----- Original Message ----- 
From: Beni Bevly
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, 17 July, 2007 2:52
Subject: [snb-milis] PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA TIDAK TRICKLE DOWN EFFECT


PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA TIDAK TRICKLE DOWN EFFECT
Posted: 13 Jul 2007 12:47 PM CDT

Image source: npr.org
Oleh Beni Bevly
Pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini 
menunjukkan angka yang menjanjikan, yaitu mencapai rata di atas 6 persen. 
Secara rinci terlihat angka sebagai berikut: pertumbuhan pada 2002 berada di 
level 4%-4,5%, 2003-2004 (5%), 2005-2006 (5,5%-5,6%), 2007 (6%), dan 2008 
(6,5%-6,9%) (www.fiskal.depkeu.go.id). Pertumbuhan perekonomian yang lebih 
banyak terjadi karena dipicu oleh bidang kontruksi dan jasa ini ternyata 
sampai saat ini tidak dinikmati secara langsung oleh mayoritas masyarakat. 
Trickle down effect tidak atau belum terjadi. Kehidupan masyarakat Indonesia 
dari segi ekonomi secara umum lebih sulit dibandingkan kondisi sebelum tahun 
1998. Harga barang dan jasa semaking tidak terjangkau, sementara pendapatan 
tidak mengalami kenaikan yang berarti. Mengapa hal-hal ini terjadi? 
Bagaimana jalan keluarnya?

Untuk mengetahui mengapa hal ini terjadi, tadinya aku berpikir bahwa aku 
membutuhkan pandangan para ahli dan professor dalam bidang pembangunan yang 
bisa memberi jawaban yang memuaskan. Tetapi aku bepikir lagi, ternyata kita 
tidak membutuhkan pendapat orang seperti itu karena setiap masyarakat 
Indonesia sudah tahu permasalahannya, yaitu birokrasi yang tidak beres dan 
korupsi yang meraja rela. Walaupun demikian aku tetap tergoda untuk mengutip 
pendapat John McBeth yang menulis di web site Asia New Zealand Foundation:
  In fact, some people are now complaining that without bribery incentives 
to hurry it up, the work of the bureaucracy is more glacial than ever.
  After the progress of the last 20 years, corruption contributed 
significantly to the economic collapse of the late 1990s. It now looms as a 
major obstacle to achieving the development successes this country is 
capable of - and which the Indonesian people deserve. Corruption not only 
undermines the ability of governments to function properly, it also stifles 
private sector growth. Where corruption is rampant, contracts are 
unenforceable, competition is skewed and the cost of doing business is 
stifling. When investors see that, they take their money elsewhere. 
Indonesia ranks among the lowest in the world in the enforcement of 
contracts - 145 out of 155. In fact, investors' lack of trust in the legal 
system is one of the problems that have brought investment levels down to 
half of those in your fast-growing neighbours.
Ternyata masalahnya berbalik ke korupsi lagi. Sebelumnya aku sudah pernah 
tulis di sini dan si sini dan aku tidak pernah akan bosan menulis korupsi 
selama ia terus meraja rela. Sebelum ini, aku juga sempat memberi coment 
terhadap tulisan di Jennie for Indonesia besama dengan lebih dari 20 
pendapat pribadi lainnya mengenai korupsi. Komentarku adalah sebagai 
berikut:
  Korupsi yang paling menggangu aku:

  Aku nggak tahu persis istilahnya, sebutlah korupsi moral. Salah satu 
contohnya adalah seorang yang berwewenang mengambil keputusan untuk 
meluluskan permohonan pihak lain, sang pengambil keputusan itu memberikan 
persyaratan tambahan untuk kepuasan pribadi, misalnya pemohon harus mau 
"digauli."

  Yang paling penting untuk diperhatikan:

  Semua korupsi penting untuk ditindak. Tetapi yang paling penting saat ini 
menurutku adalah korupsi materi, yang bermuara pada uang. Aku sempat 
melakukan hitung-hitungan soal korupsi, ternyata hanya dengan 12.5% uang 
hasil korupsi, desa-desa tertinggal di Indonesia bisa dimajukan (Baca di 
sini)

  Hal yang bisa diperbaiki oleh kita semua:

  Aku setuju dengan cara Konghucu yang mengusulkan bahwa perbaikan penting 
untuk dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan di mana kita tinggal 
atau kerja dan negara. Dari diri kita, walaupun kita punya kesempatan untuk 
korupsi, jangan dilakukan. Kadang kala kita berpikir, "Ah, ini tidak masalah 
kecil. Pasti tidak merugikan orang lain, jadi lakukan aja." Bagaimanapun 
kecilnya, korupsi adalah korupsi. Jika kita terbiasa melakukan korupsi 
kecil, maka korupsi besar siap menunggu dan selalu menggoda kita.

  Di lingkungan keluarga, apalagi berperan sebagai kepala rumah tangga, maka 
kita mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan anak-anak kita kelak. Untuk 
itulah anak-anak tersebut harus diajarkan harga diri (dignity), jangan 
mengambil barang yang bukan milik kita (kecuali barang tersebut disebutkan 
secara jelas "free"  Jangan pula mengakui sesuatu yang bukan hak kita, 
termasuk hasil kerja orang lain.

  Di lingkungan tempat kita tinggal atau kerja, jadilah contoh bagi yang 
lain untuk tidak berbuat korupsi dan perlihatkanlah dalam tingkah laku bahwa 
kita tidak melakukan korupsi bukan karena kita tidak punya kesempatan, 
tetapi korupsi berlawanan dengan kepribadian dan harga diri kita. Hal lain 
yang bisa dilakukan adalah beranilah untuk menjadi "whistleblower" yaitu 
tunjukkan dan paparkan bahwa telah terjadi korupsi (kalau ada) di lingkungan 
tempat tinggal dan tempat kerja kita. Lakukan dengan hati-hati dan 
bijaksana. Jangan hal ini dilakukan karena ada dendam pribadi dengan pelaku 
korupsi, tapi lakukanlah karena hal ini bertentangan dengan prinsip hidup 
kita. Record semua bukti yang ada untuk menghindari dianggap memfitnah.

  Di tingkat yang lebih tinggi, yaitu negara, harus ada "political will" 
yang kuat dari pihak yang memiliki kekuasaan yang memaksa, seperti presiden, 
militer, jaksa agung, polisi atau "moral forces" seperti para mahasiswa dan 
NGO lainnya. SBY sudah memulai dan memperlihatkan hasil, jika hal ini 
didukung pihak-pihak lain yang berkompeten, maka prosessnya akan menjadi 
cepat dan impact-nya lebih meluas.

Sebagian dari komentarku di atas menganjurkan jalan keluar yang bisa 
ditempuh bagi pribadi kita masing-masing. Tetapi bagaimana dengan mereka 
yang sudah terlibat korupsi secara mendalam, mendarah daging dan dalam 
jumlah yang maha besar. Akankah tindakan seperti pemerintahan Cina yang 
menerapkan hukuman mati terhadap Zheng Xiaoyu, mantan direktur State Food 
and Drug Administration Cina pada hari Selasa 10 Juli 2007 bisa menjadi 
jalan keluar di Indonesia? Beranikah dan bisahkah Presiden Indonesia Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan hukuman mati seperti ini demi kemakmuran 
ratusan juta rakyat Indonesia?


--------------------------------------------------------------------------------
Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links. 
 

Kirim email ke