Politik Berkiblat ke Indonesia
Oleh: Siauw Tiong Djin
25 Agustus 2007

Pendahuluan

Diskusi ini dimulai dengan sebuah kisah seorang pemudi Tionghoa, bernama 
Natalia.  Ia berumur 21 tahun, seorang mahasiswi dalam bidang akuntansi. Ia 
lahir di Jakarta. Orang tuanya lahir dan besar di kota Medan - fasih 
berkomunikasi dalam bahasa Hokkian. Walaupun Natalia mengerti sepatah dua 
kata Hokkian, ia tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa ini. Di rumah ia 
hanya berbicara dalam bahasa Indonesia.

Walaupun ia cukup sering makan makanan Tionghoa, ia lebih menggemari masakan 
Indonesia. Mie goreng jawa, soto Betawi, sop buntut dan es doger merupakan 
hidangan yang ia sukai ketimbang keluyuk atau cap-cai. Pacar macam apa yang 
ia idami? Jawabannya seorang pemuda tampan Tionghoa yang tidak terlalu 
"Chinese", maksudnya modern tetapi memiliki latar belakang serupa dengannya.

Ia pernah  diajak orang tuanya jalan-jalan ke Tiongkok. "Enak jalan-jalan, 
tetapi saya tidak merasa sebagai orang Tiongkok. Saya merasa asing di sana 
", demikian ujarnya. Ketika ia ditanya: Anda ini merasa diri sebagai orang 
apa? Secara spontan ia menjawab: ya orang Indonesia.

Pandangan Natalia - keturunan Tionghoa ini - bukan saja merupakan stereotipe 
generasi muda komunitas Tionghoa, tetapi juga merupakan stereotipe mayoritas 
Komunitas Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim di pulau Jawa.

Akan tetapi belakangan ini timbul sebuah gelombang di kalangan komunitas 
Tionghoa - terutama generasi yang berumur setengah abad ke atas - yang 
cenderung mengubah stereotipe yang digambarkan di atas. Gelombang ini 
membentuk aliran yang cenderung ber-orientasi ke Tiongkok baik dalam bentuk 
penggunaan bahasa, prilaku kebudayaan maupun dalam melakukan usaha berdagang 
dan pemusatan daya investasinya.  Timbul kesan bahwa untuk kelompok ini, 
Tiongkok merupakan jalan keluar jangka panjangnya sehingga membantu proses 
penguatan Tiongkok lebih penting daripada upaya memakmurkan Indonesia.

Perkembangan ini wajar. Mengapa? Karena Republik Rakyat Tiongkok (RRT) 
muncul sebagai sebuah kekuatan dunia yang mempersonakan banyak orang. 
Marilah kita lihat prestasinya di masa kini.

RRT telah berkembang sebagai Manufacturer of the World. Hampir setiap 
barang, dari yang sangat rendah tingkat teknologi hingga yang tercanggih 
kini dibuat di Tiongkok.

RRT telah berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan. 
Banyak negara berkembang di Asia dan Afrika menoleh ke RRT untuk bantuan 
ekonomi. Bantuannya di kawasan Asia loncat dari USD 260 juta hingga lebih 
dari USD 2 Milyard. Bantuan ke kawasan Afrika jauh lebih hebat lagi - 
sekitar USD 6 Milyard. Dan transaksi perdagangan dengan negara-negara Afrika 
pada tahun 2006 tercatat sejumlah USD 32 Milyard.

Perdagangan antara RRT dan Australia yang sebagian besar berkaitan dengan 
gas dan uranium merupakan salah satu sumber utama kemakmuran ekonomi 
Australia. Pengaruh kekuatan ekonomi RRT di Indonesia-pun berkembang pesat. 
Jumlah transaksi perdagangan loncat berganda. Frekwensi dan jumlah kunjugan 
delegasi resmi maupun tidak resmi antar ke dua negara kian meningkat.

Yang lebih mepersonakan adalah perkembangan RRT sendiri. Pesat 
pertumbuhannya tetap tertinggi di dunia.  Dan kehadirannya di dunia disambut 
hangat oleh negara-negara yang berdagang dengannya.  Walaupun pemerintahnya 
masih menganut paham Komunisme, RRT kini diterima sebagai partner dagang 
yang aman ketimbang Amerika Serikat yang di kalangan negara-negara Islam 
dianggap tidak populer dan bersifat mengancam.

Menjelang penyelenggaraan Olympiade di Beijing tahun 2008 mendatang, RRT-pun 
mengagumkan. Penyelenggaraan ini akan dijadikan show case keberhasilan RRT 
dalam dunia pembangunan dan olah raga. Ia berambisi untuk menjadi peraih 
medal terbanyak, melampaui Amerika Serikat.

Pada waktu yang bersamaan sikon di Indonesia untuk Komunitas Tionghoa-pun 
kian membaik. Berbagai larangan yang menekan Komunitas Tionghoa di zaman 
pemerintahan Soeharto telah dicabut. Misalnya Komunitas Tionghoa kini bisa 
merayakan Imlek secara terbuka, bahkan Imlek dijadikan Hari Raya Nasional. 
Pertunjukan Liang Liong dan Barongsai telah berkembang sebagai sebuah hal 
yang populer di berbagai acara umum. Bahasa Tionghoa berkembang sebagai 
bahasa yang populer terutama bagi mereka yang berdagang dengan para 
pengusaha Tiongkok. Bahkan cukup banyak perkumpulan-perkumpulan dagang atau 
sosial yang kini menggunakan Mandarin sebagai bahasa pengantarnya. 
Kampus-kampus universitas di berbagai kota besar di RRT dibanjiri siswa 
Indonesia yang ditugaskan orang tuanya belajar Mandarin. Cukup banyak dari 
mereka ini memiliki S1 atau S2 dari negara-negara barat.

Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang baru-baru ini disahkan juga 
lebih menjamin posisi hukum WNI keturunan Tionghoa, yang berkaitan dengan 
konsep: a citizenship based nation, salah satu program utama Baperki di 
zaman Demokrasi Terpimpin, pra Oktober 1965.

Perkembangan di atas memperbesar keinginan generasi setengah abad ke atas 
yang disinggung di atas untuk membangkitkan identitas ke-Tionghoaan yang 
sempat ditindas secara sistimatis di zaman Orde Baru selama 32 tahun. 
Kebanggaan sebagai komunitas yang secara ras berkaitan dengan bangsa 
Tionghoa berkembang pesat.

Apakah dampak perkembangan yang jelas bisa dikatakan sebagai perkembangan 
wajar ini? Mungkinkah kecenderungan ber-orientasi ke Tiongkok ini 
membangkitkan persepsi bahwa ada loyalitas berganda di dalam benak WNI 
keturunan Tionghoa? Bisakah persepsi negatif ini dijadikan landasan kegiatan 
dan tindakan rasisme yang merugikan  Komunitas Tionghoa secara keseluruhan? 
Jawabannya memerlukan analisa sejarah dan berkaitan dengan keseimbangan 
sikap antara kewajaran dan persepsi.

Perkembangan Sejarah

Sebenarnya kecenderungan yang bangkit belakangan ini serupa dengan 
perkembangan komunitas Tionghoa di zaman penjajahan Belanda pada awal abad 
ke 20. Gerakan untuk membangkitkan identitas ke Tionghoaan diawali dengan 
pendirian Tiong Hoa Hwee Kwan pada tahun 1900 - sebuah institusi pendidikan 
yang mengajar Mandarin dan kebudayaan Tionghoa - di Batavia. Belasan tahun 
kemudian terbentuklah  sebuah aliran politik yang berkiblat ke Tiongkok. 
Aliran ini mendorong komunitas Tionghoa untuk menganggap Tiongkok sebagai 
tanah airnya dan berkeyakinan bahwa Tiongkok-lah yang akan menjadi juru 
selamat politik Komunitas Tionghoa. Harian Sin Po merupakan harian utama 
yang menyebar luaskan pengertian ini.

Penjajah Belanda melihat perkembangan ini sebagai ancaman sosial yang 
berbahaya sehingga mendirikan institusi pendidikan tandingan - HCS pertama 
di Batavia pada tahun 1908, khusus untuk komunitas Tionghoa, yang 
menggunakan Belanda sebagai bahasa pengantar. Ini kemudian membangkitkan 
aliran politik yang ber-orientasi ke Belanda - tandingan aliran yang 
berkiblat  ke Tiongkok. Aliran ini memanifestasikan aspirasi politiknya 
melalui organisasi yang bernama Chung Hua Hui yang didirikan pada tahun 
1928. Aliran ini mendorong Komunitas Tionghoa untuk bersandar atas 
pemerintahan Belanda. Baginya kehadiran penjajahan Belanda menjamin posisi 
yang menguntungkan komunitas Tionghoa. Chung Hua Hui memiliki wakil-wakil di 
Volksraad.

Baru pada tahun 1932, dengan berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, lahirlah 
sebuah aliran yang jauh lebih kecil dari kedua aliran tersebut di atas, 
aliran yang berkiblat ke Indonesia. Melalui harian Sin Tit Po dan Matahari 
aliran ini menganjurkan komunitas Tionghoa menganggap Indonesia sebagai 
tanah airnya dengan semboyan lahir, hidup dan dikubur di Indonesia. 
Tokoh-tokohnya, Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien, Tan Ling Djie dan Kwee Hing 
Tjiat mengajak pengikutnya untuk terjun ke dalam kancah politik yang 
berbahaya - gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Melalui berbagai artikel di harian-harian tersebut di atas mereka kerap 
menggambarkan bagaimana peranakan Tionghoa akan menjadi orang asing di 
Tiongkok dan akan senantiasa lebih menikmati hidup di tanah airnya, yaitu 
Indonesia.

Akan tetapi aliran politik ini sangat kecil jumlah pendukungnya. Pengaruhnya 
di dalam tubuh komunitas Tionghoa-pun kecil. Dari Lahirnya aliran ini hingga 
tahun 50-an ia tidak didukung oleh komunitas yang ingin ia wakili.

Ini-pun wajar. Siapa yang bisa menerima anjuran berkiblat ke sebuah kawasan 
yang dijajah dan tidak memiliki prospek kehadiran hukum, sosial dan ekonomi 
yang menguntungkan. Apalagi pengajakan untuk menentang penjajahan Belanda 
dan sikap anti Jepang yang dianut aliran ini mengandung resiko yang sangat 
besar.

Revolusi kemerdekaan membuahkan pula ekses-ekses yang merugikan. Di satu 
pihak, komunitas Tionghoa merasa dirugikan dengan tindakan perampokan bahkan 
pembunuhan yang dilakukan oleh laskar-laskar perjuangan. Di pihak lain ada 
kesengajaan penjajah Belanda seolah-olah merekalah yang melindungi komunitas 
Tionghoa, sehingga timbul kesan di banyak orang Tionghoa bahwa dekat Belanda 
lebih aman.. Ini menimbulkan persepsi negatif terhadap komunitas Tionghoa 
yang mudah dikembangkan dalam bentuk keganasan rasisme. Fenomena adanya 
kewajaran yang menimbulkan persepsi negatif.

Walaupun demikian kehadiran aliran kecil ini memiliki dampak sejarah yang 
sangat penting. Esensi ajakan politiknya, yaitu berkiblat ke Indonesia, 
ketimbang ke Tiongkok atau Belanda,  kini menjadi sandaran utama kehadiran 
komunitas Tionghoa di Indonesia dan merupakan dasar stereotipe yang 
disinggung di atas.

Kegiatan Politik di Zaman Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan tercapai pada tahun 1945, tokoh-tokoh aliran ini terjun 
di dalam kancah politik nasional. Tan Ling Djie, sebagai sekretaris jendral, 
memainkan peranan penting di Partai Sosialis, partai yang memegang tampuk 
pimpinan pemerintahan dari tahun 1945 hingga 1948. Demikian juga Tan Po Goan 
dan Siauw Giok Tjhan - ke dua-duanya duduk di dalam kabinet pemerintahan 
sebagai menteri negara.

Kehadiran mereka sebagai pimpinan di dalam Partai Sosialis membuahkan UU 
Kewarga negaraan Indonesia 1946 yang merealisasi aspirasi perjuangan 
kelompok Tionghoa yang maha kecil ini sejak tahun 1932, yaitu menjadikan 
semua keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia WNI.

Akan tetapi aliran yang berkiblat ke Indonesia ini tetap tidak mendapat 
dukungan dari komunitas-nya. Trauma penderitaan yang dialami pada masa 
revolusi diulang oleh kebijakan anti Tionghoa pemerintah Sukiman yang pada 
tahun 1951 memenjarakan ribuan orang Tionghoa. Ini menyebabkan ratusan ribu 
orang Tionghoa menolak kewarganegaraan Indonesia yang seyogyanya dimilikinya 
pada tahun yang sama. Mereka memilih menjadi Warga Negara Tiongkok - yang 
pada waktu itu diterima di PBB sebagai one of the big Five. Puluhan Ribu 
diantaranya juga memilih "pulang" ke Tiongkok.

Siauw Giok Tjhan dan beberapa politikus Tionghoa lainnya tetap tidak 
mendapat dukungan luas dari komunitas Tionghoa, hingga didirikannya 
Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1954. 
Organisasi massa ini didirikan untuk melawan arus politik yang menginginkan 
penggantian UU Kewarganegaraan 46 dengan UU kewarganegaraan baru yang pada 
hakekatnya akan menjadikan sejumlah besar WNI keturunan Tionghoa, Warga 
Negara asing. Ironisnya, Baperki yang gigih memperjuangkan dipertahankannya 
UU Kewarganegaraan 1946 tetap kurang mendapat dukungan mayoritas Tionghoa di 
awal hidupnya.

Anjuran Baperki agar Indonesia diterima sebagai tanah air Komunitas Tionghoa 
tetap tidak "laku", walaupun Perdana Menteri Zhou En Lai pada tahun 1955, 
sesuai dengan anjuran Siauw Giok Tjhan, di berbagai kesempatan pernah 
menganjurkan Komunitas Tionghoa totok untuk menganggap Indonesia sebagai 
tanah airnya.  Apa lagi setelah dilaksanakannya PP-10 pada tahun 1959, 
sebuah kebijakan yang bukan saja melarang pedagang Tionghoa berdagang, 
tetapi juga mengusirnya dari daerah pedalaman. Puluhan ribu orang Tionghoa 
memilih "pulang" ke Tiongkok pada tahun 1959-1960. Tindakan "wajar" ini 
lagi-lagi membangkitkan persepsi adanya loyalitas berganda di dalam tubuh 
komunitas Tionghoa.

Baperki berupaya untuk menghilangkan persepsi negatif dengan kepositifan. 
Kegigihan dan kedinamisan Baperki semasa hidupnya menyebabkan ia tercatat 
sebagai organisasi Tionghoa yang paling berhasil dalam membangkitkan 
kesadaran politik dalam tubuh komunitas Tionghoa di zaman Demokrasi 
Terpimpin. Baperki mendorong komunitas Tionghoa untuk mengintegrasikan 
dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia dan diterimanya komunitas Tionghoa 
yang sudah bergenerasi hidup di Indonesia sebagai suku Tionghoa; ia 
memperjuangkan terwujudnya a citizenship based nation yang hanya mengenal 
satu macam kewarganegaraan Indonesia dan yang meniadakan dasar hukum 
rasisme; ia menganjurkan komunitas Tionghoa untuk secara aktif turut 
membangun ekonomi Indonesia, mempercepat proses kemakmuran rakyat Indonesia 
terbanyak sebagai jalan keluar yang paling efektif dalam melindungi posisi 
Tionghoa.

Dukungan komunitas Tionghoa untuk Baperki meningkat setelah Baperki 
berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Program pendidikannya mempergencar 
penanaman kebudayaan Indonesia di dalam benak puluhan ribu siswanya, dari 
tingkat sekolah dasar hingga tingkat universitas.

Pada zaman Demokrasi Terpimpin timbul polarisasi politik. Baperki, karena 
berbagai alasan politik, berpijak di pihak kiri. Di zaman ini juga lahir dan 
berkembang sebuah organisasi tandingan, LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan 
Bangsa) yang menganjurkan diterimanya konsep assimilasi total, yaitu 
pelemburan komunitas Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia sehingga 
ke-Tionghoaannya lenyap. LPKB  berada di pihak kanan. Ini menimbulkan 
perkembangan yang ironis. Paham integrasi dianggap sebagai paham kiri 
sedangkan paham assimilasi dianggap sebagai paham kanan.  Padahal bilamana 
kedua paham itu dilaksanakan secara wajar, tanpa paksaan, esensi politik 
yang terkandung adalah sama, yaitu politik berkiblat ke Indonesia dan 
menerima Indonesia sebagai tanah air.

Generasi muda Tionghoa perlu bersyukur bahwa sejarah melahirkan tokoh-tokoh 
politik Tionghoa - dari berbagai aliran politik dan agama - yang gigih dan 
tanpa pamrih meneruskan aliran politik berkiblat ke Indonesia. Ketepatan 
visi para tokoh PTI yang melahirkan politik berkiblat ke Indonesia di 
kalangan orang Tionghoa menjadi lebih nyata di masa kini. Banyak dari mereka 
yang "pulang" ke Tiongkok menyesalkan keputusannya. Masyarakat Tiongkok 
menerimanya sebagai orang-orang asing dan sebaliknya sebagian besar dari 
mereka menghadapi kenyataan Tiongkok sebagai tanah yang asing. Dan yang 
bermukim di Indonesia, sebagian besar sudah menjadi WNI.

Sayangnya visi ke Indonesia ini terhambat lagi. Ketika Soekarno tumbang dan 
Soeharto merintis zaman Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun, paham 
assimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah. Dampaknya bertentangan 
dengan apa yang diinginkan para pencetusnya.  Ke-Tionghoaan secara 
sistimatis dihilangkan secara paksa. Dimulai dengan pergantian nama. 
Penggunaan bahasa Tionghoa dilarang. Perayaan Imlek dilarang. Pertunjukan 
Liang-liong dan barongsai dilarang.  Juga dikeluarkan dan dilaksanakan 
berbagai kebijakan anti-Tionghoa yang menekan komunitas Tionghoa. Walaupun 
cukup banyak pedagang Tionghoa berhasil menjadi konglomerat di zaman ini, 
komunitas Tionghoa secara keseluruhan tumbuh sebagai komunitas anak tiri 
yang secara terpaksa menanggalkan ke Tionghoaannya selama 32 tahun.

Peristiwa Mei 98 mengukuhkan kesan bahwa komunitas Tionghoa tetap dijadikan 
kambing hitam dan tidak memperoleh perlindungan selayaknya dari aparat 
negara bilamana kemarahan masyarakat diarahkan ke dirinya, walaupun sudah 
secara "jinak" menanggalkan ke Tionghoaannya melalui proses assimilasi yang 
dihukumkan dan dipaksakan.

Ini menyebabkan berkembangnya kehausan akan segala sesuatu yang mengandung 
ke Tionghoaan. Dapatlah dimengerti mengapa ketika Soeharto tumbang pada 
tahun 98 dan kebijakan pemerintahan GusDur yang membatalkan berbagai 
larangan tersebut di atas, disambut dengan hangat, bahkan membangkitkan 
kecenderungan ber-orientasi ke Tiongkok.

Tetap berkiblat ke Indonesia sebagai jalan keluar

Perubahan positif yang digambarkan diatas memang mudah menimbulkan kesan 
bahwa posisi komunitas Tionghoa di masa kini jauh lebih baik.  Ada pula 
kesan bahwa menguatnya RRT di kancah ekonomi dan diplomasi dunia akan 
melindungi komunitas Tionghoa dari keganasan rasisme.

Kesan ini terbukti tidak tepat. Kejadian di Makasar bulan lalu menujukkan 
bahwa keganasan rasisme mudah dijangkitkan, karena benih-benih rasisme masih 
saja berkembang biak. Walaupun berbagai larangan telah dicabut dan berbagai 
UU yang secara hukum lebih melindungi posisi komunitas Tionghoa telah 
disahkan, adanya berbagai pimpinan pemerintah dan masyarakat yang 
mencanangkan rasisme, dengan mudah menegasi kemajuan yang dicapai.

Mengenyahkan benih-benih rasisme yang merupakan warisan penjajahan Belanda 
dan pemerintahan rezim Orde Baru ini memerlukan jerih payah dan perjuangan 
politik jangka panjang. Komunitas Tionghoa secara keseluruhan masih tetap 
vulnerable terhadap perubahan politik dan ekonomi Indonesia khususnya dan 
dunia umumnya. Kesenjangan ekonomi mudah menimbulkan iri hati dan 
berjangkitnya keganasan yang diarahkan ke komunitas Tionghoa. Dan persepsi 
masyarakat luas memainkan peranan penting dalam hal ini.

Ajakan sistimatis untuk ber-orientasi ke Tiongkok dalam berbagai bidang - 
yang lagi-lagi merupakan perkembangan wajar -- bisa menimbulkan persepsi 
yang salah yang berbahaya.

Bilamana ajakan ini terbatas atas pengenalan kebudayaan dan bahasa Tionghoa 
saja, seharusnya tidak akan menimbulkan persepsi negatif. Memang pada 
kenyataannya, baik film-film maupun lagu-lagu berbahasa Tionghoa semakin 
populer. Literatur Tiongkok yang membeberkan teori perperangan yang 
dikaitkan dengan teori dagang dan romantika perperangan di zaman kerajaan 
Tiongkok, pun populer di Indonesia. Demikian juga dengan penggunaan bahasa 
Tionghoa. Kian lancarnya perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok menuntut 
para partisipan perdagangan, baik yang Tionghoa maupun non Tionghoa, untuk 
fasih berbahasa Tionghoa.

Yang berbahaya adalah adanya persepsi negatif yang berkaitan dengan 
kecenderungan mengutamakan Tiongkok dan menaruhnya di atas kepentingan 
rakyat Indonesia, apapun alasannya.

Globalisasi memang menuntut kebijakan dagang pragmatik. Dengan perkembangan 
Tiongkok sebagai pabrik dunia, cukup banyak kegiatan produksi Indonesia 
dipindah ke Tiongkok.  Ini meningkatkan  pengangguran di Indonesia yang 
secara langsung membangkitkan kesenjangan ekonomi. Situasi menjadi lebih 
memburuk untuk Indonesia bilamana keuntungan yang diperoleh dari kegiatan 
dagang ini tidak dipergunakan untuk membangun ekonomi Indonesia, tetapi 
di-investasikan di Tiongkok atau negara lain.

Kecenderungan ini tentu tidak bangkit di kalangan pedagang Tionghoa saja. 
Para pedagang non Tionghoa pun memilih jalur ini karena memang pada akhirnya 
keuntungan-lah yang menjadi patokan kinerja usaha sesungguhnya. Kalau 
Tiongkok, ketimbang Indonesia, memberi sarana untuk itu, secara wajar 
kecendrungan ke Tiongkok-lah yang timbul dan berkembang.

Akan tetapi sikap demikian di kawasan yang masih mengandung benih-benih 
rasisme bisa membawa bencana yang merugikan komunitas Tionghoa secara 
keseluruhan.

Oleh karenanya organisasi-organisasi Tionghoa perlu meningkatkan kegiatan 
dan upaya menanamkan kesadaran politik yang menjadi dasar jalan selamat 
jangka panjang dengan penekanan sbb:

Komunitas Tionghoa harus tetap menyadari bahwa Indonesia adalah tanah 
airnya. Kita lahir, hidup dan dikubur di Indonesia. Aspirasi rakyat 
Indonesia hendaknya dijadikan aspirasi komunitas Tionghoa.
Komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia 
dan secara aktif turut memperjuangkan meningkatnya kemakmuran rakyat secara 
keseluruhan.
Anggapan dan harapan bahwa Komunitas Tionghoa bisa dilindungi hanya dengan 
bangkitnya RRT sebagai kekuatan ekonomi raksasa tidak tepat.
Pendekatan dengan Tiongkok didalam berbagai bidang tidak dilakukan dengan 
dampak yang merugikan Indonesia secara keseluruhan. Walaupun pendekatan ini 
bisa berkembang secara wajar, akan tetapi kalau tidak diimbangi dengan 
kebijakan yang membangun Indonesia, akan menimbulkan persepsi negatif yang 
mudah dikembangkan ke tindakan rasisme yang merugikan komunitas Tionghoa 
secara keseluruhan.









 

Kirim email ke