KOMPAS - Rabu, 06 Juni 2007
Kasus Biografi Soekarno Asvi Warman Adam Beberapa biografi Soekarno pernah dibuat pengamat asing seperti Bernhard Dahm, John Legge, Lambert Giebels, dan Bob Hering. Namun, buku yang ditulis Cindy Adams yang paling "hidup" karena merupakan penuturan langsung Soekarno sendiri. Buku itu pertama kali muncul dalam bahasa Inggris tahun 1965 berjudul Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams, Indianapolis: Bobbs-Merril. Satu tahun kemudian, edisi bahasa Indonesia diterbitkan Gunung Agung (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia). Ketika buku Soekarno yang lain sulit ditemukan pascatahun 1965, maka buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengalami cetak ulang beberapa kali (1966, 1982, 1984, 1986, 1988). Pada cetakan pertama tertulis nama penerjemah Mayor Abdul Bar Salim, sedangkan pada cetakan kedua, pangkatnya tidak disebut lagi. Dalam pengantar penerbit disebutkan, dalam tugas penerjemahan ini sang penerjemah sudah direstui Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto. Selain itu sejak cetakan pertama terdapat kata sambutan Soeharto. "Dengan penerbitan ini, diharapkan dapat terbaca luas di kalangan rakyat, Bangsa Indonesia," ujar Soeharto. Apakah pernyataan ini yang menyebabkan buku itu bisa tetap terbit pada era Orde Baru? Duta Besar AS Howard Jones, saat makan nasi goreng di paviliun istana Bogor, menyarankan agar Bung Karno menulis biografi. Akhirnya Soekarno setuju bila itu dilakukan Cindy Adams, wartawati AS yang ada di Indonesia mendampingi suaminya, Joey Adams, yang memimpin misi kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Cukup banyak kepentingan yang ikut bermain di balik penerbitan buku ini. Namun, bagi Bung Karno, biografi ini memberi kesempatan menjawab serangkaian tuduhan yang pernah ditujukan pada dirinya antara lain sebagai kolaborator Jepang dan komunis serta terlalu sering ke luar negeri. "Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta." Alinea tambahan Dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Bung Karno di Gedung Pola tahun 2006, Prof Sjafii Ma’arif, mengutip buku Cindy Adams, mengatakan, Soekarno amat melecehkan Hatta karena menganggap perannya tidak ada dalam sejarah Indonesia. Karena itu, ketika buku ini akan diterbitkan ulang saya meminta kepada Yayasan Bung Karno untuk mengecek kembali terjemahan buku ini. Sebetulnya bagaimana bunyi asli dalam bahasa Inggris pernyataan yang merendahkan Hatta. Yayasan Bung Karno kemudian menugasi Syamsu Hadi untuk menerjemahkan ulang buku itu. Yang mengagetkan, pada temuannya, selain ada kekeliruan terjemahan adalah dua alinea tambahan dalam edisi bahasa Indonesia sejak tahun 1966. Padahal kedua alinea itu tidak ada dalam edisi bahasa Inggris. Pada halaman 341 tertulis, "Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi." Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana di mana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir dengan te- nang. "Hatta tidak ada," kataku. "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada." Kalimat ini akan dilanjutkan —kalau dicek teks asli bahasa Inggris adalah "Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Sukarno dan tanah-air Indonesia menunggu kedatangan Hatta". Namun, di antara kedua kalimat itu ternyata disisipkan dua alinea yang tidak ada dalam buku asli berbahasa Inggris yaitu: "Tidak ada yang berteriak ’Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat saraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada." "Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarno-lah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ’pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia." Soekarno tidak memerlukan Hatta dan Sjahrir bahkan "peranan Hatta dalam sejarah tidak ada". Demikian pernyataan Bung Karno dalam edisi bahasa Indonesia yang terbit sejak tahun 1966. Kalau tambahan dua alinea itu hasil rekayasa, siapa yang melakukannya? Asvi Warman Adam Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia KOMPAS - Rabu, 06 Juni 2007 Soekarno dan Gerakan Mahasiswa Baskara T Wardaya Ketika akhir-akhir ini orang berefleksi mengenai lengsernya Orde Baru sembilan tahun silam, muncul banyak pertanyaan di seputar peristiwa bersejarah itu. Salah satunya, sejauh mana gerakan Reformasi 1998 mampu memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negeri ini. Sejumlah kalangan dengan terus terang mengatakan, gerakan yang banyak dipelopori mahasiswa itu patut dipertanyakan hasilnya, kalau tidak mau dikatakan telah berhenti di tengah jalan. Mereka mengeluh, gerakan Reformasi bukan hanya telah berhenti, tetapi juga telah membuka pintu bagi kembalinya sistem dan perilaku Orde Baru. Dalam gerakan Reformasi itu mahasiswa mampu menumbangkan sebuah rezim, tetapi gagal membangun alternatif yang lebih sesuai aspirasi rakyat. Hal ini menarik disimak, mengingat pada zaman pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda dulu, mahasiswa dan kaum terpelajar lain juga berperan penting namun relatif berhasil. Mereka tidak hanya telah sukses dalam menumbangkan rezim kolonial-represif, tetapi juga dalam menciptakan sistem alternatif. Bung Karno Dalam rangka mengenang hari lahir Bung Karno, 6 Juni, baik kiranya untuk sejenak melihat kembali bagaimana ia menghidupi semangat pergerakan mahasiswa pada zamannya, di mana ia menjadi salah satu tokohnya. Pertama, sebagai mahasiswa Bung Karno serius dalam menempuh studi formalnya. Kuliahnya di ITB dijalani dengan tekun hingga selesai pada waktunya dan menggondol gelar insinyur sesuai bidangnya. Keahlian dan intuisinya sebagai seorang arsitek terus menjiwainya. Kedua, selain studi formal, Bung Karno juga giat membaca buku-buku di luar bidang kuliahnya. Ia membaca literatur sejarah, filsafat, politik, dan lain-lain, yang merupakan hasil karya pemikir besar, seperti Jefferson, Russeau, Marx, Engels, dan Voltaire. Termasuk ia pelajari Kitab Suci berbagai agama. Ketiga, Bung Karno suka bertemu langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Dalam kaitan ini, misalnya, ia menjumpai petani, seperti petani Marhaen yang kelak mendasari teorinya tentang Marhaenisme. Ia sadar, apa yang ia pelajari dalam studinya kelak bukan dimaksudkan untuk menumpuk harta bagi diri sendiri, tetapi untuk turut memperbaiki perikehidupan masyarakatnya. Keempat, ia berorganisasi. Di tengah kesibukan intelektual maupun pergaulannya dengan masyarakat bawah, Bung Karno berlatih berorganisasi. Di Bandung ia membentuk kelompok studi untuk bertukar pikiran sekaligus menggalang semangat nasionalisme di antara kaum muda. Kelak pada usia 26 tahun ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan politik bersama. Kelima, ia memiliki komitmen mendalam bagi rakyat Indonesia. Tidak dapat diragukan, Bung Karno amat mencintai bangsanya dan rela berkorban sampai kapan pun demi cintanya itu. Cinta dan komitmen inilah yang membuatnya tak gentar dikejar-kejar, tak jera dipenjara, tak merinding dibuang ke tempat asing. Gerakan mahasiswa kini Perlu diingat, kelima aspek dalam menghidupi semangat gerakan yang demikian itu bukan hanya dimiliki Bung Karno, tetapi juga oleh banyak mahasiswa dan kaum muda sezamannya. Kelima aspek itu dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur untuk melihat perjuangan mahasiswa masa kini, khususnya menjelang dan setelah lengsernya Orba. Pertama, ditengarai banyak mahasiswa, yang aktif dalam berbagai gerakan sosial-politik sekarang ini, cenderung bersemangat dalam perjuangan namun lambat dalam menyelesaikan kuliah mereka. Lain dengan Bung Karno, mereka suka berlama-lama dalam studi. Dalam sejumlah kasus malah studi itu tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Kedua, tidak sedikit aktivis gerakan mahasiswa enggan menekuni berbagai bacaan di luar studi formalnya, khususnya bacaan-bacaan yang menyangkut sejarah, teori-teori sosial-politik atau dasar-dasar pemikiran filsafat, apalagi membaca Kitab Suci agama-agama lain. Akibatnya gerakan Reformasi menjadi gegap gempita di jalan raya, namun sepi dalam teori. Ketika rezim yang mereka lawan benar-benar runtuh, para mahasiswa tidak mampu menyodorkan alternatif. Ini tentu berbeda dengan kaum muda zaman Bung Karno yang setelah Jepang menyerah mampu memproklamirkan diri dan dalam waktu singkat membentuk negara baru lengkap dengan undang-undang dan struktur pemerintahannya. Ketiga, tak dapat diragukan, kini banyak mahasiswa memiliki kedekatan dengan rakyat bawah. Meskipun demikian, kita dapat bertanya, seberapa jauh para mahasiswa itu rajin mempertemukan teori-teori tekstual yang mereka pelajari di perguruan tinggi dengan realitas sosial di masyarakat? Gerakan mahasiswa yang Jakarta sentris membuat berbagai upaya yang dilakukan terkesan elitis, menjadi peristiwa-media yang menawan, namun kurang menyentuh kebutuhan lapisan bawah masyarakat Indonesia. Keempat, para aktivis Reformasi tampak gencar dalam membentuk organisasi serta memilih nama yang memukau, tanda akan tingginya kesadaran mengenai pentingnya berorganisasi. Namun, organisasi-organisasi itu sering lebih bersifat jangka-pendek tanpa disertai konsistensi perjuangan jangka panjang. Tidak jarang sifatnya spontan dan reaktif, tanpa dasar teori sosial dan kerakyatan memadai. Kelima, banyak mahasiswa era Reformasi memiliki komitmen tinggi dalam perjuangan mereka. Sayang, komitmen itu cenderung bersifat lokal dan sektarian, kurang mengarah kepada perjuangan kepentingan luas dan mendalam dari rakyat Indonesia secara keseluruhan. Malangnya, ketika lahir berbagai kelompok yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan, justru dibentuk elemen-elemen sektarian-destruktif yang selalu siap mengganjalnya, apa pun justifikasinya. Aspek komitmen itu perlu digarisbawahi, mengingat komitmen seharusnya menjadi dasar bagi keempat aspek yang lain. Kuat atau lemahnya aspek komitmen pada rakyat akan ikut menentukan para mahasiswa dalam aspek-aspek lain, baik dalam kuliah formal, dalam studi literatur di luar perkuliahan, dalam menangkap aspirasi masyarakat, maupun dalam berorganisasi demi perjuangan bersama. Kita tentu tidak ingin sekadar menjiplak apa pun yang dilakukan Bung Karno dan kawan-kawan. Setiap generasi memiliki tantangannya sendiri. Meski demikian, tetap penting kiranya melihat hidup dan perjuangan mereka sebagai salah satu tolok ukur dan sumber inspirasi bagi hidup dan perjuangan kita kini. Baskara T Wardaya SJ Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma; Penulis Buku Bung Karno Menggugat