Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 52 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  KEMISKINAN DAN OTSUS PAPUA



                  Oleh: Yusman Conoras[1]



                  Sejak zaman Orde Baru hingga reformasi yang sekarang sudah 
berjalan delapan tahun lebih, daerah kaya sumber daya alam (SDA) tetap belum 
identik dengan daerah yang ! masyarakatnya maju. Daerah-daerah yang tergolong 
kaya, seperti! Nanggro e Aceh Darussalam (NAD), Papua, Riau, Kepulauan Riau, 
dan Kalimantan Timur, masih dihadang berbagai masalah keterbelakangan 
sosial-ekonomi dan kemandegan pembangunan lainnya. Secara makro, masalah 
tersebut terefleksi pada tingkat kemiskinan di daerah-daerah tersebut yang 
tergolong tinggi dan tingkat perputaran uang yang rendah. 
                   
                  Asumsi yang tergambarkan di atas amatlah tepat jika merujuk 
apa yang di miliki oleh Papua dengan kekayaaan sumber daya alamnya yang 
melimpah ternyata tak cukup mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakatnya. 
Sebagai contoh, kisah seorang bocah yang bernama Denias yang ingin menikmati 
pendidikan sekolah harus berjalan kaki hingga berjam-jam lamanya dengan 
melewati sungai, gunung atau beberapa mama-mama Papua yang kita jumpai 
berjualan di trotoar -trotoar sepanjang jalan raya. Mereka tidak peduli dengan 
hujan dan panas teriknya matahari. Apa yang di kisahkan di atas adalah salah 
satu contoh untuk menunjukkan bahwa kesejahtera! an ekonomi orang Papua masih 
jauh dari harapan dan kenyataan. 
                   
                  Jika di katakan bahwa salah satu faktor terjadinya proses 
kemiskinan di Papua yakni soal lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) 
orang Papua tidak sepenuhnya benar adanya karena kemiskinan juga bisa 
disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat 
kecil. Belum lagi hadirnya perusahaan multi nasional Cooperation (MNC) semisal 
Freeport dan British Proteleum (BP) di Papua seharusnya memberikan manfaat yang 
besar bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar areal perusahaan serta sekaligus 
mendatangkan devisa atau pendapatan daerah. 
                   
                  Pentingnya indikator kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan 
dalam mengukur kemajuan pembangunan, telah diakui secara luas sejak lebih dari 
tiga puluh tahun yang lalu. Di awal tahun 1970-an, lembaga internasional 
seperti International Labour Organization (ILO) dan banyak negara berkembang 
secara jelas telah mengadopsi defin! isi pembangunan yang dilontarkan ahli 
ekonomi pembangunan Dudl! ey Seers tahun 1969 yang menekankan pentingnya 
pembangunan manusia dan kesejahteraan masyarakat. Ahli ekonomi pembangunan asal 
Inggris itu mengatakan bahwa, pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila 
salah satu atau dua dari tiga kondisi, yakni kemiskinan, pengangguran dan 
ketimpangan menjadi lebih buruk, meskipun pendapatan perkapita melambung 
tinggi.[2]
                   
                  Apa yang dikemukakan oleh ekonom Inggris itu sejalan dengan 
apa yang terjadi di Papua, sebagai salah satu provinsi dengan pendapatan 
(income) ke empat tertinggi di Indonesia yakni 11 juta rupiah terutama dari 
industri yang terkait dengan sumber daya alam, namun keberhasilan ekonomi 
tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat Papua, Laporan BPS (2006) menyebutkan 
bahwa penduduk miskin di Papua sebesar 47,99%, Jadi kalau dibandingkan dengan 
jumlah penduduk Provinsi Papua yang hanya berkisar 2,4 Juta jiwa, maka bisa 
dikatakan bahwa hampir setengah dari penduduk Provinsi Papua masih dalam 
kategori miskin. Belum lagi d! engan laporan pembagunan manusia Indonesia 
(2004) yang menyebutkan bahwa provinsi papua merupakan provinsi termiskin 
tertinggi di Indoensia di mana 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari 
1 Dollar AS per hari.
                   
                  Di sisi lain kebijakan pemerintah pusat untuk mengatasi 
persoalan kesejahteraan masyarakat Papua yakni dengan mengeluarkan kebijakan 
Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diundangkan sejak tahun 2001. 
Undang-undang ini bertujuan untuk mendorong percepatan proses pembangunan 
daerah, termasuk memberi perhatian pokok pada upaya peningkatan kesejahteraan 
penduduk asli Papua ternyata belum memberikan hasil yang signifikan bagi 
kesejahteraan orang asli Papua. Pengunaan dana Otsus yang sebesar 10 triliun 
rupiah (2002-2006) lebih banyak terserap pada level birokrasi yakni sebesar 95% 
dan hanya sebesar 5% terserap untuk masyarakat kampung. Kalaupun ada perubahan 
tersebut hanya sebatas perubahan simbolik semisal DPR berubah menjadi DPRP, 
telah! terbentuk MRP. Sedangkan pada tataran masyarakat kecil, merek! a selalu 
mengungkapkan sejak Otsus ada maka yang banyak kita jumpai di Papua "bar, bir, 
bor "atau " kandang kijang dan kandang kuda"[3]
                   
                  Data yang terpaparkan di atas merupakan data yang dikeluarkan 
pada saat implementasi Otsus telah berjalan. Pertanyaannya, mengapa setelah di 
undangkannya UU Otsus Papua ternyata belum menunjukkan perubahan yang berarti 
terutama pemenuhan kesejahteraan ekonomi orang asli Papua? Jawabannya, terletak 
sejauh mana konsistensi pemerintah pusat dan daerah menjalankan secara 
sungguh-sungguh implementasi Otsus. Pemerintah pusat seharusnya melakukan 
langkah-langkah strategis semisal memberikan supervisi dan pengawasan terhadap 
institusi pelaksana Otsus (MRP, DPRP, Gubernur) terutama yang terkait dengan 
aliran dana Otsus Papua atau dana lainnya, di satu sisi institusi pelaksana 
Otsus (MRP, DPRP, Gubernur) juga selayaknya menargetkan secara jelas ke-empat 
prioritas pembangunan dalam kerangka Otsus yaitu kesehatan, ! pendidikan, 
kesehatan dan infrastruktur. 
                   
                  Sejauh ini Gubernur Bas Suebu telah melakukan beberapa 
langkah perubahan yakni: melakukan perombakan penyesuaian APBD di mana alokasi 
dana untuk Kampung tahun 2006 sebesar 100 juta rupiah/kampung. Sedangkan untuk 
tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 200 juta rupiah/kampung dengan alokasi 
anggaran APBD tahun 2007 yaitu 45% untuk program percepatan pembangunan pada 
tingkat kampung, kemudian melakukan reformasi birokrasi lokal dengan menitik 
beratkan pada tingkat kegiatan pemerintahan di tingkat Distrik. 
                   
                  Meskipun agenda perubahan perbaikan ekonomi di tingkat 
masyarakat kampung telah dilakukan oleh Gubernur Bas Suebu saat ini, namun 
perlu ada proses monitoring dana yang telah di gulirkan ke kampung-kampung, 
proses monitoring ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana tersebut sampai 
pada kelompok sasaran, kemudian seperti apa mekanisme serta penggunaan dana 
tersebut. 
                   
                  Slogan kampany! e yang di dengung-dengungkan oleh Gubernur 
Bas Suebu "Ka! ka Bas p ulang kampung" dan "pembangunan harus dimulai dari 
kampung" semoga bukan hanya isapan jempol atau retorika politik semata. Semoga 
menjadi kenyataan!
                   


                    
--------------------------------------------------------------

                  [1] Penulis merupakan aktivis Pokja Papua di Jakarta, 
sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

                  [2] Lihat Adrian Leftwich, States of Development: On the 
Primacy in Development, (Cambridge: Polity Press, 2000), hal 46.

                  [3] Ungkapan tersebut menggambarkan tingkah laku pejabat yang 
sering mengunjungi bar, mabuk dan ke tempat pelesiran serta gonta-gantinya 
mobil pejabat.




                 
                    
           
            webmaste! [EMAIL PROTECTED] sa-rakyat.org    
     




Kirim email ke