Bisnis Indonesia Jumat, 22/06/2007 13:56 WIB Belitan Dana Pemilu
oleh : Christovita Wiloto CEO Wiloto Corp. Asia Pacific www.wiloto.com http://christovita-wiloto.blogspot.com/ Pemilu 2009 tak lama lagi. Hal tersebut sangatlah strategis bagi bangsa dan negara kita. Bagi beberapa orang yang berminat mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wapres, saat ini merupakan hari-hari yang sibuk. Ada yang menggiatkan acara tebar pesona, atau kampanye terselubung dengan melakukan kegiatan yang menarik simpati publik. Tapi ada pula yang sudah berfikir bagaimana caranya mencari dana pemilu. Maklum, pencalonan seseorang menjadi presiden membutuhkan biaya yang tak kecil. Caranya, bisa macam-macam, mulai dari mendekati beberapa BUMN, atau perusahaan swasta, yang potensial dijadikan 'sumber uang', hingga mengutak-atik dana nonbujeter departemen. Misalnya aliran yang salah dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Uang yang seharusnya hak para nelayan miskin itu ternyata mengalir deras ke banyak pihak. Mulai para politisi di Senayan, hingga tim sukses para capres/cawapres peserta Pemilu 2004. Menurut kesaksian Kepala Bagian Umum Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Didi Sadili, di persidangan, hampir semua pasangan capres/cawapres (setidaknya tim suksesnya) menerima dana nonbujeter DKP. Nilainya bervariasi. Mulai dari Rp 50 juta sampai setengah milyar rupiah. Amien Rais, misalnya disebut menerima Rp 400 juta (Tapi dia mengaku hanya menerima separuhnya). Mega Center, sedikitnya Rp 280 juta. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, Rp 220 juta. Yang paling banyak adalah pasangan SBY-JK beserta tim suksesnya. Senilai hampir Rp 500 juta. Memang dana-dana itu tak diserahkan secara langsung ke pasangan capres/cawapres. Melalui pihak ketiga, baik melalui pribadi, lembaga pendukung, maupun tim suksesnya. Tak heran kalau hampir semua pasangan capres/cawapres itu akhirnya membantah kesaksian Didi Sadili. Membelit Jumlah uang yang terungkap di atas masih terbilang amat kecil. Bandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan cagub/cawagub dalam Pilkada DKI. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia, Syaiful Mujani, biaya pencalonan gubernur tak kurang dari Rp 50 milyar. ''Yang termahal adalah biaya kampanye dan setoran ke partai politik.'' Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, pernah dimintai uang sebesar Rp 400 miliar oleh sebuah partai besar. Tim Faisal Basri sempat menyetor Rp 50 juta ke sebuah partai. ''Itu tarif resmi minimal untuk calon gubernur yang ingin masuk bursa,'' kata Saepul Tavip, koordinator tim sukses Faisal Basri. Dan yang dihabiskan untuk bertarung menjadi orang nomor satu di DKI Jaya rumorsnya bisa mencapai angka Rp 500 milyar! Weleh, weleh. Namun, calon gubernur Adang Daradjatun, mengaku tak memberi mahar apa pun, walau ia didukung PKS. ''Kami hanya mempunyai kesamaan visi,'' katanya. Namun santer beredar rumors bahwa setoran Adang ke PKS setidaknya mencapai angka Rp 50 milyar. Belum lagi Fauzi Bowo yang didukung 20 partai yang tergabung dalam Aliansi Jakarta. Fauzi Bowo dan Dadang setali tiga uang, sama saja. Mereka sejak jauh-jauh hari sudah mencuri start kampanye dengan memasang spanduk-spanduk besar di sejumlah titik penting di Jakarta. Juga gencar memasang iklan dirinya di sejumlah koran, spot iklan di berbagai televisi lokal maupun nasional. Hitung saja jumlah iklan-iklan tersebut dan kalikan dengan harga satuan iklan, maka kita akan menemukan angka yang luar biasa besarnya! Mari kita berandai-andai. Andai saja dibutuhkan dana Rp 500 milyar untuk partai-partai, kemudian ditambah setidaknya Rp 500 milyar lagi untuk berbagai event kampanye, iklan-iklan di koran, radio, televisi, spanduk dan lain-lain. Maka dengan mudah kita mendapatkan angka 1 triliun rupiah untuk membiayai kampanye dan proses pencalonan. Nah, andai saja modal 1 triliun rupiah tersebut harus kembali dalam 5 tahun masa jabatan. Andai kita hitung kira-kira 1 triliun rupiah dibagi 5 tahun masa jabatan, kemudian dibagi 365 hari dalam setahun, maka pasangan tersebut harus mampu mendapatkan setidaknya Rp 547.000.000,- perhari agar bisa balik modal. Jumlah lebih dari setengah milliar rupiah perhari ini, tentu akan membuat pasangan terpilih manapun setiap hari harus bekerja keras agar bisa balik modal. Kita bisa bayangkan apakah usaha mereka itu tidak akan mengganggu kesibukan mereka sehari-hari dalam bekerja keras mensejahterakan rakyat? Apakah usaha tersebut tidak akan membuat potensi korupsi makin terbuka lebar? Apakah dengan investasi sebesar itu, para sponsor tidak akan mengharapkan return on investment yang lebih besar? Dengan situasi seperti ini kita dapat memahami, kalau setiap pemimpin yang terpilih dari produk "logic of the game" yang seperti ini. Baik itu di tingkat presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, sampai dengan yang terendah. Akan terbelit dana pemilu dan akan sangat kesulitan untuk bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Dan nampak lebih pro kepada donatur atau sponsor dibanding pada rakyat. Akibatnya, pelan tapi pasti, hancurlah sistem demokrasi di Indonesia. Dengan logika politik seperti itu, tak heran kalau Indonesia kini minim negarawan. Yang muncul tak lebih dari 'pedagang' dengan sekian investor politik di belakangnya. Adalah hal yang sangat strategis dan kritis bagi kita bangsa Indonesia, untuk berpikir ulang tentang "logic of the game" ini.