Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 31 Juli 2007
--------------------------
<Tulisan ini dan tulisan-tulisan sebelumnya bisa dibaca di  website
http://groups.yahoo.com/group/concernedmitra
group/messages/32?viscount=-30&tidx=1>

M.H. THAMRIN, Prof BOB HERING dan KW-III
                     <Bagian-2>

Berita baik! 
Tidak lama setelah disiarkan di media ini, tulisan mengenai buku Bob
Hering tentang M.H. Thamrin (Bagian 1), malam itu juga kuterima email
dari  sahabat baikku Jusuf Isak, Pemimpin Penerbit Hasta Mitra,
Jakarta. Ia menyampaikan bahwa buku Bob Hering edisi bahasa
Indonesianya sudah  diterbitkan oleh Hasta Mitra dalam tahun 2003.
<Tebal 469 halaman, +xviii hal, romawi; ISBN 979-8659-31-0.>

Untuk pertimbangan pembaca, mengingat pentingnya hal-hal yang
dikemukakan oleh Jusuf Isak dalam kata pengantarnya terhadap buku Bob
Hering, maka tulisan Jusuf Isak tsb disiarkan lengkap sebagai lampiran. 

Kini jelas bahwa buku Bob Hering tentang MH Thamrin edisi Indonesia,
sudah terbit 4 tahun yang lalu, kalau begitu, jadinya aku yang
ketinggalan.

*   *   *

Kata pengantar Jusuf Isak (2003), sangat berguna dibaca oleh generasi
muda, termasuk para sejarawannya. 

Menjelaskan arti penting terbitnya buku tentang MH Thamrin, dewasa in,
 Jusuf Isak menulis: 
'Kita menyebutnya sebagai karya besar, karena untuk pertama kali
Thamrin dipresentasikan secara utuh dan lengkap, sehingga patut ia
menjadi bacaan rujukan, karena data yang kaya dan analisisnya sangat
berharga untuk lebih mengenal siapa dan apa sumbangan Thamrin kepada
bangsa dan tanah-air, . . .'

Selanjutnya ditekankan oleh Jusuf Isak, bahwa: 
'Menyebut dalam senafas nama Thamrin-Bung Karno mempunyai segudang
pengertian, mengandung banyak pelajaran, terutama bagi para pemuda
kita sekarang yang sibuk berpolitik radikal dengan ambisi mau
membangun Indonesia yang lebih baik. Menyebut nama Thamrin dan Bung
Karno berarti belajar dari sejarah tentang kerjasama seorang Thamrin –
politikus yang bekerja "dari dalam sistem" atau ikut dalam institusi
tatanan penguasa di Volksraad bersama tuan-tuan Belanda kolonial;
dengan seorang Soekarno, politikus revolusioner yang bekerja "di luar
sistem", di jalanan, di alun-alun, di kota dan desa-desa, di manamana
bersama rakyat. Secara populer politisi dua kubu seperti itu disebut
ko dan non-ko.'


Jusuf Isak  menekankan tentang kesinambungan perjuangan MH Thamrin dan
perjuangan Sukarno, dan ini sepenuhnya benar. Kiranya baik ditekankan
supaya dikhayati oleh generasi muda kita, seperti yang dikemukakan
Jusuf Isak dalam  penutup kata pengantarnya, sbb: 

Kita menghargai karya Bob Hering yang mengangkat Thamrin ke permukaan,
karena masih terlalu banyak generasi muda kita – termasuk kaum
intelektualnya – yang kurang mengenal Thamrin.


*    *    *

Pengantar Penerbit untuk buku  Prof. Bob Hering 
tentang M.H. Thamrin
Oleh Joesoef Isak. <2003>

Generasi muda yang sebelum pecah Perang Dunia II sudah berada di
tingkat sekolah menengah mungkin kenal nama Mohammad Husni Thamrin,
tetapi generasi muda yang lahir di jaman Orde Barunya Suharto mungkin
lebih tau nama Thamrin sebagai jalan protokol di pusat kota Jakarta
yang setiap hari pada jam-kantor macet lalu-lintasnya. Apalagi ahli
sejarah Orde Baru, Nugroho Notosusanto, menganggap
sejarah perjuangan Indonesia baru dimulai tahun 1965, saat Orde Baru
dan militerisme Suharto mulai merajalela selama tigapuluh tahun lebih.
Hasta Mitra gembira mempersembahkan pada khalayak pembaca Indonesia
sebuah karya standar oleh Prof. Bob Hering mengenai Moh. Husni
Thamrin. Kita menyebutnya sebagai karya besar, karena untuk pertama
kali Thamrin dipresentasikan secara utuh dan lengkap, sehingga patut
ia menjadi bacaan rujukan, karena data yang kaya dan analisisnya
sangat berharga untuk lebih mengenal siapa dan apa
sumbangan Thamrin kepada bangsa dan tanah-air.

Penulisnya adalah seorang Belanda, warga-negara Kanada, di masa
pensiunnya sekarang dia bermukim bersama istrinya Netty Liem di Stein,
sebuah kota kecil di Belanda selatan. Dia dengan bangga menyebut diri
sebagai "anak Indo", anak betawi kelahiran 1925 di Mèstèr, Meester
Cornelis, sekarang Jatinegara.Sebagai murid sekolah menengah KW-III
jaman kolonial di Kramat-Salemba, pada tahun 1941 dia bersama
teman-teman sekelasnya ikut menyaksikan iring-iringan panjang
pengantar jenazah M. Husni Thamrin dari rumah almarhum di Sawah Besar
ke "Kuburan Karet" Jakarta. 

Pada saat itu dia tentu tidak menyadari sama sekali, bahwa menyaksikan
peristiwa pemakaman Thamrin di tahun 1941 itu rupanya menentukan dan
mengarahkan untuk selamanya perjalanan hidupnya di kemudian hari
sebagai ilmuwan. Seluruh karya-keilmuannya sebagai ilmuwan kemudian
kita lihat terfokus pada gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia,
dan dengan sendirinya selain Soekarno, M.
Husni Thamrin menjadi salah satu figur puncak dalam pelacakan
penelitiannya mengenai gemuruh sejarah kebangkitan nasionalisme
Indonesia itu.

Karya hidup paling utama Bob Hering adalah mengenai Soekarno, biografi
B.K. dari lahir sampai ia dikhianati dan ditumbangkan oleh rejim
militer Suharto. Bung Karno adalah pemimpin Indonesia yang oleh
Pemulis di kagumi dan sangat dihormati, akan tetapi Bung Karno tidak
dia kultuskan. Namun kajian keilmuannya sebagai peneliti gerakan
kemerdekaan Indonesia menuntut padanya menulis tentang
tokoh Betawi Mohammad Husni Thamrin terlebih dahulu sebelum menulis
tentang Bung Karno. 

Bob Hering melihat dalam ketokohan Thamrin dan Bung Karno suatu
kesatuan, suatu fenomena kesinambungan perjuangan yang telah mengantar
rakyat Indonesia yang terjajah menjadi nasion merdeka. Sungguh sutau
premisse yang menarik. Menyebut dalam senafas nama Thamrin-Bung Karno
mempunyai segudang pengertian, mengandung banyak pelajaran, terutama
bagi para pemuda kita sekarang yang sibuk berpolitik radikal dengan
ambisi mau membangun Indonesia yang lebih baik. Menyebut nama Thamrin
dan Bung Karno berarti belajar dari sejarah tentang kerjasama seorang
Thamrin – politikus yang bekerja "dari dalam sistem" atau ikut dalam
institusi tatanan penguasa di Volksraad bersama tuan-tuan Belanda
kolonial; dengan seorang Soekarno, politikus revolusioner yang bekerja
"di luar sistem", di jalanan, di alun-alun, di kota dan desa-desa, di
manamana bersama rakyat. Secara populer politisi dua kubu seperti itu
disebut ko dan non-ko.

Pada golongan "ko" atau koperator terdapat konotasi negatif – pada
mereka melekat setempel sebagai antek-antek Belanda. Kecurigaan
seperti itu tidak seluruhnya salah, karena memang ada di antara mereka
– walau dalam jumlah minoritas – yang setia sekali kepada Belanda,
bahkan kepingin jadi Belanda. Tetapi Thamrin pasti tidak termasuk
dalam golongan yang mau mengabdi kepada Belanda seperti itu. Dan
itulah khas identitas Thamrin yang mencolok, dia ikut serta dalam
sistem kekuasaan Belanda, tetapi menjadi eksponen nasionalis
revolusioner yang mengabdi kepada bangsanya, terutama rakyat kecil.

Menyoroti aspek ini, Thamrin sebagai tokoh ko mempunya titiksinggung
yang erat dengan Bung Karno sebagai tokoh non-ko yang piawai gerak dan
gebrakanmya menantang kekuasaan kolonial Belanda. Keterlibatan Thamrin
dalam semua peristiwa penting yang dialami Bung Karno sungguh
signifikan sekali; dia hadir pada saat B.K. diadili, dia hadir pada
saat B.K. dijebloskan dalam penjara, dia juga
hadir pada saat B.K. dibuang ke Ende, dia memprotes di Volksraad
penahanan Soekarno oleh pemerintah Belanda, akhirnya Belanda menghukum
Thamrin dengan tahanan-rumah setelah Bung Karno berkunjung ke
rumahnya. Gubernur Jendral Hindia-Belanda dengan gemas berpendapat
bahwa orang paling berbahaya sebenarnya adalah Thamrin. Sang
Gubernur-Jendral kepingin sekali menjebloskan Thamrin dalam penjara,
tetapi demokrasi formal yang masih berlaku membuatnya tidak segampang
itu menangkap Thamrin. Namun, seperti pepatah Belanda sendiri
mengatakan "untuk memukul anjing, pentung selalu cepat tersedia untuk
digunakan." Maka, ditemukanlah pentung, dan ditangkaplah Thamrin –
alasan gampang dan selalu bisa
dicari. 

Dalam sejarah perjuangan mencapai Indonesia merdeka, Thamrin untuk
selamanya tercatat sebagai tapol (tahanan-politik) yang meninggal di
tangan Penguasa kolonialisme Belanda. Dari segi ini kesamaan dengan
Soekarno sebagai sesama pejuang kemerdekaan sungguhlah identik sekali.
Soekarno juga – seperti Thamrin –
meninggal sebagai tapol, tetapi ini kali sebagai tahanan bangsanya
sendiri, penguasa kejam rejim Golkar dan militerisme Suharto. Banyak
terdapat kesamaan antara dua pemimpin bangsa ini; sama dalam cita-cita
membangun satu tanah-air Indonesia yang merdeka, sama melandasi
perjuangan pada azas kebangsaan, nasionalisme Indonesia, dan sama
dalam sikap politik revolusioner, meski masingmasing menempuh jalan
yang berbeda. 

Perbedaan dengan Soekarno dengan sendirinya ada, dan dari segi ini
boleh kita katakan Thamrin memiliki kelebihannya sendiri. Thamrin
bukan seperti Soekarno, dia tidak hanya memfokuskan perhatian
politiknya pada "garis-besar" saja.


Selain menjangkau masalah nasional – berjuang untuk suatu Indonesia
yang merdeka, perhatiannya juga meliput peta skala internasional,
seperti misalnya memperingatkan penguasa Belanda akan bahaya fasisme
Jepang. Tetapi dia malah dicurigai Belanda sebagai mata-mata Jepang –
pemimpin-pemimpin non-ko seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir juga pernah
memperingatkan penguasa Belanda terhadap fasisme Jepang, mereka
menawarkan kerja-sama tetapi tidak digubris oleh
Pemerintah. Soekarno-Hatta malah dituduh sebagi kolaborator Jepang.
Beda dan kelebihannya dari Soekarno seperti kita singgung di atas,
Thamrin menukik sampai ke urusan mikro, masalah-masalah kecil. Dia
bicara tentang kampung-kampung becek tanpa penerangandan masalah
banjir. Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam
pembangunan diprioritaskan dalam segalanya. Dia selalu menjurubicarai
kepentingan rakyat kecil misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi
petani sampai-sampai kepada harga kedelé, gula, beras, karet rakyat,
kapuk, kopra, semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat.


Berdeda dengan Soekarno, seorang "politikus garis-besar" – dalam
perjuangan politik Soekarno tidak mau memasuki urusan-urusan mikro
yang dia anggap jelimet. Bung Karno bukan meremehkan soal-soal kecil,
tetapi dia selalu berpendapat bahwa masalah-masalah detail akan bisa
diselesaikan nanti bila Indonesia sudah merdeka, bila demokrasi sudah
ditegakkan – nanti di seberang jembatan emas. Walau pun beda dalam
gaya dan sikap, adalah menarik bagaimana Thamrin sebagai
seorang koperator bersikap terhadap penguasa/pemerintah Belanda.


Sikap koperatif Thamrin tidak berdasar pada prinsip loyalitas terhadap
penguasa mau pun "kelompok etik" Belanda, tetapi sikap koperatifnya
berwatak oposisi yang tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin nonko
seperti Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lainnya. Dia juga tidak punya
ilusi atau wishfulthinking terhadap penguasa Belanda. Ketika pihak
Belanda mengatakan bahwa orang Indonesia belum matang
untuk merdeka, dan Belanda punya modal dan keahlian untuk
membantu orang Indonesia, M.Hudni Thamrin dengan enteng menjawab
"orang Indonesia tidak pernah mengundang kalian!" Watak politik
Thamrin sebagai seorang koperator yang dinamis bisa kita tangkap dari
ucapannya ".... bila kami kaum koperator merasa pendekatan kami tidak
efektif, maka kami akan menjadi yang pertama menempuh politik lain
yang diperlukan." Fraksi Nasional yang dia pimpin kemudian mengubah
tujuannya menjadi Indonesia merdeka
dan bukan lagi sekedar otonomi. Di Volksraad dia berkata lantang :
"Nasionalis ko dan nasionalis non-ko memiliki satu tujuan bersama,
yakni Indonesia Merdeka!"


Demikian dengan ringkas sketsa tentang ketokohan Thamrin sebagai anak
Betawi yang memulai karier politiknya di peringkat dewan haminte
(gemeente-raad) Betawi, kemudian menjulang gemilang sebagai tokoh
nasionalis revolusioner yang menyumbang pada perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Pelajaran berharga dari Thamrin bagi generasi muda kita
sekarang adalah bagaimana sebagai revolusioner
dia santun ber-oposisi, dia selalu sadar bagaimana bersikap terhadap
lawan sebenarnya dan terhadap bukan lawan, oleh karena itu dia tau
bagaimana bekerja-sama menggalang kekuatan dengan pihak-pihak berbeda
visi untuk mengejar tujuan yang sama. Kita menghargai karya Bob Hering
yang mengangkat Thamrin ke
permukaan, karena masih terlalu banyak generasi muda kita – termasuk
kaum intelektualnya – yang kurang mengenal Thamrin.
Joesoef Isak, ed. 

*    *    *

Demikianlah Kata Pengantar Jusuf Isak, Penerbit dan Editor Hasta
Mitra, pada edisi Indonesia, buku Prof. Dr Bpb Hering mengenai M.H.
Thamrin.

(Bersambung)

*    *    *







Kirim email ke