Jika merunut ke belakang, alasan PTN menyelenggarakan program ekstensi ialah agar pengajar tidak berkeliaran di luaran. Di masa lalu dosen PTN, karena pendapatan yang rendah menjadi pengajar di PTS-PTS. Bahkan ada pula yang bekerja jadi sales, jual-beli mobil dan lain-lain. Harap dimaklumi, dosen hanya perlu mengajar 18 jam seminggu. Sisa waktu digunakan (mestinya) untuk baca-baca dan meneliti.
Setelah reformasi, PTN boleh menyelenggarakan pendidikan ekstensi. Program ini diminati, sebab kualitas pengajar pasti baik. Namun karena ekstensi merupakan program untuk meningkatkan penerimaan PTN, dan juga untuk memperbaiki penerimaan dosen-dosen maka standar penerimaan mahasiswa memang diturunkan persayaratannya. Sekarang, Dikti melarang program ekstensi. Nanti dosen-dosen akan kembali berkeliaran di PTS, sebab jelas akan kekurangan job. Di PTS dosen-dosen PTN tidak punya hak dalam governancenya. Jadi tidak bisa meminta perbaikan. Di ekstensi, mereka berhak bicara. Mestinya waktu yang lowong sekitar 40 - 18 jam seminggu digunakan oleh Dosen untuk meneliti dan membaca. Tetapi bagaimana bisa membaca dan meneliti jika uang rumah-tangga kembang-kempis? Bagi yang doktor sudah ada sejumlah job, tetapi dosen bukan doktor semua. Pekerjaan dosen tergolong terhormat. Di masa lalu pekerjaan ini dianggap high thinking low living. Mikirin negara tetapi hidup melarat. Alangkah baiknya ditemukan cara terbaik untuk meningkatkan mutu Program Ekstensi. Janganlah Dikti dan pejabat-pejabatnya bertolak dari satu masalah saja. Bahkan, coba dipikirkan bahwa punishment itu juga mengorbankan puluhan ribu lulusan ekstensi, yang akan merasa diri mereka lulusan dari program yang salah. Anak-anak mereka akan malu, sebab orang-tuanya lulusan PTN ekstensi. Lebih jauh, era pelarangan-pelarangan akan rawan korupsi. Jadi, baiknya diperlukan analisis yang komprehensif atas dampak dari peraturan Dikti ini. Evaluasi atas suatu kebijakan adalah hal yang biasa. --- Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > REFLEKSI: Biasanya Perguruan Tinggi disingkatkan > PT. PT juga mempunyai arti lain, yaitu Persoran > Terbatas. Dalam politik pendidikan negara Indonesia > kedua pengertian menjadi satu, tetapi didominasikan > oleh fasafah Perseoran Terbatas. Falsafahnya yaitu > mengeruk laba sebesar mungkin [dalam bentuk uang > atau fulus] yang diperoleh dari pengolahan obyek > yaitu murid/mahasiswa. Apakah mahasiswa memperoleh > ilmu pengetahuan bermutu yang sewajarnya menjadi hal > tidak begitu penting, ini penyakit yang sulit > disembuhkan selama kaum lintah darah mendominasi > dan memegang kemudi bahtera negara. > > SUARA MERDEKA > Senin, 09 Juli 2007 > > Meretas Kualitas Perguruan Tinggi > Oleh Thoifuri > SURAT edaran Dirjen Dikti No 595/D5.1/T/T/2007 > tentang Larangn Kelas Jauh atau ekstension merupakan > langkah maju dalam sistem pendidikan nasional. Surat > tersebut mulai berlaku 27 Februari 2007. > > Jika dihitung dalam hitungan bulan. sudah berlaku > empat bulan. Namun demikian, masih banyak perguruan > tinggi (PT) yang tidak mengindahkannya. Karena itu, > ada sebagian orang yang berani menuntut secara hukum > para oknum yang masih membuka kelas jauh tersebut. > > Ada argumentasi menarik, mengapa kelas jauh menjadi > program alternatif bagi PT "nakal"? Yaitu, karena > asumsi yang dikembangkan adalah biarlah PT bersemi > sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Membatasi > PT, berarti membunuh minat bangsa Indonesia yang > sudah mulai muncul kesadaran pendidikannya. > > Mengapa harus dibatasi/dilarang, toh pemerintah pun > tidak atau belum mampu menyiapkan PT yang > reperesentatif. Di samping itu, toh nanti masyarakat > sendiri yang akan menilai kualitas para out put dari > PT masing-masing. > > Sementara itu, PT yang tidak mau membuka kelas jauh > beralasan; pertama kelas itu hanya berorientasi > sertifikat dan profit uang. Kedua, tidak berpikir > kualitas. Ketiga, kuliah dengan tempat seadanya, > seperti di rumah dan di SD/MI, SMP/MTs, SMA/Aliyah. > Keempat, tidak ada perpustakaan. Kelima, berani > meluluskan S1 dalam waktu satu/dua tahun. Keenam, > dosen seadanya, tidak memenuhi kualifikasi. Ketujuh, > mencetak sarjana pengangguran, kebanggaan karena > titel. Kedelapan, mengesampingkan unsur Tridharma > Perguruan Tinggi, terutama berupa penelitian, karena > banyak mahasiswanya yang enggan mengadakan > penelitian. > > Tatanan Baru > > Surat Edaran Dirjen Dikti tersebut, kiranya perlu > mendapat respons dari kalangan civitas academica, > mengingat kualitas sumber daya manusia (SDM) > Indonesia semakin menurun bila dibandingkan dengan > negara tetangga. > > Fakta dalam data Human Development Index Report > (1999) menunjukkan, peringkat kualitas pendidikan > Indonesia adalah 105, sedangkan Singapura 22, Brunai > Darussalam 25, Malaysia 56, Thailand 67, dan > Filipina 77. Sekarang peringkat SDM Indonesia berada > dalam urutan 112 dari 127 negara (Pikiran Rakyat, 26 > Juli, 2006: 12). > > Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU > Sisdiknas) 20/2003 Pasal 20 Ayat 2 menyatakan, PT > berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, > penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pasal > itu bermakna bahwa pendidikan yang dimaksud adalah > pembelajaran yang berkualitas (reguler). Penelitian, > berarti mahasiswa mampu membuat makalah dengan baik > dan benar, baik penelitian literatur maupun > lapangan. Pengabdian masyarakat, diwujudkan dalam > bentuk mengaplikasikan ilmunya kepada masyarakat. > > Bila kelas jauh itu terus berjalan, bagaimana > mungkin pendidikan (sarjana) Indonesia mampu > bersaing dengan sarjana-sarjana luar negeri? > > Terlebih sekarang telah memasuki millenium > development goals (MDG), yaitu suatu era pasar bebas > yang menuntut adanya kompetisi profesional bagi yang > akan mengisi peluang kerja. Era tersebut sebagai > rentetan dinamika peradaban manusia dari pramodern, > modern, hingga posmodern. > > Indonesia semula mencanangkan MDG pada 2020, namun > diajukan pada 2015 setelah melihat kuatnya keinginan > negara-negara dunia ketiga (sedang berkembang) lain > untuk mencapainya lebih cepat, mungkin 2010. > > Berkait dengan pasar bebas, PT hendaknya melihat > kemauan pendidikan berwawasan global, yakni model > pendidikan yang didasarkan kepada pluralitas agama, > etnis, ras, budaya, bahasa, politis, sosial, > ekonomi, hukum, dan lainnya. > > Pasal 19 Ayat 2 UU 20/2003 menyatakan, PT > diselenggarakan dengan sistem terbuka. Itu bukan > berarti setiap orang atau PT berpegang kepada > otonomi pendidikan bebas sehingga bisa > menyelenggarakan pendidikan jarak jauh > > Perilaku PT semacam itu perlu diluruskan, jika ingin > membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM. > Sebab, bagaimanapun PT menjadi human invest jangka > panjang pembangunan nasional mendatang. > > Perguruan tinggi negeri atau swasta yang berpegang > kepada otonomi kampus, telah melakukan kelas jauh, > baik dalam radius dekat maupun jauh, seperti PT di > Jakarta membuka kelas jauh di Jawa Tengah dan PT di > Semarang membuka kelas jauh di Demak. > > Menjamurnya kelas jauh, menunjukkan motivasi bangsa > Indonesia akan signifikansinya pendidikan dalam > menunjang kehidupan masa depan yang lebih baik dan > membutuhkan persyaratan kompetensi serta profesional > dengan bukti ijazah. Namun mereka (mahasiswa) lupa, > bahwa kelas jauh laiknya sapi perah (harus berani > membayar SPP tinggi apabila ingin cepat lulus). > > Pola pikir mahasiswa seperti itu hanya akan > melahirkan manusia yang pandai menggonggong jika > mendapat sertifikat ijazah D2 atau S1. Padahal > semestinya, yang terpenting adalah substansi > keilmuan yang harus dimiliki.(68) > > - Thoifuri MAg, dosen STAIN Kudus dan mahasiswa > Pascasarjana (S3) IAIN Walisongo Semarang. > ____________________________________________________________________________________ Looking for a deal? Find great prices on flights and hotels with Yahoo! FareChase. http://farechase.yahoo.com/