http://adilnews.com/?q=en/ekstremis-di-tengah-kita
Ekstremis di Tengah Kita KOLOM: *Berita Utama *EDISI : *21* Penulis: Mahmudi Sebuah buku tipis mengundang tanya di satu pameran buku di negeri ini. Bukan karena isinya. Betapapun kebebasan berpendapat mesti dijunjung. Melainkan si penulis buku itu: Ayman al-Zhawahiri, sang ideolog dan orang kedua di dalam hirarki jaringan al-Qaidah. Al-Qaidah sinonim dengan ektremisme. Dan sekarang ekstremisme terasa begitu dekat. Beberapa ledakan bom dan terorisme membahana oleh kelompok Islam ekstrem di Indonesia memang membuat militansi dan ekstremisme begitu nyata. Tetapi kejadian itu tetap merupakan satu peristiwa yang memiliki jarak sosial dan mempunyai kedekatan personal secara terbatas. Buku murah yang ada di tangan ini kini bukan cuma nyata namun terasa dekat dan personal. Ekstremisme menjadi sangat terjangkau, sangat pribadi, sangat dekat, dan bisa sangat meluas. Kita mafhum ekstremisme bukan monopoli satu agama semata. Dan di dalam sejarah Islam berderet nama gerakan ekstrem pernah timbul dan tenggelam. Dua nama tak mudah dilupakan: Khawarij dan assassiyun. Khawarij berarti mereka yang menyempal, sedang Assassiyun bermakna mereka yang setia pada asas. Dua kelompok ini berasal dari zaman yang berbeda. Khawarij adalah kelompok yang menyempal dari kepemimpinan Imam Ali ibn Abi Thalib, dan menjadi bentuk ekstremisme Islam radikal pertama yang menggabungkan puritanisme kaku dan fundamentalisme agama dengan sentuhan egalitarianisme eksklusivis. Teologi mereka meyakini bahwa seseorang yang berdosa besar tidak lagi berhak menjadi Muslim dan boleh dikafirkan, diperangi, dan dibunuh apabila ia tak bertobat. Menganggap kelompok lain tak lagi Muslim, Khawarij lebih senang menarik diri dari umat Islam dan memerangi mereka yang tak sepaham. Karena semangat bermusuhan dan berperang ini, jihad dalam arti kasarnya sebagai pertempuran menjadi tiang keenam rukun agama kaum Khawarij. Khawarij yang terkenal rajin beribadah ini meyakini mereka adalah Mukminin yang berjuang dan berperang melawan kekafiran. Assassiyun adalah pengikut Hasan-i Sabah di awal abad ke-11, terkenal dengan pembunuhan bermotif politik terhadap para pemimpin Muslim yang sudah dikafirkan karena dianggap tak lagi mencerminkan keislaman atau non-Muslim yang berhak dibunuh karena menentang Islam. Sebutan asli bagi kelompok ini adalah al-dakwah al-jadidah. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai fedayin, dari fida'i yang berarti ia yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk satu tujuan. Assassiyun siap menjadi fida'i untuk melakukan apapun, termasuk pembunuhan atas pemegang kekuasaan, demi tegaknya tujuan mereka. Kedua kelompok ekstrem ini memiliki satu benang merah: pengafiran mereka yang tak sepaham dan penghalalan apapun, termasuk kekerasan, demi mencapai tujuan. Takfir (pengafiran) karena itu menjadi akar paling mendasar dari ekstremisme Islam. Ketika al-Quran menyerukan koeksistensi Muslimin dengan Ahlul Kitab, takfiri menuntut penghalalan darah mereka. Kaum takfiri pun tak segan menisbatkan tudingan 'kafir' bahkan kepada Muslim yang tak sepaham dengan mereka. Takfir bukan merupakan barang asing bagi Muhammad ibn Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabisme di Arab Saudi. Dengan mengutip pandangan Ibn Taymiyyah yang membatalkan kemusliman kaum Mongol yang menerapkan hukum adat tinimbang syariah supaya ada legitimasi hukum bagi dinasti Mamluk yang mengobarkan jihad melawan Mongol. Wahhab melancarkan perang 'pembersihan' terhadap Muslimin yang tak sepaham dengannya dengan menggunakan pedang. Sejarah Wahabisme penuh dengan pembantaian terhadap kaum Syiah. Kaum Sunni pun tak luput dari pembantaian pada 1802 dan 1924. Beberapa bangunan suci di Mekkah dan Madinah tak luput dihancurkan oleh dua kali serangan Wahabi ini. Takfirisme yang mengafirkan selain kelompok mereka dan meme-rangi semua kaum kafir, baik Muslim atau non-Muslim mengemuka ke dalam gerakan sempalan dari Ikhwanul Muslimin dengan nama Takfir wal Hijra oleh Syukri Musthafa. Kelompok berinspirasi-kan Wahabisme dan Qutbisme ini mengafirkan segala yang berbeda dan mengisolasi diri dari umat Islam yang tak lagi murni ke-islamannya untuk membangun perlawanan dan penggulingan kekuasaan kafir. Terdaftar sebagai anggotanya: Ayman al-Zhawahiri. Zhawahiri memberikan jiwa takfiri pada al-Qaidah. Organisasi ini lantas menjadi manifestasi baru dari pembauran anasir Khawarijisme, Assassiyun, dan Wahabisme ditambah sentuhan modernitas yang membentuk ekstremisme eksklusif dengan senjata mematikan di tangan. Di mata kaum ekstremis, kaum yang berbeda paham bukan lagi Muslim, tak lagi manusia. Budaya takfir mewariskan apabila engkau tak setuju dengan kami maka engkau adalah kafir yang boleh diperangi dan darahnya halal ditumpahkan. Kemanusiaan dihilangkan, Islam pun digadaikan. Takfiri tidak dihasilkan oleh kemiskinan semata, karena pengikut al-Qaidah dan gerakan militan lain kerap berasal dari kaum berada, seperti latar belakang Usamah bin Ladin atau pelaku pemboman 9/11 Muhammad Atha. Ia juga bukan produk kebodohan karena banyak kaum takfiri mengenyam pendidikan tinggi. Abdul Rasyid Ghazi dari Masjid Lal memegang gelar master dan pernah bekerja di UNESCO, sementara Azahari bergelar doktor dari universitas di Inggris. Zhawahiri menguasai tiga bahasa asing dengan gelar S-2. Takfiri karena itu bisa menghinggapi siapa saja dengan latar belakang apa saja. Takfiri tidak terbatas pada al-Qaidah dan jejaringnya yang meluas di berbagai belahan dunia. Ia merupakan Gugus pemi-kiran hasil bentukan dan pertautan antara sejarah, politik, agama, nihilisme, dan kesalahan berpikir. Pemikiran tentu lebih berbahaya daripada senapan. Bukan tak mungkin banyak anak negeri terpengaruh pemikiran Ayman. ยป - Add new comment<http://adilnews.com/?q=en/comment/reply/194#comment-form>