Trimakasih sdr. INU yang menemukan setitik sinar yg hampir redup di dunia pengharapan putra/putri Indonesia. Kita semua sangat membutuhkan moment-moment demikian itu. Sebagai warga Indonesia yg sdh puluhan tahun meninggalkan negara ini, memang sulit bagi saya untuk membangkitkan rasa kebanggaan saya menjadi orang Indonesia, TAPI, saya belum pernah menyangkali kewargaan saya sebagai orang Indonesia. Dimanapun saya berada dan siapapun yg menanyakan ttg identits saya, saya selalu ngaku apa adanya, orang Indonesia.
Minggu lalu saya bersama seorang Ibu dari Indonesia dan ponakan saya, kami pergi shopping. Beberapa kali para penjual menanyakan negara asal kami, si Ibu teman saya selalu cepat-cepat menjawab, Malasya. Saya sempat mendiamkan, karena Ibu itu lebih tua dari saya dan dia sebenarnya tau bahwa saya tidak menyetujui dusta, tapi ketika sang ponakan saya ikutan menyebut kami orang Malasya, saya mengambil kesempatan untuk menegur mereka. Pertama, saya menegur ponakan saya yang dengan mudah berbohong alias ikut-ikutan. Kedua, saya menantang mereka untuk berjiwa besar mengakui identitasnya sebagaimana adanya. Si Ibu teman saya, berdalih katanya: Malu, lagi repot ntar mereka pasti bilang Oh Tsunami, Oh Indonesia aman ya, kan banyak terrorist disana. Kita harus ngejelasin semua, belum lagi kita ntar disangka TKW (maaf saya bukan merendahkan status TKW, namun kenyataan WNI yang berstatus pendul adalah mayoritas tenaga domestik atau buruh dan bukan sebagai tenaga skill). Hal itupun mengingatkan saya akan peristiwa puluhan tahun lalu. Ketika sedang berlibur ke Indonesia, saya mendengar seseorang berbahasa Jerman, lalu saya tanya orang tersebut berasal dari mana. Semula dia mengaku orang Austria, sebab katanya dia malu menyandang predikat Hitler (Nazi) sebagai sebagian dari identitasnya. Kalau orang Jerman satu itu masih enggan mengaku sebagai orang Jerman, Padahal selain Nazi, Jerman begitu dikenal dengan tehnologynya yang canggih di dunia. Orang Indonesia mau bangga apanya ya? Di luar negri HAMPIR tidak pernah kita mendengar nama Indonesia disebut di Media kecuali jika hal itu berhubungan dengan berita NEGATIF. Kalaupun ada sebagian kecil orang luar tahu bahwa alam Indonesia itu indah, namun keindahan Indonesia, bisa pula berdampak sebagai cambuk yang memilukan bahkan menyat hati. Beberapa kali orang yang mendengar kita sebut, "Saya dari Indonesia" reaksi selanjutnya ialah: Lho koq mau tinggal di sini, alamnyanya kan bagus? Tentu benar alam kita sangat bagus, apakah kita sepanjang tahun berstatus Holiday sementara perut lapar alias ngak bisa mendapatkan gaji yang layak? Belum lagi sistem birokrasinya yg berbelit-belit? Barusan saya nelfon ponakan saya di Sumatra. Hari ini saya menerima berita GEMBIRA. Ponakan saya yang sudah lulus dari Sekolah Ahli Kebidanan, ternyata BERHASIL mendapatkan status PEGAWAI NEGRI berlaku mulai bulan July thn.2007. Ini benar-benar berita gembira, sebab untuk mendapatkan status itu dia TIDAK nyogok. Dia sekarang sudah berusia 33 thn. sebentar lagi akan pensiun dan mendapat tunjangan pensiun bukan? Mengapa baru setelah usia 33 thn. dapat status pegawai negri? Sebab dia telah mengabdikan dirinya selama *15 tahun*. jadi BUDAK Indonesia dalam status PTT alias Pegawai Tidak Tetap, termasuk 3 thn. Ikatan dinas, padahal selama menjalankan pendidikanpun orangtuanya terus dibebani biaya ini dan itu. Di Jerman, setiap siswa perawat, tidak bayar sama sekali sebaliknya DIBAYAR. Mereka belajar teori 3 bln. praktek 3 bulan, demikian terus diselingi sampai mereka makhir menjalankan fungsinya sebagai perawat dan melamar kerja dimana mereka mau. Saya tidak tanya berapa gaji yg akan diterima ponakan saya setelah menjadi pegawai negri tercinta kita Indonesia ini. Saya tahu hanya untuk mendapatkan status pegawai negri itu adalah suatu yg SANGAT sulit didapatkan tanpa NYOGOK di Indonesia. Bagaimana dengan status pegawai swasta? Sebenarnya tidak jauh berbeda. Suaminya yang bekerja sebagai Asisten Kebun, harus bekerja keras dan pintar nanam modal demi investasi di haritua, kalau tidak? Gaji pensiunan mana pernah mencukupi kebutuhan hidup para lansia di Indonesia? Beda sekali dengan di Eropa. Para masiswa yang tak mampu membiayai kuliahnya mereka akan diberi bantuan yang disebut BAfoeG. Uang BAfoeG ini cukup bahkan bagi yang hemat, lebih dari cukup memenuhi semua kebutuhan hidup dan kuliah si mahasiswa sampai studynya selesai. Bagi para penerima BAfoeG hanya akan dipotong 3% gaji perbulan selama 30 thn.sebagai cara pelunasan apa yg telah dia terima selama masa kuliah. Apakah arti 3% gaji? Dan bagi setiap orang yg kerja, di swasta maupun negri, jaminan masa tua sudah diatur. Kiranya uraian saya diatas dapat jadi masukan yang akan terus mendorong setiap WNI untuk memantapkan system di negara yang besar ini supaya kita kelak benar-benar dapat bangga jadi Warga Negara Indonesia. Media tidak cukup menciptakan harapan, tapi mewujudkan kebanggaan itu sendiri. Salam Roslina HKSIS wrote: > > KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007 > > 10 Tahun Reformasi > Kerinduan akan Kebanggaan Nasional > > Siapa pun yang berada di Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan, > Jakarta, Sabtu (14/7) malam, pasti bergetar saat mendengarkan lagu > kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dengan khidmat dan lantang oleh > puluhan ribu orang bersama-sama. Ini adalah kumpulan terbesar atas nama > bangsa sejak 10 tahun terakhir. > > "Belum pernah saya semerinding ini saat menyanyikan Indonesia Raya. > Jiwa saya bergejolak, ingin melompat saja rasanya," ujar Anggoro (32), > satu > dari sekitar 80.000 orang yang memenuhi Gelora Bung Karno. > > Puluhan ribu orang berkumpul, mendukung Tim Nasional Indonesia > bertarung dengan Timnas Arab Saudi dalam Piala Asia. Seperti Anggoro, > pendukung tim nasional datang dengan atribut merah putih. Mereka > menyematkan > lambang Garuda yang kembali digunakan Tim Merah Putih di dada sebelah > kanan. > Indonesia Raya dan Garuda Pancasila mengingatkan akan sejumlah > kebanggaan di > masa lalu. Kita adalah bangsa besar. > > Ada sekitar 200 pendukung Arab Saudi di tribun, berhadapan langsung > dengan tribun very very important person (VVIP), yang ditempati Presiden > Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, jumlahnya yang tak seberapa membuat > Gelora > Bung Karno didominasi merah dan putih. > > Selama 90 menit pertandingan dan dua jam sebelumnya, semangat juang > dipompakan pendukung kepada Tim Merah Putih. Semangat juang itu > ditunjukkan > dengan perjuangan tak kenal lelah mengimbangi tim Arab Saudi yang > peringkatnya memang jauh di atas. Akhirnya Indonesia kalah, tetapi dengan > "kepala tegak". > > "Ini adalah kemenangan yang tertunda. Saya melihat awal kebangkitan > dan kejayaan kembali sepak bola kita," tulis Presiden, memberikan > komentar > atas pertandingan yang disaksikannya. Rasa bangga diutarakan Presiden > kepada > pemain dan pelatih Tim Merah Putih melalui pembicaraan telepon dengan > Ketua > Umum PSSI Nurdin Halid, yang diperdengarkan untuk semua. > > Olahraga menjadi salah satu tumpuan untuk pencarian kebanggaan > nasional, setelah di bidang lain kebanggaan itu tak juga didapatkan. > > Kita pernah bangga dengan perubahan sistem politik dan rangkaian > pelaksanaannya yang berlangsung damai tahun 2004. Karena perubahan sistem > politik itu, Gelora Bung Karno juga pernah semarak. Politisi tampil > bergantian di antara ribuan pendukungnya untuk mencari suara dalam > kampanye > pemilu. > > Kini, sistem politik memang berubah. Namun, diakui atau tidak, hingga > kini tak ada karya dan capaian nyata yang pantas dibangakan karena lebih > banyak kegaduhan dengan alasan kebebasan dan politik. > > Jujur diakui, dalam 10 tahun terakhir sejak bergulirnya reformasi, tak > ada karya atau capaian yang membanggakan kita sebagai bangsa. Bandingkan > dengan karya dan capaian beberapa negara tetangga. > > Keresahan dan kerinduan akan kebanggaan nasional ini juga beberapa > kali dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan > pidato. Sudah lama kita merindukan hadirnya kebanggaan nasional. > > Politisi yang kini duduk di lembaga eksekutif, legislatif, atau mereka > yang berada di lembaga yudikatif seharusnya bisa segera memberi jawaban > karena merekalah yang paling bertanggung jawab atas langkanya kebanggaan. > Perlukah diterus-teruskan kegaduhan politik yang selama ini justru > mengemuka? (INU) > > http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=294763 > <http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=294763> > Senin, 16 Juli 2007, > Media Harus Ciptakan Harapan > > SURABAYA - Goenawan Mohamad mengkritik media yang menonjolkan > keterpurukan > Indonesia dalam beritanya. Dengan selalu berbicara keterpurukan, akhirnya > seolah-olah jadi self fulfilling prophecy alias ramalan buruk yang > dipenuhi > sendiri. Padahal, tokoh pers ini menilai, Indonesia punya prestasi > tersendiri. > > "Dengan segala kekacauannya, Indonesia punya prestasi tersendiri," kata > pendiri majalah Tempo itu di depan lebih dari 100 pemimpin media Grup > Jawa > Pos se-Indonesia di Graha Pena, Surabaya, kemarin. > > Tokoh yang akrab disebut GM itu menyebut beberapa contoh. Dia > mencontohkan, > di Indonesia orang yang berkuasa tidak bisa seenaknya. Di masa Orde Baru, > bila ada orang berkuasa membunuh orang, dia bisa bebas dari proses hukum. > > Selain itu, GM menyebut prestasi demokrasi layak dirayakan. > Kemerdekaan pers > Indonesia dikatakan yang terbaik di Asia Tenggara. Di Malaysia, koran > harus > memperbarui izin terbit setahun sekali. Singapura sama tidak bebasnya. > "Di > Filipina memang bebas, tetapi kualitas pers buruk," katanya. > > Karena itu, di tengah situasi yang memang banyak masalah, dia menegaskan > bahwa Indonesia tidak terpuruk. "Tugas media adalah menciptakan > harapan-harapan," tandas GM. > > GM juga melihat ada revolusi yang diam-diam berjalan, yang pertama dalam > sejarah Indonesia, yakni otonomi daerah. Dia pun melihatnya sebagai > harapan > besar bagi kemajuan daerah. GM juga mengapresiasi Grup Jawa Pos yang > memelopori berdirinya koran-koran daerah. "Media punya kontribusi untuk > menjaga Indonesia rukun," kata sastrawan yang dikenal lewat esai Catatan > Pinggir itu. > > Kalau ada kritik terhadap perubahan-perubahan yang kini berjalan, dia > meminta melihat Indonesia sebagai proses yang belum selesai. Yang penting > perubahannya diselesaikan dengan damai. Perubahan terhadap konstitusi > yang > damai menjadi contoh yang baik. > > Di tengah bermacam masalah di Indonesia, dia menyebut banyak orang > bertanya-tanya dari mana mengubah Indonesia. Dia mengatakan, "Ada jawaban > menarik dari Nurcholish Madjid: bisa dimulai dari mana saja."(roy) >