Udah, biarin aja semua orang berlomba bikin partai,wong sekarang emang 
euforianya lagi mengarah kesana. Mau disebut partai atas dasar agama, mau 
partai nasionalis, mau partai sakit hati, or mau disebut partai wong cilik, 
terserah.Lumayan, bs ngasih rejeki ma tukang sablon n sawerannya jg tambah 
banyak, Lagian, bukannya Indonesia terdiri atas banyak ras, suku, dan agama. 
  Ntar kalo partainya ga dpt suara meraka cuma gigit jari koq. 
  Jangan cuma wacana perampingan jumlah partai, karena yang lebih penting 
meningkatkan kesadaran politik warga negara spy bs memilih partai yang concern 
dgn kebutuhan dan hak riil masyarakat. yang ptg klo pas kampanye "peace man". 
Beda partai OKE-OKE aj. Kalo ga ada, ya udah, golput aja.  
  Jangan salahin orang Golput ya, wong klo milih partai A or B juga ga akan ada 
perubahan.
   
  

Azwar Zulkarnaen <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
            http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=5850&c_id=21&g_id=361
   
  www.berpolitik.com
   
  (berpolitik.com): Seperti paduan suara, Sejumlah politisi maupun pengamat 
politik mendendangkan lagu yang sama. Negeri ini, kata mereka, kini membutuhkan 
pemerintahan yang kuat. 
Menurut para pendukung gagasan ini, instabilitas pemerintahan disebabkan 
banyaknya partai politik. Banyaknya parpol mengakibatkan proporsi suara di 
parlemen relatif tersebar. Karena tak ada yang mayoritas, pemerintahan yang 
terpilih terpaksa membentuk kabinet pelangi yang beranggotakan banyak partai 
yang celakanya berbeda kepentingan dan ideologi.

Belum terlalu jelas, mengapa kemudian solusi yang ditawarkan adalah pemangkasan 
jumlah partai. Yang pasti, ini diyakini sebagai langkah awal terbentuknya 
pemerintahan yang disokong partai yang memperoleh suara mayoritas (50%+1) di 
parlemen. Sekurang-kurangnya, cukup 2 partai saja yang berkoalisi untuk 
memenuhi itu. Denga mengenggam suara sebesar itu, pemerintah diyakini bakal 
lebih mudah mengatasi hadangan parlemen.

Dari ET hingga Syarat Administratif
Cara memangkas yang ditawarkan memang bukan model fusi ala orde baru yang penuh 
manipulasi dan pemaksaan. Mereka mengusulkan cara demokratis: mengutak-atik 
desain pemilu. Yang kerap disuarakan adalah meninggikan angka ambang batas 
mengikuti pemilu (electoral threshold). Wacana yang telah beredar ET untuk 2009 
sebaiknya sebesar 5%. Meski begitu PAN pernah melansir angka yang cukup 
fantastis: 10%. 

Untuk menggenapi ET, mengemuka sejumlah usulan yang sifatnya administratif. 
Partai-partai besar umumnya mewacanakan perlunya larangan bagi pengurus parpol 
yang tak lolos ET untuk memimpin partai baru. Ini dimaksudkan untuk menangkal 
kecenderungan sejumlah partai berganti nama belaka agar bisa ikut pemilu lagi. 

Ferry Mursyidan Baldan (PG) bahkan pernah mewacanakan perlunya "umur minimal" 
sebuah partai untuk bisa ikut pemilu. Ia menyebut angka 5 tahun sebagai 
persyaratan untuk bisa ikut pemilu. "Biar tak ada dalih belum cukup waktu 
mempersiapkan diri,"katanya. Ini merujuk pada argumentasi partai-partai gurem 
yang menganggap kekalahan mereka sebagai akibatnya minimnya persiapan. Maklum, 
kebanyakan dari mereka memang dibentuk paling lama 1-2 tahun menjelang pemilu. 

Sebelumnya, sempat mengemuka usulan untuk menyerahkan deposit sekian milyar 
yang akan hilang jika partai tersebut gagal memenuhi ketentuan administrasi 
yang ditetapkan. Dalam konteks ini, kecenderungannya, persyaratan sebuah parpol 
mengikuti pemilu akan semakin diperketat. 

Ini terlihat dari semakin tingginya usulan jumlah kepengurusan yang harus 
dipenuhi. Yang mengemuka adalah usulan bahwa partai peserta pemilu harus 
memiliki kepengurusan di seluruh propinsi dan di tiap propinsi harus memiliki 
sekurang-kurangnya pengurus di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota yang ada di 
propinsi itu. Ini maksudnya agar sebuah partai mempunyai cakupan nasional.

Dari Dapil, PT hingga BPP
Yang lebih "samar-samar" adalah memainkan besaran daerah pemilihan. Jika daerah 
pemilihan diperbanyak dua kali lipat saja (dari 69 dapil menjadi 138 dapil) 
maka partai-partai kelas menengah seperti PAN bakal berkurang perolehan 
kursinya hampir 50%. Menggenapi itu, metode perhitungan bilangan pembagi 
pemilih (BPP) juga diusulkan diubah. 

Saat ini, perhitungan BPP yang diterapkan di Indonesia mengikuti cara 
perhitungan varian Hamilton/Hare/Niemeyer yang cenderung menguntungkan parpol 
kecil. Menurut Pipit Kartawijaya, di negeri yang butuh pemerintahan stabil dan 
pro pembentukan koalisi yang ramping, biasanya cara perhitungan divisor gaya 
d?Hondt yang dipergunakan. 

Usulan lainnya adalah juga menerapkan parliamentary threshold. Berbeda dengan 
ET yang dimengerti sebagai persyaratan untuk mengikuti pemilu berikutnya, PT 
merupakan ambang batas bagi partai peserta pemilu untuk dapat mengkonversi 
suaranya menjadi kursi. Politisi dari Golkar (Andi Mattalata) dan Pramono Anung 
sudah melansir usulan ini. Dari kalangan pengamat politik, tercatat Hadar N 
Gumay yang juga setuju pemberlakuan PT ketimbang ET. Andi mengusulkan angka 1% 
jumlah kursi, sedangkan Anung dan Hadar memajukan angka 3% kursi.

Pertimbangannya, dengan jumlah itu sebuah partai sudah bisa menempatkan 
anggotanya di setiap badan kelengkapan di DPR. Partai yang gagal lolos PT 
dihadapkan pada dua pilihan: membubarkan diri atau bergabung dengan partai yang 
lolos PT. Dengan PT, maka jumlah partai yang ada di parlemen bisa dikurangi 
secara drastis. 

Jika mengacu pada hasil pemilu 2004, maka hanya ada 7 partai yang bakal 
bertengger di DPR tidak lagi 10 parpol seperti saat ini. Namun, jumlah parpol 
diperkirakan bakal lebih sedikit lagi jika dikampanyekan dari awal. Maksudnya, 
pemilih diedukasi ikhwal adanya konsekuensi tersisihnya partai yang tak bisa 
memenuhi PT. 

Jika pemilih memperoleh informasi tersebut, diyakini bakal terjadi peralihan 
suara. Peralihan itu salah satunya didorong oleh motif pemilih yang tak mau 
suara yang diberikannya menjadi sia-sia. Jadi, jika pemilih beranggapan sebuah 
partai tak bakal lolos PT ia secara sadar akan mengalihkan suaranya ke partai 
yang diperkirakan bisa lolos PT. Ini semacam efek tarikan ke atas: pemilih akan 
terdorong memberikan suara ke partai-partai besar. 

Meski begitu, ada juga usulan soal harga kursi. Selama dua pemilu terakhir, 
harga kursi di luar jawa jauh lebih murah ketimbang di pulau Jawa. Harga kursi 
ini tercermin dari besaran BPP. Di Pulau Jawa, kecuali Banten I (187.803), 34 
dapil lainnya rata-rata di atas 200 ribuan suara. Tertinggi di Jawa Barat IX 
(259.685). Bandingkan dengan dapil di luar Jawa yang rata-rata di bawah 200 
ribu-an. Hanya 7 dapil dari 34 dapil di luar Jawa yang BPP-nya di atas 200 
ribu. Jika Sumatera dikeluarkan dari daftar, maka hanya dua dapil yang BPP-nya 
diatas 200 ribu, NTB (201.052) dan Sulawesi Utara (200.323). Usulan menyamakan 
harga kursi ini, antara lain, dikumandangkan oleh Pramono Anung, Sekjen PDIP. 

Selain mengutak-atik desain pemilu, pemerintahan yang kuat juga diperkirakan 
bisa terpenuhi jika waktu penyelenggaraan pemilu diubah. Saefullah Ma 'shum 
(PKB) memajukan usulan agar penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden 
diselenggarakan dalam waktu yang berbarengan. Dengan cara ini, kata dia, besar 
kemungkinan presiden terpilih juga akan berasal dari parpol pemenang pemilu.. 
Belakangan M. Qodari dari Indobarometer mengusulkan mendahulukan 
penyelenggaraan pilpres. Usulan ini juga sudah pernah dikumandangkan Megawati 
pada awal tahun ini (baca:Pilpres Mendahului Pileg, Siapa yang Buntung?). 

Apa Keterwakilan Bukan Lagi Soal?
Meski tak terkatakan, ada kecederungan sistem proporsional yang selama ini 
dipergunakan telah dipandang tak lagi mumpuni. Tapi, untuk mengubahnya secara 
terang-benderang jelas bukan soal gampang. Karena itulah, para politisi 
memainkan cara yang lebih halus: mengutak-atik desain pemilunya. Sebuah sistem 
proporsional yang diikuti dengan daerah pemilihan yang banyak dan BPP yang 
tinggi sejatinya adalah sistem pemilu yang mempergunakan formula mayoritarian 
(di sini lebih dikenal dengan istilah sistem distrik) dan bukannya lagi sistem 
pemilu yang menggunakan formula proposional. 

Sistem proposional diadopsi salah satunya dengan pertimbangkan memberikan 
kesempatan yang luas bagi berbagai kelompok-kelompok sosial untuk terlibat 
dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Sistem ini biasanya diterapkan 
di negara-negara yang masyarakatnya mengalami pembelahan sosial yang dalam atau 
baru saja bertransisi dari sistem otoritarian.

Soalnya kemudian, apakah benar masalah keterwakilan kelompok-kelompok sosial 
politik sudah bukan lagi jadi soal di negeri yang heterogen ini? Apakah benar 
masyarakat kita hanya terbelah berdasarkan garis Islam dan nasionalis belaka 
dan lantaran partai-partai besar semakin merapat ke tengah (mengadopsi Islam 
dalam kasus PDIP atau mengakomodir non-Islam dalam kasus PKB) maka pembelahan 
sosial sudah terjembatani?

Jika menyimak artikulasi yang berkembang di Maluku dan Papua, nyatanya 
pembelahan masyarakat di Indonesia tak bisa sekadar dipilah berdasarkan Islam 
(yang dibagi pula menjadi kekuatan modernis vs tradisional) versus nasionalis 
atau juga kekuatan konservatif versus kekuatan reformis. Meski masih laten, 
sebagian kalangan juga merasa berbeda dari segi ras.

Menurut para pendukung RMS, mereka merasa berbeda dengan warga Indonesia 
lainnya. Pasalnya, menurut mereka, mayoritas penduduk Indonesia merupakan 
keturunan ras Mongloid, sedangkan mereka merasa dirinya keturunan ras 
Melanesia. Tak benar jika kemudian soal yang diributkan adalah berapa banyak 
penduduk Maluku yang mengidentifikasi dirinya seperti itu.

Diimbuhi aneka soal dari mulai warisan ketimpangan pembangunan, pertikaian 
antara elit politik lokal, pengedepanan isu-isu berbasis Agama (Islam - 
Kristen) dan ketidakpuasan terhadap proses politik yang dinilai semakin 
menjauhkan keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan kebijakan 
publik, bukan tak mungkin identitas ini menguat dan selanjutnya berkembang 
menjadi identitas komunitas yang termanifes. 

Dan, karena gejolak dari di Papua dan Maluku juga selalu dikaitkan dengan 
proses pengintegrasian bangsa ini selama masa revolusi fisik, para politisi 
sudah waktunya untuk tak hanya mengkhawatirkan Papua dan Maluku saja. Beberapa 
wilayah yang dulunya menjadi negara semasa Republik Islam Serikat, seperti Jawa 
Barat dan Kalimantan, umpamanhya, juga perlu mendapat perhatian. 

Intinya, sepanjang ketimpangan pembangunan terus berlanjut dan sepanjang 
masyarakat semakin terjauhnya dalam proses pengambilan keputusan politik, 
benih-benih identitas itu bukan tak mungkin dibangkitkan kembali."Separatisme 
umumnya selalu lahir sebagai akibat pemerintahan dan sistem politik yang 
sentralistik," ujar Arie Sudjito, pengamat politik dari UGM.

Jadi?
  

         

                
---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

Kirim email ke