http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=165928&c=40
RADAR BROMO Senin, 02 Juli 2007 Kampung Baru, Cerita Lain tentang Alastlogo Kami Memang Bukan Warga Alastlogo Sejumlah warga Desa Alastlogo, Lekok Pasuruan, bertahun-tahun lalu hengkang dari desanya. Mereka lantas tinggal di sebuah kawasan baru yang kini dikenal sebagai Kampung Baru. Rabu, 30 Mei 2007, pukul 10.00, Desa Alastlogo berdarah. Konflik tanah yang melibatkan warga setempat dengan TNI AL memuncak. Warga memprotes langkah TNI AL melalui PT Rajawali, membajak tanah sengketa yang di atasnya masih tertancap tanaman milik warga. Protes warga dijawab dengan berondongan peluru yang dimuntahkan dari senjata belasan oknum marinir. Lima orang tewas, beberapa lagi terluka. Warga Alastlogo pun marah. Sebagai balasannya, warga memblokir jalan vital penguhubung Pasuruan-Probolinggo. Dua hari lamanya, jalur itu lumpuh. Peristiwa hari itu juga membuat warga Kampung Baru menebah dada. Insiden berdarah itu juga menginjak-injak rasa kemanusiaan mereka. Namun, rasa sedihnya seperti berhenti di situ. Mereka merasa sudah bukan orang Alastlogo lagi. Sejarah bertahun-tahun lalu telah memisahkan warga Kampung Baru dengan Alastlogo. "Kami memang bukan warga Alastlogo (lagi)," ungkap Satiman, salah seorang warga Kampung Baru. Kampung Baru. Begitu, dusun ini disebut, berada di wilayah Kelurahan Grati Tunon, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan. Sebuah dusun dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) tak lebih dari 210. Terdiri dari tiga RT; I (80 KK), II (70 KK) dan III (60 KK). Kampung Baru hanya satu dari enam dusun yang ada di kelurahan Grati Tunon. Lima dusun lainnya adalah Grati Tunon, Kresek, Bejikrimun, Parasan dan Krikilan. Untuk mencapai dusun Kampung Baru, tidak terlampau sulit. Hanya butuh 10 menit dari jalan raya poros Pasuruan - Probolinggo. Kampung Baru berada di sebelah selatan pasar hewan Grati. Di sebelah Barat, Kampung Baru berbatasan langsung dengan wilayah Dusun Beji; Utara berbatasan dengan Dusun Grati; Timur dengan Parasan; sementara Selatan berbatasan dengan Dusun Kambingan. Sesuai namanya, dusun ini bisa dibilang baru. Terbentuk sekitar tahun 1962-1965. Sampai sekarang, umur Kampung Baru belum genap 50 tahun. Namun, kesan sebagai dusun miskin sama sekali tidak terlihat dari dusun dengan mayoritas bertani ini. Sekilas, orang pun tak akan mengira jika warga Kampung Baru ini merupakan eks warga Alastlogo. Hal itu dibenarkan oleh Senami, salah satu tokoh dusun Kampung Baru. "Oo, semua yang di sini dulunya warga Alastlogo," kata Senami yang bertahun-tahun lamanya menjabat ketua RT di Kampung Baru. Senami bercerita, mulanya hanya ada sekitar 130 kepala keluarga (KK) yang mendiami Kampung Baru. Mereka adalah kelompok eksodus dari Desa Alastlogo. Sementara sekarang, di Kampung Baru sudah ada 210 KK. Menurut Senami, kepindahan 130 KK eks Alastlogo itu tak lepas dari tuntasnya proses pembayaran lahan oleh TNI AL atas lahan mereka. Itu terjadi antara tahun 1962 - 1965 lalu. Karena itu, meski tidak diminta pindah, dengan sendirinya warga pun melakukannya. "Karena tanah kita sudah dibeli, ya kita beli tanah lain," aku Senami. Selain ke Kampung Baru, menurut Senami, ada juga beberapa warga eks Alastlogo yang membeli lahan di Dusun Kambingan dan Desa Kedawoeng. Warga yang pindah ke Kampung Baru mengaku lebih senang. Pasalnya, tanahnya jauh lebih subur dibanding Alastlogo. "Di Alastlogo, panen cuma musim hujan. Kalau di sini (Kampung Baru, Red) kan tidak," ungkap Senami. Senami mengaku, sekitar 1962-1965 itu, ia menerima uang Rp 30 ribu dari pihak TNI AL. Dengan uang sejumlah itu, Senami membeli lahan dengan ukuran 15x150 di Kampung Baru. "Tidak langsung menempati, karena memang baru berupa lahan," katanya. Sebelum jadi pemukiman, Kampung Baru hanya berupa sawah. Jangankan untuk berupa pemukiman seperti sekarang, jalan yang kini jadi poros dusun dulunya hanya berupa galengan (pematang sawah, Red). Lebarnya pun hanya sekitar 30 sentimeter. Banyaknya rumah warga yang belakangnya berupa sawah, setidaknya memperkuat pernyataan itu. Menurut Senami, lahan yang berupa area sawah itu mereka beli dari warga sekitar dengan harga bervariatif. Setahun pertama, warga masih fokus untuk beradaptasi. Bahkan, hingga beberapa tahun, pemukiman warga eks Alastlogo yang sekarang jadi Kampung Baru itu masih belum bernama. Jangankan infrastruktur, struktur kepemimpinan dusun seperti pada umunya saja juga belum terbentuk. Warga rupanya masih fokus untuk beradaptasi dengan bercocok tanam maupun beternak. Karena itu, tidak mengeherankan, hingga beberapa tahun setelah kepindahan itu, belum ada struktur dusun. Menurut Senami, struktur dusun, seperti kepala dusun (Kasun) baru dibentuk sekitar 1973. Tahun itu juga nama Kampung Baru resmi dipakai. Saat itu, Jupri sebagai kasun pertama kali. Dan, hingga saat ini, tercatat sudah empat kali Kampung Baru melakukan suksesi kasun. Senami sendiri bisa dibilang satu-satunya saksi hidup yang masih bisa menjelaskan proses kepindahan itu. Sebab, rata-rata penduduk Kampung Baru saat ini adalah turunan kedua dan ketiga dari generasi pertama. Seperti Satiman, turunan ketiga dari generasi pertama eks warga Alastlogo itu. Satiman sendiri membenarkan bahwa rata-rata penduduk Kampung Baru adalah eks warga Alastlogo. Karena itu, ia tidak tahu pasti bagaimana proses kepindahan itu. Namun, ia menolak jika lahan yang mereka tempati disediakan dari TNI AL. "Ya, beli sendiri-sendiri," katanya. Sekretaris Lurah (Seklur), Mustain Romli saat ditemui membenarkan bahwa sebagian besar penduduk Kampung Baru merupakan warg eks Alastlogo. Menurutnya, kepindahan mereka dimulai sekitar tahun 1962. "Kalau sekarang, saya kira sudah banyak pendatang baru yang bukan hanya dari Alastlogo," jelasnya. Setelah hidup bertahun-tahun di Kampung Baru, warga eks Alastlogo mengaku kehidupannya jadi lebih baik. Warga Kampung Baru hampir 80 persen penduduknya berprofesi sebagi petani. Sementara sisanya tersebar, di antaranya menjadi peternak, bahkan ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Pasuruan. Tanah di Kampung Baru memang berbeda dengan di Desa Alastlogo. Mulai dari kondisi tanah, tingkat kesuburan tanah sampai dengan airnya, jauh lebih baik ketimbang Desa Alastlogo. Di Kampung Baru, warga eks Alastlogo bertani berbagai jenis tanaman. Mulai dari padi sampai jagung. Sebelum tinggal di Kampung Baru, kebanyakan warga tersebut bekerja sebagai buruh tani. Penghasilannya pun tidak seberapa. Namun, setelah memutuskan pindah di Kampung Baru, warga sudah memiliki lahan pertanian sendiri. Bahkan salah satu warga Kampung Baru, yaitu H Nali menyatakan kondisi perekonomiannya jauh lebih baik daripada saat dirinya berada di Alastlogo. Ketika berada di Alastlogo, dia hanya bekerja sebagai buruh tani. Namun, saat pindah ke Kampung Baru dirinya memiliki tiga petak sawah yang ditanami padi. "Dulu saya hanya sebagai buruh tani. Tapi alhamdulillah sekarang saya bisa punya sawah sendiri. Saya juga bisa berangkat haji dari penghasilan sawah saya," cetus H Nali. (aad/df)