007
  Tulisan ini diinspirasi oleh obrolan kecil dengan Ratih Ibrahim tentang 
Yesus, pentil dan anus.
  

  

  

  Ingin mendiskusikan topik ini dengan Audifax? Bergabunglah di milis Psikologi 
Transformatif
  

  

  Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
  Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan oleh 
Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas Psikologi 
Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini telah 
berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar di 
Indonesia. Total member telah melebihi 1900, sehingga wacana-wacana yang 
didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa 
dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau 
keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana muncul di 
sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi ”Di mana ada manusia, di situ 
psikologi bisa diterapkan” di sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan 
menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan 
yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.
  

  Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat 
mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk 
mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual 
menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan 
disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. 
Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi 
transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan 
mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah 
terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium 
Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul 
Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam 
milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Vincent Liong, Mang Ucup, 
Goenardjoadi Goenawan, Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, 
Amalia “Lia” Ramananda,
 Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix Lengkong, Kartono Muhammad, Ridwan Handoyo, 
Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, 
Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Kidyoti, Priatna Ahmad, 
J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika, Ratih Ibrahim.
  

  Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, klik:
  

  www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
  

  


       
---------------------------------
Pinpoint customers who are looking for what you sell. 

Kirim email ke