http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/15/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY "WNI Bangsa Tionghoa" Oleh Iskandar Jusuf Istilah "WNI bangsa Tionghoa" terasa sangat janggal. Sebab, tidak ada warga negara Indonesia (WNI) berkebangsaan Tionghoa. Semua WNI tentu bangsa Indonesia. Tetapi ada segelintir orang Tionghoa yang menggunakan istilah "kebangsaan Tionghoa Indonesia" untuk menamakan organisasi masyarakat yang mereka dirikan. Boleh ada WNI keturunan Tionghoa, etnis Tionghoa, dan warga Tionghoa, bahkan boleh ada WNI suku Tionghoa, tetapi tidak boleh ada WNI kebangsaan Tionghoa. Ketika Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) didirikan pada 1999, pada anggaran dasarnya digunakan istilah keturunan Tionghoa. Penggunaan istilah tersebut mengacu pada sudut antropologi fisik. Artinya, mereka berbicara tentang ras, yaitu ciri-ciri biologis yang menjelma sebagai ciri-ciri lahir seperti warna kulit, bentuk rambut, bentuk bagian muka, dan sebagainya. Manusia diklasifikasikan dalam ras Kaukasoid, Mongoloid, dan Negroid. Orang Tionghoa termasuk dalam ras Asiatik Mongoloid, sedangkan orang Indonesia ada yang termasuk dalam ras Malayan Mongoloid dan ada yang termasuk ras Melanesian Negroid. Memang orang Indonesia terdiri dari ras berbeda-beda. Pada 2005, dalam rangka persiapan perubahan Anggaran Dasar INTI, timbul rancangan yang ingin menghilangkan istilah keturunan Tionghoa dan menggantikannya dengan istilah etnis Tionghoa. Istilah etnis Tionghoa dilihat dari sudut antropologi budaya, yaitu bahasa yang digunakan, agama yang dianut, cara berpakaian, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Pada 23 April 2006, Munas Luar Biasa Amendemen Anggaran Dasar INTI, menetapkan tidak lagi menggunakan istilah keturunan Tionghoa, tetapi warga Tionghoa, yang mengacu pada sudut pandang ilmu sosiologi. Mereka berbicara tentang komunitas warga Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia umumnya. Masyarakat Tionghoa dikelompokkan berdasarkan perasaan yang sama, sepenanggungan dan saling memerlukan satu dengan yang lainnya. Perlu Dibahas Istilah keturunan Tionghoa, etnis Tionghoa, dan warga Tionghoa banyak digunakan dalam tulisan-tulisan pakar dan juga orang awam tentang masyarakat Tionghoa. Tetapi penggunaan istilah kebangsaan Tionghoa untuk masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi WNI, terasa sangat mengusik perasaan bangsa Indonesia, perlu dibahas. Bangsa Tionghoa bisa berarti bangsa China, baik dari Republik Rakyat China (RRC) maupun dari Republik China di Taiwan, dan juga bisa berarti semua orang-orang keturunan Tionghoa yang merantau dan menetap di mancanegara, tpi tidak menjadi warga negara dari negara tempat mereka bermukim. Masyarakat Tionghoa warga negara Singapura menyatakan diri sebagai "Singaporean", yang warga negara Filipina menyatakan diri "Philipino". Maka masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi WNI seharusnya menyatakan diri sebagai "Indonesian", bukan sebagai bangsa Tionghoa. Baru-baru ini ada iklan layanan masyarakat di Metro TV yang menyiarkan bahwa suku Tionghoa di Malang (Macung) mendirikan universitas bertaraf internasional di kota tersebut. Dalam iklan itu digunakan istilah suku Tionghoa. Sebab itu, apabila organisasi masyarakat Tionghoa yang menggunakan nama kebangsaan Tionghoa Indonesia ingin mengartikan kata bangsa dalam arti suku, sebaiknya gunakan saja kata suku. Maka namanya menjadi suku Tionghoa Indonesia, bukan kebangsaan Tionghoa Indonesia, atau pakai istilah suku bangsa Tionghoa Indonesia. Guru Besar Antropologi dari Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, Prof Dr James Danandjaja MA, menjelaskan perbedaan antara suku bangsa dan bangsa dalam tulisannya berjudul "Orang Indonesia Masih dalam Taraf Kesukubangsaan Belum Kebangsaan". "Suku bangsa (ethnic group) atau disebut juga dengan istilah etnik, adalah kelompok orang yang dibedakan dari kelompok lain, karena mempunyai perbedaan kebudayaan, terutama dapat diketahui dari bahasa yang digunakan. Di Indonesia suku-suku bangsa tersebut adalah Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang, Melayu Deli, Betawi, Makassar, Bugis, Madura, Manado, Tionghoa, Ambon, dan lain-lain". Menurut James, bangsa adalah kelompok orang yang dapat dibeda- kan dari kelompok lain, karena mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini antara lain adalah bangsa-bangsa Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Indonesia, Tionghoa, dan lain-lain, karena mereka merupakan warga negara dari negara-negara bersangkutan Zaman Belanda Pada zaman VOC, belum ada peraturan tentang kewarganegaraan. Pada waktu itu perbedaan bukan dilakukan antara warga negara dan "orang asing". VOC lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau lain-lain kriteria, apakah orang itu pejabat VOC (Compagniesdienaren) atau orang bebas atau budak. Atau apakah orang itu beragama Kristen (Christenen) atau bukan orang kristen (Onchristenen blinde heidenen). Apabila orang-orang Tionghoa pada zaman VOC, menganggap dirinya bangsa Tionghoa dan mengaku sebagai bangsa Tionghoa, sah-sah saja. Sebab pada waktu itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum ada. VOC tidak menganggap mereka sebagai bangsa Belanda. Tetapi Negeri Tiongkok pada masa "Dinasti Manchu", menganut azas ius sanguinis, menganggap semua rakyat yang merantau ke luar negeri tetap merupakan bangsa Tionghoa. Kemudian dari VOC beralih ke Pemerintah Hindia Belanda, pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Burgelijk Wetboek/BW) Tahun 1838, diatur "Nederlanderschap" pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, dengan judul "Nederlanders en Vreemdelingen". Menurut BW, peranakan Tionghoa (orang-orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda) dianggap sebagai orang Belanda, tetapi hanya terbatas dalam artian hukum perdata (civiel rechtelijk). Dalam hal-hal lain dianggap sebagai orang asing. Meskipun peranakan Tionghoa mendapat status "civiel Nederlander", dalam praktek sehari-hari mereka diperlakukan sebagai orang asing, sedangkan negeri leluhurnya, waktu itu "Dinasti Manchu", tetap menganggap mereka sebagai warga negara Tionghoa, sebagai bangsa Tionghoa. Maka apabila orang-orang Tionghoa pada waktu itu, menyatakan diri sebagai bangsa Tionghoa, dapat dibenarkan. Tahun 1909, Pemerintah Tiongkok sudah berubah dari "Dinasti Manchu" menjadi "Chung Hua Ming Kuo" (Republik of China). DPR Republik of China pada waktu itu menetapkan UU Kewarganegaraan Tiongkok. Di dalamnya dinyatakan bahwa rakyat Tionghoa dalam perantauan (Hoa Kiao) tetap warga negara Republik of China, bahkan dari total 274 kursi DPR, 6 kursi disediakan bagi Tionghoa perantauan. Tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan UU tentang "Nederlandsch Onderdaanschap van niet - Nederlanders". (Staatsblad No 296/1910). UU Kekaulanegaraan Belanda tahun 1910 itu menganut ius soli (berdasarkan tempat kelahiran). Jadi semua orang yang dilahirkan di wilayah Hindia Belanda dipandang sebagai Kaulanegara Belanda. Jadi orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah Kaulanegara Belanda. Tetapi hanya sebagai Kaulanegara Belanda bukan warga negara Belanda. Dengan demikian apabila pada waktu itu ada orang-orang Tionghoa di Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa Tionghoa, tidak dapat disalahkan. Zaman Reformasi Setelah Indonesia merdeka, orang-orang Tionghoa yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia adalah mereka yang menurut Persetujuan Perihal Pembagian warga negara Konperensi Meja Bundar memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Mereka adalah kaulanegara Belanda bukan orang Belanda yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian, orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dari orangtua yang berkediaman di Indonesia dan tidak mempergunakan kesempatan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia dalam jangka waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan, secara otomatis menjadi WNI. Yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia adalah "stelsel pasif". Pada waktu itu, Indonesia menganut azas ius soli (berdasarkan tempat kelahiran) sedangkan Tiongkok menganut asas ius sanguinis. Sebab itu, orang-orang Tionghoa di Indonesia mempunyai dwikewarganegaraan. Karena itu cukup beralasan bila ada yang masih menganggap dirinya bangsa Tionghoa. Tetapi setelah berlakunya UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, yang mengubah stelsel pasif menjadi stelsel aktif, mewajibkan orang-orang Tionghoa yang mau menjadi WNI untuk memilih secara tegas; menjadi WNI serta harus menyatakan menolak kewarganegaraan Tiongkok. Dengan demikian, tidak ada lagi dwikewarganegaraan. Di zaman reformasi ini, UU No 62 Tahun 1958 sudah diganti dengan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, tetapi orang-orang yang sudah menjadi WNI sebelum UU No 12 Tahun 2006 berlaku, tetap WNI. Orang-orang Tionghoa yang sudah memilih kewarganegaraan Indonesia dengan suka rela, dan telah menolak kewarganegaraan Tiongkok, sudah menjadi WNI. Sebagai WNI, maka sudah menjadi bangsa Indonesia dan tidak boleh menyatakan dirinya sebagai bangsa Tionghoa. Karena itu, tidak boleh lagi ada istilah "WNI bangsa Tionghoa". Penulis adalah konsultan hukum Last modified: 15/6/07