Stop saja pengiriman TKI? Gitu Pak Jamhur? Kalau pemerintah Malaysia tidak "bisa" menangani masalah penyiksaan fisik/psikologis terhadap para TKW berarti MoU Indonesia-Malaysia tidak berjalan. Artinya Malaysia sebagai negara di mana terjadi tindak kejahatan tidak mampu melakukan penertiban dan keadilan. Tapi mengapa tindakan keras terhadap pendatang haram bisa dilakukan (bahkan dengan sanksi-cambuk), sedang TKW-legal "tidak bisa" dilindungi dengan tegas dari penyiksaan-penyiksaan para majikannya di Malaysia? Sebaliknya, dari fakta-fakta tentang masih terjadinya penyiksaan terhadap TKI di Malaysia (juga di negara-negara lainnya), kita bisa menarik kesimpulan bahwa pemerintah RI telah gagal melakukan perlindungan terhadap warganegaranya di Malyasia. Dan dengan demikian membuktikan betapa lemahnya pemerintah RI dalam arena internasional (meskipun berhadapan dengan negara kecil Malayasia/Singapura, demikian juga dengan Saudi Arabia). Hal tersebut memang akibat logis dari kelemahan-kelemahan dalam negeri di segala bidang, terutama ekonomi dan pertahanan. Indonesia hanya bisa "bangga" dalam bidang korupsi, kolusi dan nepotisme - kebanggaan yang memalukan. Jasa para TKI/TKW yang setiap tahun memasukkan devisa sebanyak 8 milyar USD (80 trilliun RP) tidak mendapatkan tegen prestasi yang sepadan dari para penyelenggara negara. Meskipun, misalnya hanya berwujud perlindungan terhadap hak-haknya di luar negeri,termasuk hak mendapatkan keamanan dari penyiksaan dan berbagai pelecehan. Inilah suatu ketidak adilan dan kebiadaban terhadap rakyatnya sendiri yang dalam keadaan serba lemah. Apakah kita masih mau teriak "menjunjung tinggi Pancasila?" Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI Jumhur Hidayat berang dan menyatakan: "Stop saja pengiriman TKI ke Malaysia, jika Pemerintah Malaysia tidak mau membuka diri untuk memperbaiki kondisi buruh migran di negara tersebutpengiriman TKI." Tentu saja mudah menyetop pengiriman TKI. Tapi mau dikemanakan para jutaan penganggur yang pemerintah sendiri TIDAK MAMPU memberi lapangan kerja? Memang seharusnya pemerintah tidak perlu mengirimkan TKI keluar negeri, sebab ekspor tenaga kerja adalah kata lain ekspor budak jaman modern. Pemerintah yang terdiri orang-orang pandai dan bertitel dan digaji oleh rakyat berkewajiban memikirkan dan melakukan perbaikan-perbaikan nasib TKI dan rakyat pada umumnya. Sadarlah!!! Salam, Dyah Retnowulan --- In [EMAIL PROTECTED], "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Refleksi: Kalau distop pengiriman TKI bisa menyebabkan para petinggi negara, partai politik dan tokoh agama kekurangan uang saku. Apakah Anda sebagai pemilih dalam pemilu tidak merasa kasihan terhadap mereka yang kekurangan uang saku? http://www.harianterbit.com/artikel/fokus/artikel.php?aid=22344 Stop saja pengiriman TKI Tanggal: 20 Jun 2007 Sumber: Harian Terbit JAKARTA - Berbagai kasus penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis yang dialami Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tak urung membuat Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TTKI Jumhur Hidayat berang. "Stop saja pengiriman TKI ke Malaysia, jika Pemerintah Malaysia tidak mau membuka diri untuk memperbaiki kondisi buruh migran di negara tersebut," tambah Jumhur di Jakarta, Selasa malam. Menurut Jumhur, selain mendapat siksaan fisik oleh majikan seperti yang dialami Ceriyati -- TKW asal Brebes yang lari dari lantai 15 apartemen majikannya karena tak tahan disiksa -- banyak pula TKI kita menderita secara psikologis. Contohnya, TKI Nirmala Bonat, persidangannya hampir 3 tahun hingga kini belum selesai. Persidangan ini menjadi berlarut-larut jelas karena pemerintah Malaysia tidak memberikan prioritas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi buruh migran, tambahnya. Sementara itu, Ceriyati, 34 thn, PRT asal Brebes, Selasa, memberikan keterangan kepada aparat kepolisian Sentul, Kuala Lumpur, atas penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya, Ivone Siew. Ia didampingi Atase Tenaga Kerja, Teguh H Cahyono, dan Kepala Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI di KBRI Kuala Lumpur mengadukan siksaan yang dilakukan majikannya selama empat setengah bulan di sebuah apartemen Sentul, Kuala Lumpur. Menurut Jumhur, kalau penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis terus diderita TKI/TKW yang bekerja di Malaysia, ''Ya.. dengan terpaksa pengiriman kita stop.'' Jumhur menyadari dampak positip dari pengiriman 3,8 juta TKI ke luar negeri sebenarnya cukup besar karena dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarga serta menghasilkan devisa cukup besar bagi negara. Tahun lalu, tambah Jumhur, devisa yang dihasilkan oleh pengiriman TKI ke luar negeri sekitar 9 miliar dolar AS atau Rp 80 triliun. Ini angka cukup besar di luar migas. Tapi kita tidak hanya menginginkan perolehan devisa tapi juga ada jaminan bahwa TKI yang kerja di luar negeri itu dapat hidup dengan tenang dan damai, ujar Jumhur. Langkah apa yang akan diambil dalam waktu dekat ini? Jumhur mengatakan pertama kita akan melakukan sistem pencegahan dengan menerapkan tes psikologi bagi majikan yang akan mempekerjakan TKI di Malaysia, "Kita berharap dengan menerapkan sistem tes psikologi, user yangmempekerjakan TKI benar-benar sehat secara fisik dan mental sehingga kasus penyiksaan terhadap TKI tidak terulang lagi. Sementara Direktur Migran Care Anis Hidayah mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia berbicara lebih serius untuk mencegah agar kasus Ceriyati dan Nirmala Bonat tidak terulang kembali. Anis mengatakan, mencuatnya kasus Ceriyati menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Malaysia gagal untuk mencegah agar kasus Nirmala Bonat tidak terulang lagi. Anis menjelaskan, kedua pemerintah selama ini tidak pernah menjadikan suatu kasus sebagai pelajaran untuk mencegah agar penyiksaan tidak terjadi. "Saya yakin, masih banyak kasus serupa yang tidak muncul dipermukaan," kata Anis. Seharusnya, kata Anis, ketika kasus Nirmala mencuat secara luas maka dijadikan momentum bagi kedua negara untuk memperbaiki sistem penempatan dan penerimaan, pemenuhan hak-hak dan kewajiban TKI dan majikan secara terbuka. Kini setelah kasus berulang, masih tidak ada yang bisa menjamin, baik perusahaan jasa TKI, agensi di Malaysia, majikan dan kedua pemerintah bahwa kasus seperti itu tidak akan terulang. "Ini bukti pemerintah tidak serius, sementara diyakini pembantu rumah tangga adalah jenis pekerjaan yang paling rentan," kata Anis. Sementara MoU yang dibuat Indonesia dan Malaysia tidak bisa menjadi acuan hukum untuk menindak pihak-pihak yang melanggar perjanjian kerja. Anis juga mendesak pemerintah RI tidak hanya tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan pengadilan Malaysia. Dalam kasus Nirmala Bonat, majikan masih bisa bebas meskipun dengan uang jaminan, sementara sang TKI masih harus menanti penyelesaian hukum yang berlarut-larut di mahkamah (pengadilan). Dia juga mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia memasukkan majikan yang bersalah ke dalam daftar hitam dan dilarang merekrut TKI lagi. (lam/ant) --- End forwarded message ---
--------------------------------- Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, photos & more.