Upacara Sang Saka Merah Putih berlangsung sedikit banyak seperti yang saya saksikan berkali-kali pada era Bung Karno di medio tahun 1950an abad silam di Istana Negara, ketika saya yang masih di SMP "nangkring" diatas sepeda didepannya.
Namun kali ini, tahun 2007 di Praha, dalam upacara Peringatan Hari Kemerdekaan yang ke-62 itu "kurang" komandan upacara, yang memimpin bukan inspektur upacara, tetapi Duta Besar RI untuk Republik Ceko, Prof Dr Salim Said! Dalam gerimis rintik-rintik, orang lebih terpukau karena tidak ada aba-aba keras dalam gaya ketentaraan, tidak ada barisan, semua hadirin, yang terdiri dari seluruh KBRI dan masyarakat Indonesia dengan anak pinaknya, berdiri tenang saja. Kecuali tegap ketika Sang Saka dikibarkan dan menyanyikan Indonesia Raya. Juga tidak ada komando seperti barisan siap, barisan istirahat, barisan dibubarkan, dan entah apa lagi yang selamanya ini kami alami. Semuanya yang saya enggan lakukan karena saya memang bukan perajurit, belum pernah samasekali dilatih dalam ketentaraan. Mungkin akan bizarre, lucu dan aneh sekali bila saya coba-coba menirunya. Juga menarik bahwa meski tiada samasekali pengaturan hadirin, namun secara "otomatis" terjadi pemisahan lewat "garis gender", yang perempuan terpisah dari yang pria. Ini mungkin baik ditelaah secara sosio-psikologis! Usai upacara saya, yang "lurah" Paguyuban karena tidak ada juga yang hendak menggantikan, gagal menunggu jajaran KBRI berbaris dipimpin Pak Dubes untuk kami salami berramai-ramai. Bahkan Pak Dubes sambil senyum- senyum mengatakan: "Ini kan yang mengadakan KBRI, bukan Dubes!" Jadi semua kami bersalaman dimana saja seperti laiknya dalam suatu silaturakhmi. Dan seluruh upacara dan peringatan telah berjalan dengan khidmat dan dalam acara bebasnya juga meriah. Begitulah. Mungkin itu bukan kejutan. Simbolisasi ini dikatakan oleh Pak Dubes, yang menggagasnya, sebagai penegasan bahwa ketika Indonesia mulai mengayunkan langkah didalam proses demokratisasi, maka Upacara dan Peringatan Hari Kemerdekaan pun hendaknya dilakukan sesuai dengan pengertian demokrasi itu. Dan demokrasi memang urusannya orang sipil, bukan? Pak Dubes Salim Said memang "hibrid" antara seorang pakar ilmu politik dan budayawan, yang kini bertugas menggeluti ranah diplomasi! Bismo D Gondokusumo (terlambat ditulis karena PC PHK temporer)