JAMBI EXPRESS
Terorisme dan Dialektika Moral Friday, 27 July 2007 Dalam upaya pengungkapan teror di Bandar Udara Glasglow, Kepolisian Inggris telah menangkap tujuh tersangka. Hasil sementara menemukan bahwa sebagian besar dari tersangka itu berprofesi sebagai dokter. Temuan ini merupakan suatu kecenderungan berbeda dengan teori yang berkembang dalam kajian psikologi teroris, di mana aksi teror biasa dilakukan oleh orang-orang yang mengalami marjinalisasi sosial, budaya, dan ekonomi. Agak Berbeda Studi psikologi menyatakan bahwa perasaan "tak bermakna" (meaningless) cenderung membuat seseorang menjadi pesimis dan tidak antusias dalam hidup. Tetapi kondisi seperti itu justru berpeluang mendorong mereka menjadi bagian dari kelompok yang merayakan kekerasan. Sebagaimana dinyatakan oleh Jerold M Post, seorang guru besar psikologi politik di George Washington University bahwa terorisme memiliki "daya pesona" bagi seseorang yang memiliki perasaan "tak bermakna" (2003). Menurut Post, dengan menjadi teroris mereka akan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Di dalamnya, perasaan "hangat" kelompok dapat mengisi kehampaan dan ketakbermaknaan. Karena itu soliditas dan loyalitas para teroris sangat tinggi terhadap ideologi dan tujuan-tujuan kelompok, bahkan meskipun cara yang digunakan dalam mencapai tujuan itu adalah dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Justru di situlah mereka semakin merasakan "diperhitungkan" oleh orang lain. Teori ini cukup relevan. Dengan melihat pada beberapa kasus terorisme di Indonesia, misalnya, ditemukan bahwa sebagian besar pelakunya mengalami persoalan psikologis itu. Temuan tentang pelaku teror di Inggris agak berbeda dengan kecenderungan yang ada. Bukankah para dokter adalah orang-orang yang kecil kemungkinan mengalami perasaan "tak bermakna"? Fakta ini menunjukkan bahwa pelaku teror tidak selalu dilakukan oleh orang-orang yang mengalami perasaan "tak bermakna". Dokter adalah profesi yang paling banyak bersentuhan dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga menjadi dokter justru membuat hidup seseorang sangat berarti. Dengan demikian aksi teror bukan hanya merupakan ekspresi dari kehampaan hidup dan keinginan untuk diakui, melainkan juga realisasi dari idealisme. Dalam pandangan David C Rapoport, Guru Besar ilmu politik di University of California, teror dapat dimotivasi oleh dua faktor, yaitu agama dan kekuasaan. Motivasi kekuasaan biasa terjadi dalam aksi perlawanan kelompok pejuang kemerdekaan ataupun oposisi. Aksi ini disebut teror sekular. Sedangkan teror yang dimotivasi agama disebut oleh Rapoport sebagai teror suci. Dalam teror suci pelakunya meyakini bahwa mati karena keimanan sama pentingnya dengan membunuh karena keimanan (2003). Apakah para dokter itu merupakan para penganut teror suci? Kesimpulan mengenai hal itu tentu memerlukan penyelidikan lebih jauh. Prinsip Moral Pertanyaan yang tepat tentang hal ini adalah bagaimana mungkin para dokter mampu "melanggar" prinsip-prinsip etika profesinya. Bukankah sejatinya mereka itu merupakan kelompok yang melindungi dan memelihara kehidupan manusia? Bahkan etika profesi dokter melarang untuk mengggugurkan kandungan, karena melanggar prinsip memelihara kehidupan. Lalu mengapa mereka "tega" melakukan teror? Dalam penelitian Albert Bandura ditemukan bahwa aksi seseorang senantiasa merujuk pada prinsip moral yang diyakininya. Sebuah perbuatan yang dinilai menyalahi moral yang diyakininya biasanya tidak akan dilakukan. Jika kemudian dia melakukannya, akan membuatnya gelisah dan tidak nyaman (2003). Namun interpretasi terhadap nilai-nilai kebenaran itu sebenarnya bisa bersifat fleksibel. Bandura menyebutkan contoh sersan York, salah seorang pejuang fenomenal dalam sejarah perang modern. Lantaran keyakinan agamanya yang kuat, sersan York tercatat sebagai penolak wajib militer, tetapi segala pembelaan dirinya ditolak. Di tansi tentara, komandan Batalionnya mengutip surat dan ayat dari Injil untuk meyakinkan dia bahwa dalam keadaan-keadaan yang tepat agama Kristen memerintahkan untuk membunuh orang lain. Setelah itu akhirnya sersan York menjadi seorang prajurit yang bersemangat untuk membunuh. Merujuk pada Bandura, para dokter yang terlibat dalam aksi teror tentu juga mengalami dialektika moral. Dalam dialektika tersebut bisa jadi muncul pandangan bahwa membunuh dibolehkan sepanjang ditujukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang lebih banyak dan demi kondisi hidup yang lebih baik. Jadi, dialektika moral itu sesuatu yang mungkin terjadi dalam diri setiap orang. Apalagi jika dialektika itu juga dipengaruhi oleh faktor keimanan, yang dalam pengalaman terorisme di beberapa negara menunjukkan bahwa mereka rela untuk mati dan membunuh demi menegakkan kebenaran yang bersumber dari keimanannya tersebut. (cmm) -------------------------------------------------------------------------- Islam Tidak Setuju dengan Kekerasan Ajaran Islam pada hakikatnya membawa rahmat bagi alam semesta. Tidak ada sedikitpun unsur yang terkandung dalam ajaran Islam untuk berlaku radikal. Tindakan kekerasan yang muncul dan dibawa oleh sebagian gerakan umat Islam tidak lain karena pemahaman yang sempit dalam memaknai ajaran Islam. Bagaimana agar radikalisme dapat diminimalisasi? Menurut dosen Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Andi Faisal Bakti, kita perlu mengkaji ulang ayat-ayat al-Quran yang bertentangan dengan kebenaran universal. Berikut penuturan selengkapnya kepada Reporter CMM, Firman Syah: Sejauh yang Anda amati, apa penyebab munculnya kekerasan di Indonesia? Kekerasan muncul disebabkan ada kelompok yang ingin menggunakan kekerasan atas nama isme atau pemahaman keagamaaan yang dapat melahirkan konflik internal antara umat Islam sendiri dan umat non-Islam. Padahal, gerakan itu adalah gerakan minoritas dan tidak mewakili ajaran Islam. Tapi karena beresiko dan akibatnya terlalu besar terhadap masyarakat, sehingga bisa memukul rata yang melakukannya adalah orang Islam. Bayangkan hanya dari kelompok kecil yang membom gedung, kedutaan besar, restoran, stasiun, dan terminal misalnya, memiliki pengaruh yang besar sekali. Berapa orang meninggal? Apalagi sampai melibatkan berbagai warga bangsa lain, akibatnya sangat luar biasa. Mereka disebut teroris karena dianggap menakutkan. Tindakan teroris ini sebetulnya dilakukan oleh kelompok yang tidak memiliki legitimasi kekuasaan dan aksinya tidak bisa diprediksi. Kenapa Barat bisa menuduh kalau yang melakukan tindakan itu dari kelompok Islam? Karena kesalahan kita dalam memaknai perjuangan jihad dengan kekerasan. Akibatnya, pemaknaan kita dibawa ke media mereka dan kemudian Barat akan menulis, membuat jurnal, koran, dan televisi. Apakah tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia kini mendapat tempat dalam ajaran Islam? Islam tidak setuju dengan kekerasan. Munculnya aksi kekerasan mungkin muncul dari sebagian kita, dai, kalangan aktivis atau adanya motivator-motivator dalam menanggapi hadits yang berbunyi, "Siapa yang melihat kemungkaran hendaknya diubah dengan tangan. Apabila tidak mampu maka dengan lidah (ngomong) dan yang terakhir dengan doa. Tapi doa adalah iman yang paling lemah." Itu yang sering menjadi pedoman kita. Jadi, semua orang ingin imannya kuat, maka mereka harus maju dengan tangannya. Lalu bagaimana pemaknaan yang benar terhadap teks hadits itu? Kata tangan itu bisa bermakna (ditakwilkan) dengan kekuatan atau kekuasaan. Artinya, kalau mendapatkan kemungkaran, ubahlah oleh kekuasaan orang yang memiliki otoritas legal dan formal. Di sini misalnya pemerintah, pengadilan, polisi, dan penjara. Sedangkan dengan lisan dilakukan misalnya dengan talk show, melalui wawancara kemudian ditulis. Wawancara termasuk lisan yang dituliskan. Kalau doa relevansinya dengan komitmen. Itu merupakan faktor internal, yang bersifat planning dan pemikiran awal sebagai semangat yang tinggi. Dalam sistem manajemen, doa masih pada tingkat awal, hanya berpikir dan sebuah strategi. Oleh sebab itu, tak heran kalau doa dianggap lemah. Untuk itu doa harus diwujudkan dengan tangan dan lisan. Bisa Anda beri contoh konkretnya? Misalnya dengan mengadakan talk show di televisi. Kita bisa berbicara tentang kerusakan yang terjadi di masyarakat dan tentang persoalan korupsi. Banyak persoalan yang perlu diangkat, misalnya seputar kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan penyakit yang masih melanda masyarakat. Itu bukti-bukti ketertinggalan yang harus kita perangi. Masalah itu harus kita pikirkan. Semua itu kita anggap kemunkaran dan kita coba lawan, kita harus perbaiki. Lisan pun bisa dilakukan dengan demo, tapi yang teratur. Kalau perlu kita mengundang polisi untuk mengantar kita di depan dan belakang barisan. Bahkan ambulan pun diikutsertakan barangkali ada yang pingsan atau sakit. Di Barat (AS) saya juga berdemo dengan cara seperti itu. Kalau simbol yang mereka usung sesuai dengan pikiran saya, saya ikuti. Jangan kemudian dengan adanya demo malah mengganggu lalu lintas, dibuat 10 baris ke samping hingga jalan terblok dan membuat kemacetan. Bagaimana cara meminimalisasi citra buruk dari "Barat" tersebut? Saya kira sudah saatnya umat Islam yang punya media membangun pencitraan makna jihad yang benar, yakni jihad bukan dengan kekerasan. Sehingga bisa tercipta suasana hidup yang saling memahami, mengerti, menghargai, dan mengenal. Selain untuk saling mengenal, ayat 13 surat al-Hujurat juga menjelaskan bahwa yang paling mulia adalah orang yang bertakwa. Jadi, bukan hanya sampai kenal mengenal saja. Kita sama-sama manusia dan diciptakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita harus berpegangan pada ajaran-ajaran kebenaran universal yang sama dengan al-Quran. Menurut logika saya, tidak mungkin al-Quran berseberangan dengan kebenaran universal. Jadi, kalau ada kebenaran universal yang diterima, kemudian al-Quran susah menerimanya, saya kira al-Quran perlu proses reinterpretasi. (cmm) -------------------------------------------------------------------------- Manusia dan Pemimpin Sepertiga Oleh: Drs Khusyaini* Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga. Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental. Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral. Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi efektivitas fungsinya bisa mandul, karena kecerahan intelektualnya tidak didukung kecerahan spiritual dan mental. Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyak orang pintar bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik. Wallahua'lam. Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, sebab pengetahuannya terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan. Langkahnya keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu. Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa. Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya. Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial. Masing-masing dari uraikan di atas merupakan manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual tok, cerah mental aja, cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang sakaw dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing. Dari manusia atau pemimpin sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan komprehensif kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa. *Sekretaris NU Muaro Jambi dan Sekretaris Syura DPW PKB Jambi