Nanti kalau daulah khilafah sudah dipaksakan di Indonesia, wayang itu bakal 
dilarang.
Orang, wayang itu menceritakan banyak tuhan, jadi musrik banget.

Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                     
 Refleksi: Apakah Ki Djoko tidak akan dikatakan mau memurtadkan  anak-anak?
  
  
 http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=405
  
 Minggu, 24 Juni 2007
 
Ki  Djoko Sutedjo 
Mengajak  Anak Cinta Wayang 

Oleh : ow  Kecintaannya pada wayang membuatnya bertindak. Ki  Djoko Sutedjo tak 
ingin anak-anak bangsa melupakan peninggalan budaya ini. Maka,  kemampuannya 
melukis ia pakai untuk mengenalkan wayang kepada  anak-anak.
 Ruang berukuran 2,5x4 meter ia manfaatkan sebagai  sanggar. Tentu tak bisa 
menampung banyak anak asuh. "Awalnya, memang hanya  beberapa anak, namun kini 
peminatnya terus bertambah," ujar Ki Djoko saat  ditemui Republika di 
sanggarnya, di Jl Arteri Soekarno-Hatta 156,  Palebon, Semarang, Selasa (12/6).
 Sejak mendirikan Sanggar Seni Lukis Wayang Paku  Budaya pada 4 Desember 2005, 
ia telah mengajarkan melukis 100 tokoh wayang, dari  400 tokoh yang ada. Anak 
asuhnya dari usia prasekolah hingga usia kelas enam SD.  Sembari mengajar 
melukis ataupun mewarnai, ia mengenalkan sosok wayang itu.  
 Para anak asuh ini, sampai saat ini tak ia pungut  biaya. Bahkan, ia merasa 
perlu menyediakan berbagai kebutuhan mereka selama di  sanggar, seperti makanan 
ringan kesukaan anak-anak. Termasuk pula peralatan  melukis dan mewarnai. 
"Sehingga, di sanggar mereka bisa mendapatkan apa yang  diinginkannya," kata Ki 
Djoko.
 Menurut Ki Djoko, selama setahun bergelut dengan  wayang di sanggar membuat 
anak-anak asuhnya bisa mencintai wayang. Mereka  mengenal karakter tokoh wayang 
yang mereka gambar dari mulut Ki Djoko. "Secara  tidak langsung mereka akan 
memahami nilai-nilai kehidupan yang bisa  diterapkannya dalam berperilaku 
sehari-hari. Baik di lingkungan keluarga maupun  di sekolah," kata Ki Djoko.
 Ki Djoko mengharapkan anak-anak asuhnya meneladani  sosok-sosok baik dari 
dunia perwayangan itu. "Saya mengajarkan kepada mereka  tentang sikap-sikap 
ksatria para Pandawa Lima, dan sikap pengabdian, kepatuhan,  serta lucunya 
tokoh-tokoh Punakawan," ujar Ki Djoko. 
 Sekarang, anak-anak asuhnya bisa mengerti mengapa  tokoh-tokoh wayang tersebut 
bisa digambarkan dengan warna wondo (wajah)  yang berbeda. Misalnya, Bima 
dengan wajah warna hitam, berarti sudah tua.  Sebaliknya, Arjuna yang diwarnai 
putih, menunjukkan ia masih  muda.
 Agar anak-anak ini menikmati kegiatan melukis  wayang, Ki Djoko menerapkan 
konsep bimbingan kepada mereka. Dengan cara ini, ia  mengajak anak-anak 
bermain-main dengan wayang. Untuk pewarnaan tokoh wayang, ia  tetap mengajarkan 
sesuai pakem. Namun, untuk pewarnaan latar belakang dan gambar  pendukung, ia 
membebaskan anak-anak berimajinasi dengan  warna.
 Buku panduan
Ki Djoko mulai melukis wayang sejak  usia 10 tahun di kampung halamannya, di 
Klego, Boyolali, Jawa Tengah. "Dulu  waktu mewarnai wayang saya menggunakan 
kunyit untuk warna kuning dan merah,  arang untuk warna hitam, daun pepaya 
untuk warna hijau, dan temu ireng untuk  warna ungu," ujar pelukis yang 
memamerkan karyanya pertama kali di Balai Rakyat  Pasar Minggu, Jakarta 
Selatan, ini.
 Di masa kecilnya, untuk tertarik wayang Ki Djoko  merasa tak mengalami 
kesulitan, karena saat itu belum ada hal-hal yang  menandingi wayang. Sekarang? 
Banyak sosok pahlawan imajinatif dari Amerika dan  Jepang yang membanjiri dunia 
anak-anak. 
 ''Anak- anak ini juga butuh pengenalan tentang  wayang yang merupakan produk 
budaya asli kita,'' ujar Ki Djoko. Untuk membumikan  wayang di era modern ini, 
menurutnya, perlu upaya yang disesuaikan dengan  kondisi zaman. Pengenalan 
lewat kegiatan melukis, adalah salah satu upaya yang  disesuaikan dengan 
kondisi zaman itu.
 Ki Djoko menegaskan upaya dia seorang diri tak akan  berpangaruh banyak untuk 
memperbanyak jumlah anak yang mencintai wayang. Ia  menyatakan butuh kepedulian 
masyarakat luas.
 Ia beruntung. Kegiatannya ini mendapat respons dari  berbagai pihak. Di 
antaranya, ada Pemerintah Kota Semarang, IKIP PGRI Semarang,  dan Persatuan 
Pedalagangan Indonesai (Pepadi) Jawa Tengah, yang ikut membantu  sanggarnya. Ia 
pun perlu menyisihkan hasil penjualan lukisannya untuk menghidupi  sanggarnya 
ini.
 Respons dari orang tua pun juga menggembirakan.  Banyak orang tua yang 
menginginkan anaknya diajari melukis wayang. Mereka tak  hanya dari Kota 
Semarang, melainkan juga dari Kabupaten Semarang, Kendal, Demak,  dan Kota 
Salatiga.
 Maka, Ki Djoko kini tengah memikirkan upaya  memperbesar sanggarnya. Kalau 
memungkinkan, ia malah berhasrat membuka sanggar  cabang di berbagai kota. 
"Saya berharap ini bisa direspons oleh pihak-pihak yang  peduli pada 
pelestarian seni wayang," ujar dia.
 Sebelum obsesinya ini terlaksana, ia telah  merangsang para orang tua lewat 
penerbitan buku panduan mewarnai wayang yang ia  tulis. Teknik mewarnai dan 
memadukan warna pun ia ajarkan, agar anak-anak  memiliki dasar-dasar mewarnai. 
Ia pun memandu salah satu acara melukis dan  mewarnai wayang di sebuah stasiun 
televisi lokal di  Semarang.
 Kini, hampir seluruh waktu hidupnya tercurah untuk  berkreasi dengan objek 
wayang. Mulai melukis hingga membimbing anak-anak di  sanggar. Ki Djoko mengaku 
telah malang-melintang dengan karyanya.  Pameran-pameran lukisannya dibuka 
mulai dari camat hingga presiden. Ia pernah  pula diundang presiden ke Istana 
Negara, di masa Presiden Soeharto. "Kini  saatnya saya menyelamatkan generasi 
baru kita dari ketidaktahuan terhadap  budayanya sendiri," ujar Ki Djoko.
o  


  

 
     
                       

       
---------------------------------
Shape Yahoo! in your own image.  Join our Network Research Panel today!

Kirim email ke