Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 28 Juni 2007

TIONGKOK YANG KUKENAL (4)
<Suatu Tuturan dan Refleksi>

Tuturan santai ini, adalah kelanjutan dari serentetan tulisanku
berjudul 'TIONGOK YANG KUKENAL'. Ia dimaksukan sebagai suatu
pembeberan dan refleksi kesan-kesan mengenai Tiongkok. Begitu banyak
komentar dan tulisan; begitu berragam buku, film dan hasil karya seni,
 mengenai satu negeri itu: -- Tiongkok. Kalau kita baca  bahan-bahan
yang banyak ditulis orang tentang Tiongkok dan bangsa Tionghoa yang
berdiam di Republik Rakyat Tiongkok daratan, --- sungguh menakjubkan.
Karena,  begitu beraneka ragam dan bervariasi posisi dan titik tolak
serta pendapat orang mengenai negeri dan bangsa berkebudayaan kuno
itu. Begitu memancing orang untuk berargumentasi. 

Sebagai contoh: Tentang nama saja, apakah negeri itu tepatnya disebut
Tiongkok atau Cina, ---  atau lebih baik dinamakan China (mengikuti
orang Inggris), mengenai itu saja sudah ada perbedaan pendapat. Begitu
juga mengenai nama apa yang  semestinya digunakan untuk menyebut
bangsa itu, apakah bangsa Tionghoa,  bangsa Chinese atau bangsa Cina? 

Penyebutan nama menjadi ramai dibicarakan lagi, terutama sesudah
jatuhnya Presiden Suharto. Asal-muasal timbulnya soal,  dimulai pada 
mula kekuatan militer di bawah Jendral Suharto menggeser Presiden
Sukarno, mengambil oper kekuasaan atas Republik Indonesia, dan
mendirikan Orde Baru. Orang tidak akan melupakan suasana tegang dan
mengenaskan, menyinggung rasa harga diri dan perasaan, ketika
pemerintah Orba melarang penggunaan bahasa Tionghoa, tidak membolehkan
nama-nama Tionghoa digunakan untuk toko-toko, jalan-jalan dan apa
saja. Suratkabar dan penerbitan lainnya dalam bahasa Tionghoa ditutup.
Juga sekolah-sekolah Tionghoa dihentikan.  Bahkan nama orangpun dengan
satu atau lain cara diusahakan oleh penguasa supaya diubah, dari nama
Tionghoa, menjadi nama  'a s l i'  Indonesia. 

Apapun alasan atau dalih yang dikemukakan untuk membenarkan politik
Orba demikian itu, inti sari kebijaksanaan Orba itu adalah  d i s k r
i m i n a s i   dan   r a s i s m e   yang ditujukan terhadap
warganegara Indonesia turunan etnis Tionghoa. Dengan sendirinya muncul
pula dampak negatifnya terhadap hubungan kenegaraan kedua negeri

*    *    *

Tidak sedikit tulisan dan pendapat  yang diajukan mengenai Tiongkok
dan bangsa Tionghoa (khususnya) yang di daratan, -----  bertolak dari
 suatu sikap  yang  merasa 'takut'  terhadap Tiongkok. Sebab, 
fihak-fihak yang dulu menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi 
Tiongkok,  menyaksikan bagaimana Tiongkok yang sekarang ini, bukan 
lagi 'the sick man of Asia'. Bukan lagi Tiongkok 'tempo doeloe', 
tetapi Tiongkok Baru yang lain samasekali.  Tiongkok yang sekarang
ini,  sejak 1 Oktober 1949,  sudah  menjadi suatu kekuatan politik,
ekonomi dan militer di Asia yang selalu harus diperhitungkan. Terutama
oleh Amerika,  Jepang dan Eropah, yang begitu lama mendominasi Asia
sebelum Perang Dunia II. 

Mencerminkan kekhawairan yang begitu mendalam,  sehingga ada yang
menamakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai 'the new superpower',
 'negara adikuasa yang baru'.  Makanya, kata mereka, Tiongkok  harus
'diwaspadai'. Kekhawatiran dan ketakutan tsb terutama disebabkan oleh
berdirinya suatu Tiongkok yang kuat yang berani melawan setiap usaha
untuk mendominasinya. Bertambah besar kekhawatiran itu, dalam
tahun-tahun belakangn ini disebabkan oleh cepat lajunya pertumbuhan
ekonomi Tiongkok, yang luar biasa sejak Deng Xiaobing memegang tampuk
pimpinan pemerintah dan negara. Dengan  bertambah kuatnya ekonomi
Tiongkok, juga kekuatan militernya ditakuti. Ketakutan dan 
kekhawatiran itu, bila ditelurusuri ke belakang,  hal itu tak lepas
dari konsep dan strategi 'politik perang dingin'. Dikatakan juga 
kekhawatiran itu disebabkan oleh semangat 'politik perang dingin'
dalam kondisi dan situasi baru.

Politik 'perang dingin'  di Asia, sejak semula, terutama ditujukan
terhadap Republik Rakyat Tiongkok.  Mengapa RRT dijadikan sasaran
utama strategi 'perang dingin'  fihak Barat,  di Asia,  --  sebab
utamanya ialah, karena Tiongkok ada dibawah kekuasaan Partai  Komunis.
Sebagai negeri yang dipimpin oleh Partai Komunis, diperhitungkan pasti
ada dalam satu blok dengan Uni Sovyet. Menurut Barat Blok Sovyet dalam
persaingannya dengan blok Barat punya ambisi untuk menghancurkan Barat
dengan sistim ekonomi kapitalisnya, kemudian menguasai  dan
mengkomuniskan seluruh dunia. 

Perkembangan kemudian ternyata menunjukkan bahwa,  perhitungan Barat
itu meleset samasekali. Ternyata RRT adalah suatu negara, suatu
kekuatan di Asia yang tidak tunduk pada siapapun. Tidak (lagi) tunduk
pada Barat atau pada Jepang  seperti pada periode sebelum Perang Dunia
II. Dikatakan bahwa di dalam blok Sovyet dimana RRT tergabung, 
pemimpinnya adalah Uni Sovyet. Nyatanya  RRT tidak tunduk pada Uni
Sovyet. Tiongkok bukan saja  bertolak-belakang dengan Uni Sovyet, 
tapi, bahkan sampai  terlibat dalam konflik bersenjata dengan Uni
Sovyet. Yang dikenal sebagai perang perbatasan antara RRT dan Uni
Sovyet(1969).

Ditelaah secara seksama, konflik-konflik militer,  yang terjadi antara
RRT dengan tetangga-tetangganya, seperti dengan India (1962), kemudian
dengan Sovyet(1969) lalu dengan Vietnam Utara (1979), --- semua itu
adalah konflik-konflik militer atau perang yang menyangkut masalah
perbatasan. Semua itu adalah perang perbatasan.  Daerah atau wilayah
tertentu yang dikuasai oleh Tentara RRT ketika perang perbatasan
dengan India, dengan Sovyet maupun dengan Vietam Utara,  --- itu semua
menyangkut masalah perbatasan. Perang dimana terlibat RRT itu semua
bukan perang agresi untuk menguasai negeri lain. Makanya, melalui
perundingan damai, bisa dicapai penyelesaian, meskipun belum
sepenuhnya tuntas. 

Bisalah disimpulkan bahwa konflik-konflik militer itu, semua
menyangkut masalah yang merupakan problim sisa-sisa zaman ketika
imperialisme menguasai Tiongkok dan Asia. Ketika wilayah Tiongkok
dikacau dan dibagi-bagi, perbatasan serta daerah pengaruh ditentukn
seenaknya oleh imperialisme. Sedangkan bagian-bagian tertentu dari
wilayah Tiongkok menjadi daerah konsesi negeri asing tsb, atau bahkan
menjadi koloni seperti Manchuria (dikuasai Jepang), Hongkong (jadi
koloni Inggris) dan Macau (jadi koloni Portugis).  

Bahkan 'Perang Korea' (1950-1953), yang mulanya terjadi antara Korea
Selatan versus Korea Utara,  kemudian berkembang menjadi suatu
peperangan terutama  antara Tiongkok-Korea Utara dengan bantuan
Sovyet,  melawan AS-Korea Selatan dan sekutu-sekutu Barat. Dalam 
Perang Korea, RRT menurunkan 'Tentara Sukarelawan'-nya, sesungguhnya
adalah untuk MENJAMIN KEAMANAN PERBATASAN  di sepanjang
TIONGKOK-KOREA. Bisa diasumsikan bahwa bagi Tiongkok, Perang Korea 
samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan usaha untuk mencaplok
wilayah negeri lain, apalagi sebagai usaha untuk 'menyebarkan faham
Komunisme'.

*    *    *

Politik  Barat terhadap Tiongkok itu dikenal populer sebagai 'China
containment policy', 'politik mengekang Tiongkok'. Dari perumusan itu,
orang didorong untuk menyimpulkan bahwa Tiongkok itu adalah suatu
kekuatan yang agresif. Padahal sejak seratus tahun ke belakang,
Tiongkok  selalu didominasi dan dieksploitasi oleh imperialisme Barat
dan Jepang. Pernah pula Tiongkok di intervensi oleh  belasan tentara
intervensionis asing, dengan tujuan untuk membagi-bagi serta 
mendominasi dan mengeksploitasi Tiongkok. Tokh gampang-gampangan saja
sementara fihak menuduh Tiongkok itu sejak  dulu agresif dan berambisi
untuk menguasai negeri lain. 

*   *   *

Ketika dilangsungkan Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah di Bandung
(1955), Perdana Menteri Zhou En-lai, dengan jelas sekali mengutarakan
politik luarnegeri Tiongkok. Politik luarnegeri Tiongkok, bertolak
dari prinsip-prinsip yang kemudian dirumuskan oleh Presiden Sukarno
(Indonesia), PM Nehru (India), PM U Nu (Birma), John Kotelawala
(Ceylon) dan PM Ali Khan (Pakistan), bersama dengan 24 negeri-negeri
Asia dan Afrika lainnya, dalam PRINSIP-PRINSIP BANDUNG,  10 Prinsip
Hidup Berdampingan antara negeri-negeri yang merdeka dan berdaulat.

Dokumen  bersejarah Konferensi Asia-Afrika Bandung mencatat, kata-kata
PM Zhou Enlai dalam Konferensi, a.l., sbb: Delegasi Tiongkok datang ke
Konferensi Bandung dengan kehendak kuat untuk perdamaian dan
persahabatan. Disebabkan oleh serangan-serangan yang dilontarkan oleh
sementara delegasi, dimana hadir Delegasi Tiongkok, yang ditujukan
terhadap komunisme sebagai 'diktatorial'dan 'neo-kolonialisme', bahkan
mencurigai Tiongkok melakukan kegiatan subversi terhadap negeri-negeri
tetangganya, PM Zhou Enlai menyatakan dengan tegas, bahwa:

Delegasi Tiongkok datang kemari (Bandung) untuk mencari persatuan dan
bukan untuk bersengketa, untuk mencari landasan bersama dan bukan
untuk menciptakan perbedaan-perbedaan. Di antara negeri-negeri Asia
dan Afrika dan rakyat-rakyatnya terdapat landasan bersama yang
didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar negeri-negeri dan
rakyat-rakyt Asia dan Afrika, menderita dan masih menderita dari
bencana kolonialisme. Tak peduli apakah dipimpin oleh kaum komunis
ataupun nasionalis negeri-negeri ini mencapai kemerdekaannya dari
kolonialisme.

PM Zhou: -- Kita harus mencari dan mencapai saling pengertian dan
saling menghormati satu sama lain, bersimpati dengan dan mendukung
satu sama lainnya dan bahwa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara
Damai dapat sepenuhnya menjadi dasar bagi kita semua untuk mencapai
hubungan persahabatan, kerjaasma dan bertangga-baik.

Politik luarnegeri RRT terhadap negeri-negeri tetangga Asia-Afrika
yang mengutamakan persamaan besar dan menyisihkan perbedaan, sesuai
dengan politik luarnegeri RI ketika itu, maka bersama telah
menyelamatkan Konferensi Bandung dari terseret pada kontroversi
mengenai  komunisme dan diktatur serta tuduhan-tuduhan subversi.

*   *   

Telah ditelusuri politik luarnegeri Tiongkok terhadap negeri-negeri
lain, khsususnya terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Telah kita kenal
politik luarnegeri Republik Indonesia sejak proklamasi kemerderkaan
Indonesia. Telah kita saksikan pula kerjasama yang baik antara
Delegasi Indonesia dan Delegasi RRT dalam Konferensi Asia-Afrika di
Bandung (1955).

Dari situ bisa dikonstatasi bahwa politik luarnegeri Republik
Indonesia di bawah Presiden Sukarno terhadp RRT, adalah politik
luarnegeri yang brinsip dan konsisten, didasarkan atas prinsip-prinsip
bebas mandiri dan bertetangga baik, atas dasar solidaritas A-A dalam
perjuangan melawan kolonailisme dan mempertahankan kemerdekaan dan
perdamaian dunia. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dirumuskan bersama
oleh semua peserta Konferensi Asia-Arika (1955), dalam Prinsip-Prinsip
Bandung.

Dengan demikian, perkembangan hubungan RI-RRT tahun-tahun belakangan
ini, terutama pada periode pasca Suharto, perlu disambut baik. Karena
hal itu memperbesar dan memperluas bidang-bidang kerjasama antara 
kedua negeri. Suatu perkembangan yang mempererat tali persahabatan,
memajukan  hubungan ekonomi dan kebudayaan. Suatu politik yang punya
latar belakang sejarah yang cukup lama, yaitu sejak berdirinya RI dan
RRT. Suatu politik yang tidak terprovokasi oleh kecohan-kecohan
sementara fihak yang ditujukan untuk merusak hubungan baik dan
bersahabat antara Indonesia dan Tiongkok. *    *    *








 





Kirim email ke