http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=138661

Kamis, 14 Juni 2007



Calon Independen dan Diskredibilitas Partai
Oleh: Agus Setiadi


PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diatur dalam revisi 
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan 

Daerah memang patut disyukuri. Presiden, gubernur, bupati, dan wali kota tidak 
lagi dipilih oleh wakil-wakil rakyat. Ini merupakan langkah maju dalam 
demokrasi di negara kita. Selama ini pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD 
telah menimbulkan rasa sakit hati, karena fenomena politik uang. 

Harga sebuah kursi bupati atau wali kota bisa miliaran rupiah. Apalagi seorang 
gubernur. Namun lebih dari sekadar uang, proses seperti itu dinilai mengabaikan 
aspirasi rakyat. Selain itu, ada kesan kuat, pejabat yang nanti terpilih merasa 
lebih sebagai milik partai politik yang mendukungnya katimbang rakyat. 

Tapi demokratisasi yang mulai dinikmati rakyat ternyata masih dirasakan 
setengah hati. Partai Politik masih belum rela melepaskan kekuasaan nya karena 
calon kepala daerah yang bakal maju haruslah didukung atau dicalonkan partai 
politik atau gabungan partai politik dengan perolehan 

kursi di DPRD minimal 15 persen. Jadi, tidak dimungkinkan ada calon independen. 
Dan itu masih memungkinkan terjadi fenomena politik uang serta keterikatan 
calon pada parpol yang mengajukan. Kendati rakyatlah yang menentukan calon, 
namun pilihan itu telah lebih dahulu dipilih dan ditetapkan oleh partai 
politik. Jadi, posisi partai politik sangat sentral karena semua calon harus 
lewat sana. Kuat dugaan, politik uang akan kembali terjadi. Seorang calon tak 
akan memperoleh tiket dengan gratis. Belum pernah ditemukan ada partai yang 
mendukung cuma-cuma karena sang calon memang layak maju. Tapi yang terjadi 
umumnya uang lah yang lagi-lagi menentukan harga parpol. Sekalipun tidak berupa 
uang tunai, setidak-tidaknya pasti ada komitmen di belakang. Inilah yang 
mengkhawatirkan banyak kalangan, karena partai politik terutama para 
fungsionarisnya dinilai masih akan "bermain". 

Memang ada unsur positifnya ketika seorang calon diajukan oleh partai politik 
atau kekuatan politik yang juga berada di parlemen. Karena seorang kepala 
daerah pada dasarnya adalah jabatan politik yang diperoleh dari sebuah proses 
politik. Partai politik secara teoritis merupakan perwujudan atau akulturasi 
dari keseluruhan aspirasi masyarakat. Dan DPRD adalah bagian dari mekanisme 
demokrasi dengan sistem perwakilan. Bisa jadi seorang kepala daerah yang 
terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat kemudian tidak bisa efektif 
bekerja karena kurang didukung oleh lembaga legislatif. Namun bisa juga 
berpikir sebaliknya. Bukankah akan lebih baik bila antara lembaga eksekutif dan 
legislatif tidak berasal dari satu kekuatan politik sehingga bisa terjadi 
mekanisme check and balance. 

Isu calon independen ini sebenarnya sudah lama tergaung dan bahkan sudah pernah 
pula diterapkan di Indonesia pada pemilihan umum pertama tahun 1955 sehingga 
wajar jika pemilu pada waktu itu diakui berbagai kalangan paling demokratis 
dalam sejarah perpolitikan bangsa Indonesia. Geliat momentum menjelang 
pemilihan Gubernur DKI yang makin menghangat dan memanas ini dimanfaatkan oleh 
kalangan pro demokrasi untuk kembali memperjuangkan agar calon independen 
diakomodasi dalam perangkat peraturan pilkada khususnya di DKI Jakarta. 

Tak seorang pun bisa membantah bahwa institusi partai politik merupakan tulang 
punggung demokrasi modern. Meskipun demikian, adalah suatu ironi pula jika 
seluruh persoalan bangsa kita diserahkan bulat-bulat kepada para politikus 
partai yang terbukti "busuk" dan tidak memiliki komitmen etis mengelola 
perubahan dalam rangka perbaikan nasib rakyat. Hal ini bisa dilihat dari hasil 
jajak pendapat yang dilakukan berbagai pihak beberapa waktu lalu salah satunya 
Kompas yang membeberkan bagaimana bobroknya citra DPR dan partai politik di 
mata publik. Citra kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat tak mungkin dilepaskan 
dari perilaku para anggotanya. Perilaku buruk anggota Dewan bisa membuat citra 
lembaga menjadi terpuruk, bahkan menghapus kerja keras yang sudah mereka 
dilakukan. Hal inilah yang kini terjadi pada DPR. Karena itu, berbagai elemen 
civil society tampaknya perlu lebih solid dan bekerja lebih keras agar dapat 
mengisi peran komplementer dan substitusi atas ketiadaan komitmen moral dan 
atau etis partai-partai mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Termasuk 
di dalamnya, mendesak perubahan kebijakan dan rencana kebijakan yang menafikan 
peran komplementer dan substitusi masyarakat dalam ikut mengawal partai-partai 
agar kembali ke fitrah mereka sebagai representasi kepentingan publik bukan 
malah representasi kapital. Dalam hubungan ini, wacana tentang perlunya calon 
independen (non partisan) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) secara 
langsung, mestinya tidak dicurigai oleh partai-partai sebagai upaya 
"mempreteli" peran dan fungsi mereka. Para politikus partai di DPR khususnya, 
sangat 

tidak patut jika tetap mencurigai hadirnya calon independen dalam pilkada 
langsung, karena hal itu tidak akan pernah mengurangi fungsi dan peranan partai 
sebagai institusi demokrasi yang terpenting. 

Dalam situasi di mana rakyat yang begitu muak terhadap kebusukan sebagian 
politisi partai, hadirnya calon independen dalam pilkada langsung menjadi obat 
bagi luka politik yang dialami rakyat. Penolakan para anggota DPR terhadap 
calon independen tidak hanya makin mengecewakan publik, tetapi juga bisa 
berdampak pada munculnya pembangkangan rakyat di daerah-daerah yang diwujudkan 
dalam bentuk golput massal dalam pilkada langsung dan pemilu 2009. Bukankah 
pilkada langsung akan kehilangan makna jika mayoritas rakyat melakukan golput 
massal sebagai wujud protes mereka? Peran komplementer dan substitusi 
masyarakat antara lain melalui introduksi calon independen dalam pilkada 
langsung-dalam era transisidemokrasi dewasa ini jelas tetap diperlukan dalam 
rangka mendukung peran partai yang lebih optimal. Sekurang-kurangnya, kehadiran 
calon independen, kendati belum tentu berpeluang menang tetapi diyakini dapat 
mengerem arogansi dan orientasi harta-takhta sebagian politisi partai di satu 
pihak, dan meningkatkan antusiasme masyarakat dalam pilkada langsung di lain 
pihak. 

Karena itu, sebagai warga masyarakat yang menginginkan perubahan politik di 
negeri ini tentu kita harus mendukung semangat dan komitmen Mahkamah Konstitusi 
yang akan melakukan Judicial Review terhadap peraturan pilkadasung ini dan kita 
juga harus memperingatkan para politikus di DPR agar mengakomodasi kehadiran 
calon independen dalam pilkada langsung melalui pintu yang berbeda dan terpisah 
dari pintu partai. Welcome Calon Independen, Hidup Demokrasi! 



(Penulis adalah Ketua LISMA UNTAN, Koordinator Lembaga Studi Pembangunan 
Daerah) 


Kirim email ke