bagi umat Islam.., tempat ibadah kristen - katolik adalah tempat yang menakutkan dan mengancam keradaannya.. : TELAAH UTAMA Edisi 24 Th XIV 14 Juni 2007 28 Jumadil Awal 1428 Tutup Lembah Vatikan di Cianjur Kawasan lembah seluas 600 hektar yang terletak di kabupaten Cianjur, Jawa Barat itu mengundang kontroversi. Tapi pemerintah setempat enggan bertindak. Di sinilah para suster dan frater digodok untuk menyebarkan misi Injil ke seluruh Indonesia. Mobil BMW berwarna silver metalik terlihat berbelok perlahan di persimpangan jalan menuju Lembah Karmel, di suatu sore, Kamis dua pekan lalu. Di belakangnya, mobil-mobil mewah beraneka jenis dan merek mengekor dengan perlahan. Plat nomor polisinya, kebanyakan Jakarta dan Bandung. Hari itu, menurut informasi petugas keamanan Lembah Karmel, ada pertemuan orang-orang penting. Jumlah kendaraan yang memasuki lembah kian banyak seiring bergulirnya waktu. Lapangan parkir kawasan ziarah rohani itu pun penuh sesak. Itu baru hari Kamis. Keramaian akan mencapai puncaknya di Minggu, ketika diadakan misa bersama. Misa ini dihadiri oleh para pengunjung yang kebanyakan datang dari luar kota. Lembah Karmel adalah sebuah lokasi wisata rohani, tempat pertapaan salah satu ordo Katolik, juga tempat pembinaan para suster dan frater. Ibaratnya, Lembah Karmel adalah lembaga pendidikan Katolik terbesar di Indonesia. Lokasinya di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Terletak pada ketinggian 800-950 meter di atas permukaan laut, luas lahan Lembah Karmel hampir mencapai 600 hektar. Areal ini terdiri dari perbukitan dan hutan lindung. Tak tanggung-tanggung, kawasan Karmel ini menguasai delapan bukit, mencakup empat desa di empat kecamatan. Sejarah Lembah Karmel tidak lepas dari peran pendirinya, Romo Yohanes Indrakusuma. Perintisannya dimulai sejak tahun 1988 silam, dan digunakan sebagai tempat pertapaan dan pengasingan. Yohanes menyebut tempat menyepinya dengan sebutan Pertapaan Shanti Bhuana, letaknya sekitar 100 meter di bawah tempat yang sekarang. Pada tanggal 13 April 1996 diresmikanlah sebuah rumah retret yang diberi nama Pondok Remaja Lembah Karmel. Lembah Karmel kini dikenal sebagai tempat penyembuhan dan retret. Retret adalah suatu kegiatan undur diri dari kehidupan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, di tempat ini juga dilakukan penggodokan para suster dan frater yang kelak akan menjadi penyebar misi-misi Injil ke berbagai penjuru. Keberadaan Lembah Karmel yang semula tempat pertapaan, kemudian beralih fungsi menjadi pondok pembinaan remaja dan kini sebagai tempat kegiatan sosial keagamaan, mengundang protes sebagian pihak, terutama LSM dan ormas Islam. Mereka menuding Lembah Karmel telah melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Berbagai protes bermunculan terhadap Karmel, namun tidak mendapat tanggapan. Baik oleh Karmel sendiri ataupun aparat pemerintah setempat. Salah satu ormas Islam yang getol melakukan perlawanan adalah Gerakan Reformis Islam, disingkat GARIS. Ketua umumya, H Chep Hernawan menilai pelanggaran pidana Karmel tak terhitung banyaknya. Membangun tanpa izin, menyalahi aturan dan memporak-porandakan alam sekitarnya. "Janganlah berbicara masalah pemurtadan, pelanggaran pidana Karmel itu sudah seabrek, tapi kenapa tidak diapa-apain?" gugat Chep. Menurut Chep, Lembah Karmel telah melanggar Keppres No. 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Keppres ini memerintahkan pemerintah daerah Bopuncur untuk menjaga daerah resapan air guna mengantisipasi bencana banjir. Di kawasan Karmel kini telah berdiri sekian banyak bangunan yang mengorbankan pohon-pohon di sekitarnya. Padahal pepohonan ini berfungsi sebagai penyerap air dan penyangga hutan. Pasal 12 ayat 1 Keppres No. 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) dengan tegas menyebutkan larangan mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum seperti pos pengamatan kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk/penerangan, patok triangulasi, tugu, muara kereta kabel, tiang listrik dan menara televisi. Lembah Karmel, kata Chep, tidak hanya membangun pondok dan rumah- rumah, tapi juga gereja, kapel, wisma, restoran dan pusat pertokoan. "Apakah ini tidak melanggar aturan?" Selain Keppres, Lembah Karmel juga dianggap melanggar peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Tentang Pendirian Rumah Ibadat. Sebelumnya, peraturan ini dikenal dengan sebutan SKB 2 Menteri. "Mereka melakukan manipulasi tandatangan warga setempat. Mayoritas penduduk Desa Cikanyere adalah Muslim, tidak ada yang Kristen. Bagaimana bisa mendirikan gereja di tempat yang mayoritas Muslim?" ujar Chep, setengah bertanya. Aturan main membangun rumah ibadah tertuang dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Bersama Dua Menteri tersebut. Semua aturan ini, kata H Chep, dilanggar oleh pengelola Lembah Karmel. "Kita akan tetap berjuang melawan Karmel. Perkara hasilnya, itu urusan Allah. Kalau memang perlu perang, kita akan perangi mereka," tegasnya. Sejarah keberadaan Lembah Karmel di Cikanyere memang sarat kontroversi. Bupati Cianjur periode 2000-2005, Wasidi Swastomo, bahkan pernah memperingatkan secara tegas, karena izinnya disalahgunakan. Padahal sebelumnya, Wasidi sendiri yang memberikan `restu' pada Karmel. Bermula dari surat permohonan dengan Nomor: 0031/05/YAR/01 tanggal 31 Mei 2001 Perihal Permohonan Ijin Pengalihan Fungsi/Permohonan dan Surat Nomor: 009/09/SPK/01 tanggal 9 September 2001 Perihal Permohonan Perubahan Nama Yayasan Antonius Rahmat menjadi Serikat Putri Karmel. Intinya, kedua surat permohonan ini meminta izin perubahan nama Pondok Remaja Lembah Karmel menjadi Rumah Retret dan Tempat Penziarahan Umat Katolik. Demikian pula, luas lahan yang semula 3,6 hektar bertambah menjadi 13,8 hektar. Berdasarkan berbagai pertimbangan, Wasidi pun menyetujui permohonan tersebut, namun dengan syarat. Di antaranya, pengelola Karmel tidak boleh membangun rumah ibadah, tidak boleh membangun atribut-atribut atau simbol-simbol keagaaman atau rumah peribadatan. Nyatanya, Karmel menyalahgunakan izin tersebut. Wasidi gerah dan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) pada tanggal 1 Agustus 2005 dengan nomor: 4532/2580/Kesbang. Intinya, larangan melakukan perubahan bangunan, bentuk atau jenis dan frekuensi kegiatan dan luas areal sebagaimana telah ditetapkan pada surat persetujuan sebelumnya. Bupati Wasidi juga meminta pengelola Karmel tidak melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan masalah SARA. Tak berselang lama, Komisi I DPRD Kabupaten Cianjur pun melakukan sidak (pemeriksaan mendadak) ke Lembah Karmel. Anggota dewan ingin melihat secara langsung keberadaan dan kegiatan di pusat pendidikan keagamaan Katolik itu. Sidak ini dilakukan karena dewan mendapat laporan dari masyarakat bahwa Lembah Karmel tidak dilengkapi izin resmi. Sebelumnya, DPRD Kabupaten Cianjur telah melayangkan surat resmi kepada Karmel, namun tidak mendapat tanggapan. Warga melapor ke DPRD karena melihat Lembah Karmel membangun rumah-rumah rumbun di bagian tertinggi lembah. Rumah berukuran mungil ini digunakan untuk bertapa oleh para frater. Instansi-instansi terkait seperti Bappeda, Cipta Karya dan BPN, mengaku belum pernah mengeluarkan izin untuk pembangunan rumah rumbun tersebut. Menurut Wakil Komisi I DPRD Cianjur saat itu, Mochamad Toha, pembangunan rumah rumbun bisa saja dihentikan jika memang menyimpang dari aturan. "Kami hanya merekomendasikan, tergantung pemerintah berani atau tidak menghentikan pembangunannya," kata Toha. Kuasa Pimpinan Lembah Karmel, Suster Agatha menjelaskan, untuk perizinan pihaknya telah menempuh semua proses permohonan dan dilakukan secara bertahap. Menurut Suster Agatha, sejak dibangun sekitar tahun 1986 silam, izin dari Pemkab Cianjur keluar secara bertahap sesuai dengan bangunan yang didirikan. "Sejak kami mendapatkan izin prinsip dari pemerintah setempat sebagai lokasi wisata ziarah keagamaan, proses perizinan lain keluar secara bertahap dan tidak bersamaan langsung. Lagi pula pembangunan tempat ini pun dilakukan secara bertahap," ujar Suster Agatha sebagaimana dikutip harian Pikiran Rakyat (Sabtu, 2/4/05). Kini, tak kurang dari 150 buah rumbun bercokol di puncak Lembah Karmel. Selain sebagai tempat mencari kesembuhan dan retret, Lembah Karmel merupakan tempat penggodokan calon "pejuang" Kristenisasi. Ratusan frater dan suster kini tengah dibina di lembah yang disebut-sebut sebagai Vatikan-nya Indonesia itu. Selain gereja sebagai penunjang aktivis gerakan, Karmel juga mempunyai tempat-tempat pertapaan yang disebut rumah rumbun tadi. Di sini para frater menyendiri dan bertapa. Rumah rumbun ini berbentuk rumah panggung dengan ukuran 2 x 3 meter, dengan ketinggian 3 meter. Di kawasan rumah rumbun terdapat beberapa wisma sebagai tempat tinggal para frater. Sebuah aula yang hampir mirip bunker terdapat di depan wisma. Aula satu lantai ini dibangun ke dalam bukit, jadi yang kelihatan di permukaan tanah hanyalah atapnya yang berwarna hijau dan separuh temboknya. Patung-patung Yesus dan gambar Bunda Maria bertebaran tiap sudut ruangan. Di aula inilah para frater mendaras kajian-kajian teologi berbagai agama termasuk Islam. "Membaca al-Qur'an secara tajwid pun mereka sangat fasih," ujar salah seorang sumber Sabili yang pernah bertugas di tempat ini. Aula ini termasuk dalam wilayah terlarang yang tak sembarang orang dapat memasukinya. Sumber yang mantan karyawan dan kepercayaan Karmel ini menuturkan, Lembah Karmel merupakan tempat perkumpulan rahasia untuk merencanakan berbagai program Kristenisasi di Indonesia. "Targetnya, 75 persen penduduk Indonesia harus menjadi Kristen," ujarnya. Guna mewujukan hal itu, mereka menempuh berbagai macam cara. Di antaranya, memiskinkan warga desa sekitar, membeli tanah-tanah warga guna memperluas wilayah, mendekati tokoh-tokoh masyarakat setempat, menguasai TNI/Polri dan aparatur pemerintahan. "Itulah sebagian isi Sumpah Perjanjian Yesus yang sempat saya baca sebelum keluar dari sana. Kalau tak salah, ada sekitar 150-an butir isi perjanjian itu," tutur sumber tersebut. Selama bekerja di Karmel, sumber Sabili ini mengungkapkan, lima orang rekan kerjanya telah murtad. Kebanyakan, pekerja dari Malang yang murtad ini diiming-imingi kekayaan dan kemudahan hidup. "Mereka diberi rumah, gaji yang besar dan janji akan kemudahan masa depan," katanya. Dia memutuskan keluar dari Karmel karena tidak kuat menahan kuatnya godaan materi yang ditawarkan. Indoktrinasi romo, suster dan frater yang sangat kuat hampir-hampir membuatnya melepaskan akidah. Bahkan sebelum pengunduran dirinya disetujui, selama seminggu lebih dia `disterilisasi' terlebih dahulu. "Mungkin mereka takut saya akan membongkar kegiatan mereka," ujarnya. Tokoh masyarakat dan ulama Cianjur, Habib Yahya al-Kaff, meminta Karmel jangan sampai melakukan Kristenisasi pada warga desa sekitar. "Jangan sampai mengutak-atik umat Islam di sekitarnya. Kalau terjadi, kami tidak akan segan-segan melakukan tindakan tegas," ancamnya. Sebab, kata Yahya, mereka hidup di tengah-tengah umat Islam. Kalau mereka hidup di tengah-tengah umat Nasrani, tidak ada masalah. "Kita sudah banyak kecolongan sejak zaman LB Moerdani dulu. Karmel menjadi besar karena mendapatkan dukungan nasional bahkan internasional. Kita akan membuat gerakan besar untuk menutupnya," tandas ulama yang dikenal tegas ini. Pihak Karmel sendiri enggan buka suara. Berkali-kali Sabili mencoba konfirmasi, baik secara langsung maupun melalui sambungan telepon, namun tak mendapat tanggapan. Alasannya, tidak ada pengurus yang bisa diwawancarai. "Semuanya sedang di Jakarta. Tidak ada orang di sini," ujar Wahyu, Satpam Lembah Karmel ketika dihampiri di suatu sore, Kamis pekan lalu. Padahal, saat itu Lembah Karmel tengah dipadati para tamu dan pengunjung. Ketika ditanya siapa yang mengurusi mereka? Satpam bertubuh ceking itu menjawab, "Mereka hanya sewa tempat saja, bukan tamu. Coba Anda hubungi pengacara Lembah Karmel!" Namun ketika dimintai alamat dan nomor kontak sang pengacara, dia mengelak, "Wah sudah lama dia tidak di sini lagi. Saya tidak tahu!" Begitu pula ketika dihubungi via telepon dua hari kemudian, seorang petugas resepsionis yang enggan menyebutkan nama itu, memberikan jawaban yang sama dengan si Satpam. "Tidak ada orang. Semua sedang ke Jakarta." Kasihan, tempat semegah dan semewah itu `tidak' mempunyai pengurus atau pengelola. Bubarkan saja! Chairul Akhmad WWW.SABILI.COM tapi apakah hal yang dibawah ini tidak menakutkan? http://www.youtube.com/watch?v=y8ykREE1iFA&mode=related&search http://www.youtube.com/watch?v=2eKOB1ZPGnk&mode=related&search=
--------------------------------- Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join Yahoo!'s user panel and lay it on us.