Politik Berkiblat ke Indonesia Oleh: Siauw Tiong Djin 25 Agustus 2007 Pendahuluan
Diskusi ini dimulai dengan sebuah kisah seorang pemudi Tionghoa, bernama Natalia. Ia berumur 21 tahun, seorang mahasiswi dalam bidang akuntansi. Ia lahir di Jakarta. Orang tuanya lahir dan besar di kota Medan - fasih berkomunikasi dalam bahasa Hokkian. Walaupun Natalia mengerti sepatah dua kata Hokkian, ia tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa ini. Di rumah ia hanya berbicara dalam bahasa Indonesia. Walaupun ia cukup sering makan makanan Tionghoa, ia lebih menggemari masakan Indonesia. Mie goreng jawa, soto Betawi, sop buntut dan es doger merupakan hidangan yang ia sukai ketimbang keluyuk atau cap-cai. Pacar macam apa yang ia idami? Jawabannya seorang pemuda tampan Tionghoa yang tidak terlalu "Chinese", maksudnya modern tetapi memiliki latar belakang serupa dengannya. Ia pernah diajak orang tuanya jalan-jalan ke Tiongkok. "Enak jalan-jalan, tetapi saya tidak merasa sebagai orang Tiongkok. Saya merasa asing di sana ", demikian ujarnya. Ketika ia ditanya: Anda ini merasa diri sebagai orang apa? Secara spontan ia menjawab: ya orang Indonesia. Pandangan Natalia - keturunan Tionghoa ini - bukan saja merupakan stereotipe generasi muda komunitas Tionghoa, tetapi juga merupakan stereotipe mayoritas Komunitas Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim di pulau Jawa. Akan tetapi belakangan ini timbul sebuah gelombang di kalangan komunitas Tionghoa - terutama generasi yang berumur setengah abad ke atas - yang cenderung mengubah stereotipe yang digambarkan di atas. Gelombang ini membentuk aliran yang cenderung ber-orientasi ke Tiongkok baik dalam bentuk penggunaan bahasa, prilaku kebudayaan maupun dalam melakukan usaha berdagang dan pemusatan daya investasinya. Timbul kesan bahwa untuk kelompok ini, Tiongkok merupakan jalan keluar jangka panjangnya sehingga membantu proses penguatan Tiongkok lebih penting daripada upaya memakmurkan Indonesia. Perkembangan ini wajar. Mengapa? Karena Republik Rakyat Tiongkok (RRT) muncul sebagai sebuah kekuatan dunia yang mempersonakan banyak orang. Marilah kita lihat prestasinya di masa kini. RRT telah berkembang sebagai Manufacturer of the World. Hampir setiap barang, dari yang sangat rendah tingkat teknologi hingga yang tercanggih kini dibuat di Tiongkok. RRT telah berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan. Banyak negara berkembang di Asia dan Afrika menoleh ke RRT untuk bantuan ekonomi. Bantuannya di kawasan Asia loncat dari USD 260 juta hingga lebih dari USD 2 Milyard. Bantuan ke kawasan Afrika jauh lebih hebat lagi - sekitar USD 6 Milyard. Dan transaksi perdagangan dengan negara-negara Afrika pada tahun 2006 tercatat sejumlah USD 32 Milyard. Perdagangan antara RRT dan Australia yang sebagian besar berkaitan dengan gas dan uranium merupakan salah satu sumber utama kemakmuran ekonomi Australia. Pengaruh kekuatan ekonomi RRT di Indonesia-pun berkembang pesat. Jumlah transaksi perdagangan loncat berganda. Frekwensi dan jumlah kunjugan delegasi resmi maupun tidak resmi antar ke dua negara kian meningkat. Yang lebih mepersonakan adalah perkembangan RRT sendiri. Pesat pertumbuhannya tetap tertinggi di dunia. Dan kehadirannya di dunia disambut hangat oleh negara-negara yang berdagang dengannya. Walaupun pemerintahnya masih menganut paham Komunisme, RRT kini diterima sebagai partner dagang yang aman ketimbang Amerika Serikat yang di kalangan negara-negara Islam dianggap tidak populer dan bersifat mengancam. Menjelang penyelenggaraan Olympiade di Beijing tahun 2008 mendatang, RRT-pun mengagumkan. Penyelenggaraan ini akan dijadikan show case keberhasilan RRT dalam dunia pembangunan dan olah raga. Ia berambisi untuk menjadi peraih medal terbanyak, melampaui Amerika Serikat. Pada waktu yang bersamaan sikon di Indonesia untuk Komunitas Tionghoa-pun kian membaik. Berbagai larangan yang menekan Komunitas Tionghoa di zaman pemerintahan Soeharto telah dicabut. Misalnya Komunitas Tionghoa kini bisa merayakan Imlek secara terbuka, bahkan Imlek dijadikan Hari Raya Nasional. Pertunjukan Liang Liong dan Barongsai telah berkembang sebagai sebuah hal yang populer di berbagai acara umum. Bahasa Tionghoa berkembang sebagai bahasa yang populer terutama bagi mereka yang berdagang dengan para pengusaha Tiongkok. Bahkan cukup banyak perkumpulan-perkumpulan dagang atau sosial yang kini menggunakan Mandarin sebagai bahasa pengantarnya. Kampus-kampus universitas di berbagai kota besar di RRT dibanjiri siswa Indonesia yang ditugaskan orang tuanya belajar Mandarin. Cukup banyak dari mereka ini memiliki S1 atau S2 dari negara-negara barat. Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang baru-baru ini disahkan juga lebih menjamin posisi hukum WNI keturunan Tionghoa, yang berkaitan dengan konsep: a citizenship based nation, salah satu program utama Baperki di zaman Demokrasi Terpimpin, pra Oktober 1965. Perkembangan di atas memperbesar keinginan generasi setengah abad ke atas yang disinggung di atas untuk membangkitkan identitas ke-Tionghoaan yang sempat ditindas secara sistimatis di zaman Orde Baru selama 32 tahun. Kebanggaan sebagai komunitas yang secara ras berkaitan dengan bangsa Tionghoa berkembang pesat. Apakah dampak perkembangan yang jelas bisa dikatakan sebagai perkembangan wajar ini? Mungkinkah kecenderungan ber-orientasi ke Tiongkok ini membangkitkan persepsi bahwa ada loyalitas berganda di dalam benak WNI keturunan Tionghoa? Bisakah persepsi negatif ini dijadikan landasan kegiatan dan tindakan rasisme yang merugikan Komunitas Tionghoa secara keseluruhan? Jawabannya memerlukan analisa sejarah dan berkaitan dengan keseimbangan sikap antara kewajaran dan persepsi. Perkembangan Sejarah Sebenarnya kecenderungan yang bangkit belakangan ini serupa dengan perkembangan komunitas Tionghoa di zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke 20. Gerakan untuk membangkitkan identitas ke Tionghoaan diawali dengan pendirian Tiong Hoa Hwee Kwan pada tahun 1900 - sebuah institusi pendidikan yang mengajar Mandarin dan kebudayaan Tionghoa - di Batavia. Belasan tahun kemudian terbentuklah sebuah aliran politik yang berkiblat ke Tiongkok. Aliran ini mendorong komunitas Tionghoa untuk menganggap Tiongkok sebagai tanah airnya dan berkeyakinan bahwa Tiongkok-lah yang akan menjadi juru selamat politik Komunitas Tionghoa. Harian Sin Po merupakan harian utama yang menyebar luaskan pengertian ini. Penjajah Belanda melihat perkembangan ini sebagai ancaman sosial yang berbahaya sehingga mendirikan institusi pendidikan tandingan - HCS pertama di Batavia pada tahun 1908, khusus untuk komunitas Tionghoa, yang menggunakan Belanda sebagai bahasa pengantar. Ini kemudian membangkitkan aliran politik yang ber-orientasi ke Belanda - tandingan aliran yang berkiblat ke Tiongkok. Aliran ini memanifestasikan aspirasi politiknya melalui organisasi yang bernama Chung Hua Hui yang didirikan pada tahun 1928. Aliran ini mendorong Komunitas Tionghoa untuk bersandar atas pemerintahan Belanda. Baginya kehadiran penjajahan Belanda menjamin posisi yang menguntungkan komunitas Tionghoa. Chung Hua Hui memiliki wakil-wakil di Volksraad. Baru pada tahun 1932, dengan berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, lahirlah sebuah aliran yang jauh lebih kecil dari kedua aliran tersebut di atas, aliran yang berkiblat ke Indonesia. Melalui harian Sin Tit Po dan Matahari aliran ini menganjurkan komunitas Tionghoa menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dengan semboyan lahir, hidup dan dikubur di Indonesia. Tokoh-tokohnya, Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien, Tan Ling Djie dan Kwee Hing Tjiat mengajak pengikutnya untuk terjun ke dalam kancah politik yang berbahaya - gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Melalui berbagai artikel di harian-harian tersebut di atas mereka kerap menggambarkan bagaimana peranakan Tionghoa akan menjadi orang asing di Tiongkok dan akan senantiasa lebih menikmati hidup di tanah airnya, yaitu Indonesia. Akan tetapi aliran politik ini sangat kecil jumlah pendukungnya. Pengaruhnya di dalam tubuh komunitas Tionghoa-pun kecil. Dari Lahirnya aliran ini hingga tahun 50-an ia tidak didukung oleh komunitas yang ingin ia wakili. Ini-pun wajar. Siapa yang bisa menerima anjuran berkiblat ke sebuah kawasan yang dijajah dan tidak memiliki prospek kehadiran hukum, sosial dan ekonomi yang menguntungkan. Apalagi pengajakan untuk menentang penjajahan Belanda dan sikap anti Jepang yang dianut aliran ini mengandung resiko yang sangat besar. Revolusi kemerdekaan membuahkan pula ekses-ekses yang merugikan. Di satu pihak, komunitas Tionghoa merasa dirugikan dengan tindakan perampokan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh laskar-laskar perjuangan. Di pihak lain ada kesengajaan penjajah Belanda seolah-olah merekalah yang melindungi komunitas Tionghoa, sehingga timbul kesan di banyak orang Tionghoa bahwa dekat Belanda lebih aman.. Ini menimbulkan persepsi negatif terhadap komunitas Tionghoa yang mudah dikembangkan dalam bentuk keganasan rasisme. Fenomena adanya kewajaran yang menimbulkan persepsi negatif. Walaupun demikian kehadiran aliran kecil ini memiliki dampak sejarah yang sangat penting. Esensi ajakan politiknya, yaitu berkiblat ke Indonesia, ketimbang ke Tiongkok atau Belanda, kini menjadi sandaran utama kehadiran komunitas Tionghoa di Indonesia dan merupakan dasar stereotipe yang disinggung di atas. Kegiatan Politik di Zaman Kemerdekaan Setelah kemerdekaan tercapai pada tahun 1945, tokoh-tokoh aliran ini terjun di dalam kancah politik nasional. Tan Ling Djie, sebagai sekretaris jendral, memainkan peranan penting di Partai Sosialis, partai yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan dari tahun 1945 hingga 1948. Demikian juga Tan Po Goan dan Siauw Giok Tjhan - ke dua-duanya duduk di dalam kabinet pemerintahan sebagai menteri negara. Kehadiran mereka sebagai pimpinan di dalam Partai Sosialis membuahkan UU Kewarga negaraan Indonesia 1946 yang merealisasi aspirasi perjuangan kelompok Tionghoa yang maha kecil ini sejak tahun 1932, yaitu menjadikan semua keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia WNI. Akan tetapi aliran yang berkiblat ke Indonesia ini tetap tidak mendapat dukungan dari komunitas-nya. Trauma penderitaan yang dialami pada masa revolusi diulang oleh kebijakan anti Tionghoa pemerintah Sukiman yang pada tahun 1951 memenjarakan ribuan orang Tionghoa. Ini menyebabkan ratusan ribu orang Tionghoa menolak kewarganegaraan Indonesia yang seyogyanya dimilikinya pada tahun yang sama. Mereka memilih menjadi Warga Negara Tiongkok - yang pada waktu itu diterima di PBB sebagai one of the big Five. Puluhan Ribu diantaranya juga memilih "pulang" ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan dan beberapa politikus Tionghoa lainnya tetap tidak mendapat dukungan luas dari komunitas Tionghoa, hingga didirikannya Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1954. Organisasi massa ini didirikan untuk melawan arus politik yang menginginkan penggantian UU Kewarganegaraan 46 dengan UU kewarganegaraan baru yang pada hakekatnya akan menjadikan sejumlah besar WNI keturunan Tionghoa, Warga Negara asing. Ironisnya, Baperki yang gigih memperjuangkan dipertahankannya UU Kewarganegaraan 1946 tetap kurang mendapat dukungan mayoritas Tionghoa di awal hidupnya. Anjuran Baperki agar Indonesia diterima sebagai tanah air Komunitas Tionghoa tetap tidak "laku", walaupun Perdana Menteri Zhou En Lai pada tahun 1955, sesuai dengan anjuran Siauw Giok Tjhan, di berbagai kesempatan pernah menganjurkan Komunitas Tionghoa totok untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Apa lagi setelah dilaksanakannya PP-10 pada tahun 1959, sebuah kebijakan yang bukan saja melarang pedagang Tionghoa berdagang, tetapi juga mengusirnya dari daerah pedalaman. Puluhan ribu orang Tionghoa memilih "pulang" ke Tiongkok pada tahun 1959-1960. Tindakan "wajar" ini lagi-lagi membangkitkan persepsi adanya loyalitas berganda di dalam tubuh komunitas Tionghoa. Baperki berupaya untuk menghilangkan persepsi negatif dengan kepositifan. Kegigihan dan kedinamisan Baperki semasa hidupnya menyebabkan ia tercatat sebagai organisasi Tionghoa yang paling berhasil dalam membangkitkan kesadaran politik dalam tubuh komunitas Tionghoa di zaman Demokrasi Terpimpin. Baperki mendorong komunitas Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia dan diterimanya komunitas Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di Indonesia sebagai suku Tionghoa; ia memperjuangkan terwujudnya a citizenship based nation yang hanya mengenal satu macam kewarganegaraan Indonesia dan yang meniadakan dasar hukum rasisme; ia menganjurkan komunitas Tionghoa untuk secara aktif turut membangun ekonomi Indonesia, mempercepat proses kemakmuran rakyat Indonesia terbanyak sebagai jalan keluar yang paling efektif dalam melindungi posisi Tionghoa. Dukungan komunitas Tionghoa untuk Baperki meningkat setelah Baperki berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Program pendidikannya mempergencar penanaman kebudayaan Indonesia di dalam benak puluhan ribu siswanya, dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat universitas. Pada zaman Demokrasi Terpimpin timbul polarisasi politik. Baperki, karena berbagai alasan politik, berpijak di pihak kiri. Di zaman ini juga lahir dan berkembang sebuah organisasi tandingan, LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang menganjurkan diterimanya konsep assimilasi total, yaitu pelemburan komunitas Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia sehingga ke-Tionghoaannya lenyap. LPKB berada di pihak kanan. Ini menimbulkan perkembangan yang ironis. Paham integrasi dianggap sebagai paham kiri sedangkan paham assimilasi dianggap sebagai paham kanan. Padahal bilamana kedua paham itu dilaksanakan secara wajar, tanpa paksaan, esensi politik yang terkandung adalah sama, yaitu politik berkiblat ke Indonesia dan menerima Indonesia sebagai tanah air. Generasi muda Tionghoa perlu bersyukur bahwa sejarah melahirkan tokoh-tokoh politik Tionghoa - dari berbagai aliran politik dan agama - yang gigih dan tanpa pamrih meneruskan aliran politik berkiblat ke Indonesia. Ketepatan visi para tokoh PTI yang melahirkan politik berkiblat ke Indonesia di kalangan orang Tionghoa menjadi lebih nyata di masa kini. Banyak dari mereka yang "pulang" ke Tiongkok menyesalkan keputusannya. Masyarakat Tiongkok menerimanya sebagai orang-orang asing dan sebaliknya sebagian besar dari mereka menghadapi kenyataan Tiongkok sebagai tanah yang asing. Dan yang bermukim di Indonesia, sebagian besar sudah menjadi WNI. Sayangnya visi ke Indonesia ini terhambat lagi. Ketika Soekarno tumbang dan Soeharto merintis zaman Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun, paham assimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah. Dampaknya bertentangan dengan apa yang diinginkan para pencetusnya. Ke-Tionghoaan secara sistimatis dihilangkan secara paksa. Dimulai dengan pergantian nama. Penggunaan bahasa Tionghoa dilarang. Perayaan Imlek dilarang. Pertunjukan Liang-liong dan barongsai dilarang. Juga dikeluarkan dan dilaksanakan berbagai kebijakan anti-Tionghoa yang menekan komunitas Tionghoa. Walaupun cukup banyak pedagang Tionghoa berhasil menjadi konglomerat di zaman ini, komunitas Tionghoa secara keseluruhan tumbuh sebagai komunitas anak tiri yang secara terpaksa menanggalkan ke Tionghoaannya selama 32 tahun. Peristiwa Mei 98 mengukuhkan kesan bahwa komunitas Tionghoa tetap dijadikan kambing hitam dan tidak memperoleh perlindungan selayaknya dari aparat negara bilamana kemarahan masyarakat diarahkan ke dirinya, walaupun sudah secara "jinak" menanggalkan ke Tionghoaannya melalui proses assimilasi yang dihukumkan dan dipaksakan. Ini menyebabkan berkembangnya kehausan akan segala sesuatu yang mengandung ke Tionghoaan. Dapatlah dimengerti mengapa ketika Soeharto tumbang pada tahun 98 dan kebijakan pemerintahan GusDur yang membatalkan berbagai larangan tersebut di atas, disambut dengan hangat, bahkan membangkitkan kecenderungan ber-orientasi ke Tiongkok. Tetap berkiblat ke Indonesia sebagai jalan keluar Perubahan positif yang digambarkan diatas memang mudah menimbulkan kesan bahwa posisi komunitas Tionghoa di masa kini jauh lebih baik. Ada pula kesan bahwa menguatnya RRT di kancah ekonomi dan diplomasi dunia akan melindungi komunitas Tionghoa dari keganasan rasisme. Kesan ini terbukti tidak tepat. Kejadian di Makasar bulan lalu menujukkan bahwa keganasan rasisme mudah dijangkitkan, karena benih-benih rasisme masih saja berkembang biak. Walaupun berbagai larangan telah dicabut dan berbagai UU yang secara hukum lebih melindungi posisi komunitas Tionghoa telah disahkan, adanya berbagai pimpinan pemerintah dan masyarakat yang mencanangkan rasisme, dengan mudah menegasi kemajuan yang dicapai. Mengenyahkan benih-benih rasisme yang merupakan warisan penjajahan Belanda dan pemerintahan rezim Orde Baru ini memerlukan jerih payah dan perjuangan politik jangka panjang. Komunitas Tionghoa secara keseluruhan masih tetap vulnerable terhadap perubahan politik dan ekonomi Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Kesenjangan ekonomi mudah menimbulkan iri hati dan berjangkitnya keganasan yang diarahkan ke komunitas Tionghoa. Dan persepsi masyarakat luas memainkan peranan penting dalam hal ini. Ajakan sistimatis untuk ber-orientasi ke Tiongkok dalam berbagai bidang - yang lagi-lagi merupakan perkembangan wajar -- bisa menimbulkan persepsi yang salah yang berbahaya. Bilamana ajakan ini terbatas atas pengenalan kebudayaan dan bahasa Tionghoa saja, seharusnya tidak akan menimbulkan persepsi negatif. Memang pada kenyataannya, baik film-film maupun lagu-lagu berbahasa Tionghoa semakin populer. Literatur Tiongkok yang membeberkan teori perperangan yang dikaitkan dengan teori dagang dan romantika perperangan di zaman kerajaan Tiongkok, pun populer di Indonesia. Demikian juga dengan penggunaan bahasa Tionghoa. Kian lancarnya perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok menuntut para partisipan perdagangan, baik yang Tionghoa maupun non Tionghoa, untuk fasih berbahasa Tionghoa. Yang berbahaya adalah adanya persepsi negatif yang berkaitan dengan kecenderungan mengutamakan Tiongkok dan menaruhnya di atas kepentingan rakyat Indonesia, apapun alasannya. Globalisasi memang menuntut kebijakan dagang pragmatik. Dengan perkembangan Tiongkok sebagai pabrik dunia, cukup banyak kegiatan produksi Indonesia dipindah ke Tiongkok. Ini meningkatkan pengangguran di Indonesia yang secara langsung membangkitkan kesenjangan ekonomi. Situasi menjadi lebih memburuk untuk Indonesia bilamana keuntungan yang diperoleh dari kegiatan dagang ini tidak dipergunakan untuk membangun ekonomi Indonesia, tetapi di-investasikan di Tiongkok atau negara lain. Kecenderungan ini tentu tidak bangkit di kalangan pedagang Tionghoa saja. Para pedagang non Tionghoa pun memilih jalur ini karena memang pada akhirnya keuntungan-lah yang menjadi patokan kinerja usaha sesungguhnya. Kalau Tiongkok, ketimbang Indonesia, memberi sarana untuk itu, secara wajar kecendrungan ke Tiongkok-lah yang timbul dan berkembang. Akan tetapi sikap demikian di kawasan yang masih mengandung benih-benih rasisme bisa membawa bencana yang merugikan komunitas Tionghoa secara keseluruhan. Oleh karenanya organisasi-organisasi Tionghoa perlu meningkatkan kegiatan dan upaya menanamkan kesadaran politik yang menjadi dasar jalan selamat jangka panjang dengan penekanan sbb: Komunitas Tionghoa harus tetap menyadari bahwa Indonesia adalah tanah airnya. Kita lahir, hidup dan dikubur di Indonesia. Aspirasi rakyat Indonesia hendaknya dijadikan aspirasi komunitas Tionghoa. Komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia dan secara aktif turut memperjuangkan meningkatnya kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Anggapan dan harapan bahwa Komunitas Tionghoa bisa dilindungi hanya dengan bangkitnya RRT sebagai kekuatan ekonomi raksasa tidak tepat. Pendekatan dengan Tiongkok didalam berbagai bidang tidak dilakukan dengan dampak yang merugikan Indonesia secara keseluruhan. Walaupun pendekatan ini bisa berkembang secara wajar, akan tetapi kalau tidak diimbangi dengan kebijakan yang membangun Indonesia, akan menimbulkan persepsi negatif yang mudah dikembangkan ke tindakan rasisme yang merugikan komunitas Tionghoa secara keseluruhan.