Situasi di Pulau Nunukan Kalimantan Timur semakin
mencekam, menyusul terjadinya aksi sweeping dari
kelompok etnis Dayak ke sejumlah rumah penduduk dari
warga Suku Bugis.

Aksi sweeping mulai dilakukan Minggu sore (8/7) di
depan Hotel New Sultan Jalan TVRI Nunukan. Dikabarkan
sebuah bangunan kantor milik seorang pengusaha yang
memang berasal dari Suku Bugis dirusak. 
        Aksi itu juga meluas ke pedagang-pedagang kaki lima,
hingga membuat seluruh toko di Nunukan tutup. Sebuah
pasar malam juga diobrak-abrik, sehingga membuat
suasana semakin panik.
        ”Sekarang jalan-jalan di Pulau Nunukan lenggang,
tidak ada yang berani keluar rumah,” lapor Vincentius,
salah seorang tokoh asal NTT di sana. Polisi setempat
telah menyatakan Siaga 1.
        Ketegangan ini sebenarnya sudah terjadi sejak pekan
lalu. Bahkan polisi telah menambah kekuatan keamanan
dari Brimob, dan TNI juga didatangkan dari Bataliyon
611 Tarakan. Hanya saja tidak ada media massa yang
memberitakan, sebab dikuatirkan akan semakin memicu
ketegangan.
Ketegangan itu bermula dari persoalan proyek senilai
35 Miliar rupiah di Kecamatan Sembakung dan Lumbis
Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur. Pemicunya adalah
perkataan sesumbar Sulaiman, seorang oknum masyarakat
Nunukan dari Suku Bugis yang menentang dan menghina
Paridil Murad, sesepuh dan tokoh adat besar sebuah
organisasi bernama “Penduduk Asli Suku Kalimantan”
(Pusaka). Penghinaan itu memancing kemarahan komunitas
suku tersebut.
Kabar pertikaian tersebut menjalar cepat ke telinga
anggota Pusaka, hingga ke seluruh Pulau Kalimantan.
Akibatnya puluhan orang Suku Dayak dan Tidung asal
Kabupaten Malinau yang bertetangga dengan Kabupaten
Nunukan, ngeluruk ke daerah itu. Mereka meminta  oknum
masyarakat yang “sok jago” tersebut mempertanggung
jawabkan ungkapan yang membuat suku asli Kalimantan
merasa terhina.
Jajaran Polres Nunukan pun bergerak cepat dengan
mengamankan Sulaiman, oknum masyarakat yang
disebut-sebut pertama kali memancing indikasi
pertikaian berbau etnis tersebut. Pertemuan Sulaiman
dan puluhan massa Pusaka pun segera digelar
difasilitasi pihak kepolisian Nunukan. Hasilnya
Sulaiman tidak ditahan, namun suku Dayak dan Tidung
yang mendominasi komunitas Pusaka, mengharuskan
membayar denda adat seratus ekor kerbau atau sekitar
kurang lebih Rp.450 juta kepada Pusaka.
Sejumlah masyarakat Dayak yang dihubungi mengaku tidak
bisa berbuat apa-apa terkait persoalan denda, sebab
merupakan persoalan adat. Hal tersebut misalnya diakui
oleh Hendry Abung, seorang anggota DPRD Nunukan yang
juga adalah warga Suku Asli Kalimantan. “Kami tidak
bisa berbuat apa-apa dengan keputusan adat ini, sebab
sudah menjadi urusan tokoh adat pusaka,” kata Hendry
Abung yang di hubungi via telepon.
Namun rupanya denda tersebut tidak disanggupi oleh
Sulaiman, sehingga persoalan menjadi rumit, karena
menyangkut persoalan adat yang harus dipenuhi. Kondisi
pun semakin terasa tegang dan alot, hinggá ahirnya
persoalan ditengahi oleh Kerukunan Keluarga Sulawesi
Selatan (KKSS) yang dipimpin oleh H Nurdin Efendy. 
KKSS kemudian memanggil Tokoh Adat suku Tidung dan
Dayak untuk melakukan pertemuan di rumah Wakil Bupati
Nunukan, Kasmir Foret, untuk mencari solusi sekaligus
meredam amarah komunitas Pusaka. Hasilnya ditemukan
sebuah jalan keluar untuk menekan terjadinya aksi
lanjut yang berindikasi menimbulkan ketegangan baru. 
Bagaimana bentuk solusi yang dicapai dalam pertemuan
Tokoh Adat yang difasilitasi KKSS di rumah Kasmir
Foret? Nampaknya dirahasiakan, agar tidak timbul
informasi bias yang baru, dengan catatan Bupati
Nunukan, H Abdul Hafid Achmad yang berada di Palembang
menghadiri acara Penas XII KTNA dimohon segera kembali
ke Nunukan untuk menyelesaikan persoalan warganya.
Bupati Hafid, sendiri berjanji akan pulang secepatnya
ke Nunukan untuk menyelesaikan persoalan itu.
Ilham Zain, salah seorang Ketua Adat Mandar Kabupaten
Nunukan yang mengikuti pertemuan yang digelar KKSS di
rumah Wabup Kasmir mengungkapkan, asal warga tenang
dan tidak mengembangkan isu baru, ketegangan antara
oknum masyarakat dengan komunitas Pusaka bisa diatasi.
“Insya Allah tidak ada apa-apa, asal kita semua bisa
menahan diri dan tidak asal bicara, karena yang rugi
semua orang di kabupaten ini,” ujar Ilham.
Bagaimana kronoligis kejadian persoalan tersebut
hingga menimbulkan isu Sara? Ketua Suku Adat Mandar,
Ilham Zain menceritakan, bahwa ketegangan itu terjadi
bermula saat kontraktor asal Tarakan dan Samarinda
hendak memasukkan berkas lelang di Kantor PU
(Pekerjaan Umum) Nunukan. Saat itu, absen peserta
lelang tidak ada di kantor PU, padahal lelang belum
ditutup. 
Kontraktor asal Tarakan dan Samarinda ini pun tidak
bisa memasukkan berkas ke panitia lelang sebab tidak
terdaftar diabsensi pelelangan. Saat mereka menanyakan
absen tersebut kepada panitia, juga panitia
disebut-sebut  tidak tahu kemana absen tersebut. Dua
kontraktor ini pun curiga telah terjadi permainan
tidak sehat antara oknum panitia dan oknum pihak
tertentu yang merasa sok berkuasa di bidang
kontraktor. 
Anehnya ternyata keputusan pemenang lelang sudah
ditetapkan PU, padahal masih banyak peserta lelang
yang belum memasukkan berkas penawaran, karena
mengangap penutupan pemasukan berkas belum
dilaksanakan.
Entah kenapa kondisi itupun dilaporkan dua kontraktor
tadi kepada Paridil Murad, yang kemudian datang ke
Kantor PU pada pagi harinya, untuk menanyakan
persoalan absen tadi. Saat Paridil menanyakan soal
absen tersebut, ditempat itu hadir pula Sulaiman yang
mendengar Paridil memprotes persoalan absen yang
diduga disembunyikan itu. 
Perang urat saraf antarkeduanya pun terjadi. Namun
Paridil merasa heran kapasitas apa Sulaiman
marah-marah dan menyerang dengan kata-kata kasar
terdahad dia. Bahkan waktu itu Sulaiman ngotot memaki
dan menantang Paridil turun dari lantai dua Kantor PU
untuk menyelesaikan masalah secara jantan. Namun
kejadian itu dilerai oleh Ilham Damang dan sejumlah
warga yang berada di tempat tersebut.
Sebenarnya persoalan sudah bisa didinginkan, Namun
karena Sulaiman terus memaki dengan kata-kata tidak
pantas kepada Paridil dan menyebut-nyebut suku,
membuat masalah jadi panjang sebab anggota Pusaka
merasa tidak terima salah seorang tokoh mereka
diperlakukan seperti itu, sehingga kemudian melaporkan
perihal tersebut kepada komunitas mereka. 
Dampaknya informasi tentang pelecehan SARA  itu terus
berkembang dan buntutnya sampai kepada datangnya warga
Dayak dan Tidung asal Malinau ke Nunukan, untuk
mencari dan meminta pertanggung jawaban Sulaiman. 
Persoalan menjadi tegang sebab Sulaiman ini
dikait-kaitkan dengan sebuah kekuatan Ormas di Nunukan
yang pengurusnya memiliki pangkat seorang “Panglima”.
Ormas itu sendiri disebut-sebut memiliki kekuatan
massa yang rill di Nunukan sehingga masyarakat Nunukan
sangat khawatir akan terjadi benturan komunitas Ormas
terebut dengan komunitas Pusaka.
Apalagi beberapa hari sebelumnya, Panglima Kumbang,
Udin Baloh asal Sampit, Kalimantan Selatan sempat
berkunjung ke Nunukan dan mempermasalahkan adanya
Panglima lain selain Panglima Pusaka di daerah
tersebut. Alasannya sebab untuk menyandang jabatan
Panglima itu tidak sembarangan orang karena harus
melalui ritual khusus, dan sang Panglima yang diangkat
memiliki jasa yang membanggakan masyarakat Kalimantan.
Ternyata Pusaka tidak rela ada panglima lain selain
panglima Pusaka, karena hal tersebut dianggap sebagai
sebuah strata adat yang dilecehkan oleh organisasi
lain.       
Mengapa Udin Baloh yang berasal dari Kalimantan Tengah
yang digelar Panglima Kumbang oleh suku asli
Kalimantan, memprotes adanya panglima lain dari Ormas?
Ternyata ada cerita kelam dan mengerikan dibalik nama
sebuah Panglima yang terjadi di Sampit antara Madura
dan Dayak. Ternyata konflik SARA di Sampit yang
menelan korban sadis beberapa tahun silam di Kalteng,
pemicunya juga diduga berawal dari adanya pengangkatan
panglima oleh suku Madura di daerah tersebut. 
Sepak terjang Panglima Madura waktu itu dinilai
sewenang-wenang dan penuh arogansi, karena merasa
menyandang sebuah status sosial yang disegani.
Akibatnya posisi warga Kalimantan Tengah, khususnya
suku Dayak waktu itu merasa diremehkan oleh komunitas
Madura, yang berakibat pada pecahnya konflik yang
mengerikan. “Inilah yang dikawatirkan oleh Pusaka,
akan embrio timbulnya gejala-gajala konflik akibat
arogansi dari ormas, seperti yang ada di Nunukan,”
ujar sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Ketegangan yang terjadi di Nunukan ini selain
mengkuatirkan masyarakat Nunukan, juga cukup membuat
ketar-ketir dan mengganggu konsentrasi peserta Penas
XII Palembang termasuk Bupati Nunukan, H Abdul Hafid
dan sejumlah Kadis yang ikut dalam rombongan Penas XII
Palembang. Pasalnya, isu ketegangan yang disebarkan
melalui telepon dan SMS dari Nunukan cukup santer.
“Kami kuatir terjadi konflik besar di Nunukan jika
tidak disikapi secara bijak. Ini perlu perhatian
ekstra ketat dan hati-hati karena menyangkut ras,”
ujar Ketua KTNA Nunukan, Ahmad Amir. (kiriman m sakir
dan charles siahaan)



      
____________________________________________________________________________________
Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles. Visit the 
Yahoo! Auto Green Center.
http://autos.yahoo.com/green_center/ 

Kirim email ke