Terimakasih untuk tambahannya Sdr. Peppita. Buat mas Indra, kasus2 seperti yang disebut di bawah inilah yang saya maksudkan. Dan celakanya lagi, kasus seperti ini bukan terjadi satu atau dua kali saja. Di jakarta dan sekitarnya pun sangat banyak kasus begini, dan melibatkan etnis tersebut. Contoh, di tanah abang jakarta. Etnis pendatang ini banyak mengontrak rumah penduduk betawi asli di daerah tanah abang. Dan setelah waktu kontrak habis, mereka tidak mau pergi meninggalkan rumah tersebut, dan mengklaim mereka sudah membayar atau membeli rumah tersebut. Awalnya masih belum menjadi kasus, karena baru satu atau dua pemilik rumah yang mengalaminya. Tapi akhirnya karena semakin lama semakin menjadi, maka pecahlah peperangan di daerah tanah abang, antara masyarakat asli yang memiliki rumah, dengan etnis pendatang tersebut yang tidak mau pergi dari rumah yang mereka tempati. Untuk mengingatkan rekan2 semua, kejadian ini belum lewat 5 tahun yang lalu.
Di daerah bekasi, juga sama. Pendatang dari etnis ini mengontrak rumah, kebetulan milik pak Haji yang masyarakat betawi. Tapi setelah masa kontrak habis, mereka tidak mau pergi dari rumah, dan juga tidak mau bayar, karena merasa rumah itu miliknya. Setiap pak Haji ini datang, selalu disambut dengan ancamam celurit dan mengajak duel carok. Akhirnya karena tidak tahan, terakhir diancam dengan celurit, si pak Haji ini menyambar golok di pinggangnya dan membunuh si penyewa tak tahu diri itu saat itu juga. Kasus ini ada masuk di televisi belum ada 2 tahun yang lalu. Pak haji ini saat ini mendekam di penjara karena pembunuhan tersebut. Saya ambil contoh 2 kasus di atas yang bisa di cek kebenarannya oleh rekan2 media di jakarta. Di daerah lain masih banyak kasus sejenis yang melibatkan masyarakat dari etnis tersebut. Mohon dimengerti, saya bukan mau membela tentara yang menembak masyarakat dengan membabi buta. Tapi hanya mau kita menggali lebih dalam lagi mengenai masalah ini. Walaupun tentara membawa bedil, tapi kalau kena dibacok ya mati juga pak. Sama-sama manusia kok. Dan sama-sama punya insting untuk mempertahankan diri. Salam Paulus T. On 6/7/07, Peppita Poerwowidagdo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Terkait 'pertanahan' , saya menyumbang satu contoh, dikemukakan oleh seorang teman ketika kerusuhan di Kalimantan sedang hangat2nya. Kakaknya, yg ditugaskan ke pulau B (sekitar Sumatra), pindah membawa sekeluarga pembantu dari etnis tertentu (yg dimaksud Pak Paulus). Selama di pulau B, kakak teman sanggup membeli tanah yang cukup luas untuk diolah. Saat harus kembali ke Jawa, tanah tersebut dititipkan pada pembantunya unt diawasi. Tahun pertama lancar, tapi berikutnya nyaris tak terdengar beritanya. Ketika akhirnya sang kakak mencek ke pulau B, tanah tersebut dipenuhi sanak saudara & tetangga pembantu, yg mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka (dan tidak mau pergi sekalipun sertifikat asli milik kakak telah ditunjukkan). Untung kakak ini orang yg supel semasa dinas di pulau B sehingga banyak kenalan pejabat. Entah bagaimana dan berapa lama, pada intinya setelah berjuang mati2an akhirnya tanah tersebut dapat kembali menjadi milik sang kakak sepenuhnya dan para 'penunggu' dapat 'diusir'... Perkara nekad, di Jawa Pos beberapa tahun lalu pernah diberitakan tentang nasib malang beberapa anggota polisi, yang ketika mengejar buronan ke pulaunya, mati tercacah! Ini benar2 terjadi, karena rupanya si buron berteriak dalam bahasanya kalo ada yg mengejar dia sehingga tanpa ba-bi-bu masyarakat menclurit para polisi. Polisi tersebut mati mengenaskan (saya lupa apa ada yg selamat atau tidak), tanpa ada secuil LSM HAM apapun yg mempedulikan kematian mereka, apalagi nasib keluarganya. Diberitakan pula bahwa kesalahan taktik polisi adalah tidak kulonuwun pada pemimpin spiritual masyarakat tsb unt meminta bantuan menangkap buronan yg dimaksud, sehingga mengakibatkan kesalahpahaman. Ketika kepolisian mulai memerikas perkara tsb, banyak pria menghilang melarikan diri, namun himbauan selalu diberikan oleh 'pejabat' setempat agar polisi senantiasa 'menjaga' sikap mereka. Bayangkan, sudah anggota mati mengenaskan, 'kesalahan' seolah senantiasa di tangan aparat... Mohon maaf, saya jadi ingin mendengar kisah Panglima Burung. Salam damai.