Refleksi: Barangkali untuk dipahami  masalahnya perlu ditekankan bahwa dalam 
dunia ini tidak ada orang waras yang mau memisahkan dirinya dari sesuatu yang 
baik dan berguna bagi dirinya, tetapi karena hal-hal buruk yang ditimpakan atau 
yang menimpa pada dirinya. 

Sebagai contoh dapat diberitakan bahwa penduduk Papua Barat kurang lebih 2 juta 
orang. Pajak perusahaan untuk tahun 2004 yang diterima pemerintah Indonesia 
dari PT Freeport adalah US$ 297 [Sinar Harapan 16/2/2005]. Sesuai Jakarta Post 
3/3/2005 diberitakan bahwa pihak keamanan [TNI] menerima untuk tahun 2001 US 
4,7 juta dan untuk 2002 US$ 5,7 juta. Ini hanya sebagian kecil angka-angka yang 
bocor untuk umum. 

Bagaimana kehidupan rakyat Papua?  80% dari rakyat Papua hidup dalam kemiskinan 
[Kompas 22/3/2005]. Mayoritas anak-anak  dibawah umur 10  di Papua menderita 
Hipatit A [Sinar Harapan, 02/3/2005.  Belum lagi dibicarakan kerusakan alam 
dengan dicemarkan Sungai Ajkwa, Aghawagon dan Otomona. Apakah rakyat Papua yang 
tanahnya kaya raya dengan berbagai kekayaan alam hanya mempunyai harga mati 
untuk hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai hak dan inspirasi untuk 
mencari dan menentukan jalannya sendiri?

  
KOMPAS
 Jumat, 13 Juli 2007 

NKRI, Harga Mati 


Aloys Budi Purnomo 

Pemerintah harus tegas, jangan sampai Partai GAM menjadi embrio gerakan 
separatis. Itulah pernyataan Gubernur Lemhannas Muladi tentang munculnya Partai 
GAM di Nanggroe Aceh Darussalam (Suara Pembaruan, 10 Juli 2007). 

Pernyataan itu lahir sebagai kekhawatiran atas wacana referendum di Aceh untuk 
memerdekakan diri dari NKRI yang bakal diajukan Partai GAM dalam parlemen 
lokal. Wacana itu masih bersifat spekulatif, lahir dari kajian Lemhannas 
terkait dengan keinginan GAM untuk memerdekakan diri lewat referendum setelah 
menguasai parlemen. 

Menurut Muladi, pendirian Partai GAM menyalahi Undang-Undang Nmoro 11 Tahun 
2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait partai lokal dan Nota Kesepahaman 
Helsinki. Karena itu, Partai GAM harus dihentikan secara yuridis sehingga tidak 
bisa ikut pemilu (Kompas, 11/7). 

Bahaya laten 

Harus tetap disadari, bahaya laten separatisme dan disintegrasi selalu 
menghantui keutuhan republik ini. Baru-baru ini kita dikejutkan bangkitnya roh 
kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon, Maluku. 

Puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Lapangan Merdeka, 
Ambon, beberapa waktu lalu, tiba-tiba diwarnai insiden oleh sekelompok 
pendukung RMS. Insiden itu membuat panik panitia penyelenggara dan aparat 
keamanan. 

GAM di Aceh, RMS di Maluku, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua ialah 
percik-percik api separatisme dan disintegrasi yang de facto menjadi bahaya 
laten, yang rupanya akan terus muncul dan menjadi tantangan bagi keutuhan NKRI. 

Kecuali berbagai kelompok separatis disintegratif yang bersifat teritorial, 
republik ini juga masih harus berhadapan dengan kelompok-kelompok serupa yang 
lebih bersifat ideologis. Yang terakhir justru kerap lebih sulit dikendalikan 
sebab bergerak dalam tataran regulatif yuridis yang kerap dengan mudah menyusup 
ke sistem perundangan kita. 

Akibatnya, produk hukum dan undang-undang yang harus berlaku guna mengatur 
kehidupan bersama yang menyejahterakan bangsa terjebak ke dalam kepentingan 
politik dan ideologis sektarian sesaat. Ujung-ujungnya, gerakan itu memasung 
kemerdekaan kelompok minoritas dalam level apa pun, sosial, keagamaan, dan 
kebudayaan. 

Dalam arti tertentu, gerakan separatis disintegratif yang kedua ini lebih 
berbahaya dibandingkan dengan yang pertama. Gerakan pertama bisa dengan mudah- 
meski tidak pernah menyelesaikan masalah-dihentikan dengan aksi penumpasan dan 
pendekatan militeristik, dengan bermacam bentuk korban dan ketidakadilan yang 
menyertainya. 

Rekonsientisasi nasionalisme 

Sebenarnya, bahaya-bahaya laten gerakan separatis disintegratif itu selalu 
nyata di hamparan nusantara ini, entah yang bersifat teritorial maupun 
ideologis. Untuk itulah, perlu terus dikumandangkan perlunya membangun 
kesadaran kembali wawasan kebangsaan. Itulah yang disebut rekonsientisasi 
nasionalisme. 

Benar, NKRI merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar demi menjaga keutuhan 
republik dari maksud jahat sekelompok oknum yang hendak mencabik-cabik kesatuan 
bangsa. Namun, demi harga mati sebuah NKRI, kita tidak boleh mengabaikan aspek 
kemanusiaan, termasuk di dalamnya, hak-hak paling asasi milik setiap warga. 

Oleh karena itu, dalam rangka membangkitkan rekonsientisasi nasionalisme, kita 
perlu kembali pada spirit founding mothers and fathers republik ini yang telah 
meletakkan dasar-dasar ideal konstitusional bagi kelangsungan hidup bangsa. 
Paling tidak tiga unsur perlu diperhatikan untuk rekonsientisasi nasionalisme. 

Pertama, secara konstitusional, UUD 1945 dan Pancasila harus menjadi bingkai 
dalam menangani berbagai gerakan separatis disintegratif. Dua warisan dasar 
hukum bagi republik ini tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk diimplementasikan 
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna memperkokoh semangat dan kesadaran 
wawasan kebangsaan. 

Kedua, secara kultural, rekonsientisasi nasionalisme dapat mengacu pada warisan 
luhur kesadaran bahwa bangsa ini memang beragam, tetapi tetap dalam kesatuan. 
Itulah warisan luhur nilai kebangsaan yang terungkap dalam prinsip Bhinneka 
Tunggal Ika. Kita memang beragam, tetapi tetap dalam kesatuan yang harus saling 
menghormati demi keutuhan bangsa ini. Keragaman tidak harus dihadapi dengan 
kekerasan, apalagi penumpasan! 

Ketiga, secara ekonomi-sosial, kesejahteraan dan keadilan, yang sering menjadi 
motivasi dasar munculnya gerakan separatis disintegratif itu, harus menjadi 
prioritas perjuangan para elite politik dan pemerintahan kita, mulai dari pusat 
hingga daerah. 

Perhatian dan perjuangan demi pemerataan kesejahteraan dan keadilan sebenarnya 
merupakan pilar utama untuk meresapkan kesadaran akan nasionalisme yang paling 
efektif. Namun, ini yang sering gagal dilakukan elite politik dan pemerintahan 
kita. 

Akibatnya, ketidakpuasan meluas menjadi berbagai gerakan separatis 
disintegratif. Sebelum terjadi pemerataan kesejahteraan dan keadilan seluas 
nusantara, selama itu juga bahaya-bahaya laten yang mengancam keutuhan NKRI 
akan terus merebak di republik ini. 

Tugas utama elite politik dan pemerintahan kita adalah membayar harga mati NKRI 
dengan pemekaran kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya, bukan dengan 
pendekatan kekerasan dan penumpasan yang bersifat militeristik. 

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang 
Membebaskan, Semarang 

Kirim email ke