http://www.indomedia.com/bpost/062007/4/opini/opini1.htm
Obat Seribu Perak Jangan Jadi Paradoks Oleh: Syahrituah Siregar SE MA Dosen Fakultas Ekonomi Unlam Opini masyarakat, obat yang baik adalah mahal sedangkan obat murah tidak bermutu. Tetapi awas, bukan berarti program obat murah dihentikan atau harganya dinaikkan. danya program obat eceran murah serba seribu rupiah, bagai angin segar pengobat asa yang hampir pupus. Di tengah kerinduan akan hadirnya kebijakan publik yang prorakyat, pemerintah membuktikan masih punya kepedulian. Obat 1.000 perak (Rp 1.000) adalah seuntai tali penyelamat bagi rakyak kecil di tengah sulitnya menjangkau pelayanan kesehatan yang memadai. Masalah yang dihadapi mulai dari harga obat yang mahal, pelayanan publik yang kurang berpihak pada rakyat, program Askeskin dan obat generik yang belum beres dan cenderung setengah hati, obat palsu dan sebagainya. Harga obat di Indonesia memang bukan yang termahal di ASEAN. Hal ini wajar, karena dari segi pendapatan per kapita, kita berada di peringkat bawah. Meski demikian, dibanding China, India, Pakistan dan Kuba yang relatif bukan lebih miskin, harga obat kita jauh lebih mahal. Dari segi pelayanan publik bidang kesehatan, rakyat kecil tidak jarang merasa disepelekan. Sebuah siaran berita di TV, seorang ibu menangis tersedu karena dienyek dokter saat ia membawa anaknya berobat. Perilaku kasar dan underestimate ini, mungkin kerap dialami masyarakat. Masih banyak masalah lain kalau mau disebutkan. Adanya obat 1.000 perak ini mestinya disambut antusias. Namun kenyataannya muncul berbagai Paradoks, mulai dari sikap masyarakat yang acuh tak acuh, paradigma industri farmasi sampai komitmen pemerintah yang patut dipertanyakan. Dari pantauan sementara, sedikit sekali masyarakat yang melek. Sebagian lain justru tidak percaya pada mutu obat murah. Opini masyarakat, obat yang baik adalah mahal sedangkan obat murah tidak bermutu. Tetapi awas, bukan berarti program obat murah dihentikan atau harganya dinaikkan. Hal ini terjadi karena masih kurangnya sosialisasi. Selain itu, komitmen pemerintah untuk menjamin pasok obat patut dipertanyakan. Di pasar masih sulit dijumpai. Menurut pedagang, prosedur pemesanan butuh waktu lama. Kalau sistem kerja pemerintah tidak berubah, program tersebut patut diragukan berjalan efektif. Umumnya, ada saja faktor penghambat atau oknum yang bermain. Pemerintah tidak punya mekanisme kontinyu untuk terjun langsung, kecuali bila ada proyek. Kalau ada proyek, baru evaluasi, pemantauan dan tindakan akan berjalan. Belum lagi adanya potensi kendala ekonomis, yakni resistensi dari obat sejenis yang mungkin merasa tersaingi. Mereka yang sudah eksis dengan jalur pemasarannya, dapat melakukan boikot ataupun trik lain yang menghambat mekanisme pasar. Karena itu, progam ini perlu pengawasan dan pengendalian di lapangan secara sungguh-sungguh. Di kalangan industri farmasi, seakan tidak ada rumus obat murah, kecuali terdapat subsidi. Di level pasar bebas global, mereka dihantui kinerja yang masih kalah dengan obat luar negeri. Jalur distribusi dan pemasaran obat memang dibikin khas, sehingga ongkosnya saja minimal 30 persen. Akibatnya, masyarakat yang menanggung. Di saat yang sama, perkembangan industri manufaktur farmasi sangat tidak memadai. Bahan baku yang diimpor masih mencapai 95 persen. Padahal, bahan baku obat begitu melimpah di Indonesia. Di samping itu, harga obat yang tinggi masih harus ditambah dengan komponen biaya pelayanan kesehatan yang wajib dikeluarkan pasien. Makanya, kalau berobat ke dokter atau rumah sakit ditanggung mahal. Mahalnya obat, dengan enteng dipikulkan kepada penghargaan atas kualitas pelayanan menyeluruh. Hubungan saling menguntungkan dokter dan farmasi juga ditengara penyebab pelitnya dokter memberi info obat generik. Untuk mengejar fee, dokter ditengara lebih menjadi sales pabrik farmasi dan cenderung memberi obat berlebihan. Sementara, pasien yang sakit tidak punya pilihan lain selain pasrah menerima atau mundur teratur. Konsumsi belanja obat orang Indonesia adalah sembilan dolar AS per kapita, paling rendah di ASEAN. Hal ini disebabkan daya beli masyarakat rendah. Karena itu, permasalahan kesehatan tidak sebatas obat eceran. Tanggung jawab semua pihak untuk menuntaskan masalah kemiskinan, harapan hidup, tingkat kesakitan, gizi buruk dan lain-lain. Obat 1.000 perak jangan membuat pemerintah merasa cukup, seakan telah menyediakan jalan keluar dengan melupakan hal krusial. Kita menantikan langkah gradual untuk membangun bidang kesehatan dan memberi keluasan akses masyarakat secara layak. Dalam momen kebangkitan ini, kita mengharapkan lahir kembali figur dokter dan paramedis yang peduli pada nasib bangsa sehingga akan berbuat yang terbaik di bidangnya. e-mail: [EMAIL PROTECTED]