Salam,
Memang, sulit mendefinisikan agama, karena masing-masing penganut 
agama ada pendangan mereka sendiri. Namun yang jelas, semua agama itu 
bagus menurut penganut agamanya masing-masing. Untuk itu, marilah 
kita menjalankan ajaran agama kita sebaik2nya dan tidak menyudutkan 
agama lain. Dalam Islam berlaku; Lakum dinukum waliyadin, "bagi tuan 
agama tuan, bagi kami agama kami". Dalam agama lain, mungkin, berlaku 
istilah lain pula. Postingan berikut semoga menjadi pencerahan bagi 
kita semua.

Tabik,
Muhammad Subhan

PEMIKIRAN WILLIAM JAMES TENTANG AGAMA
Oleh: Biyanto, S.Ag.

A. Sketsa Kehidupan William James

William James dilahirkan di New York pada tanggal 11 Januari 1842 dan 
dibesarkan dalam suatu keluarga yang gemar berdiskusi mengenai 
berbagai masalah, terutama yang mendorong pemikiran bebas. Ayahnya, 
Henry James adalah seorang pemikir orisinil. Ia telah membina 
putranya dengan penuh perhatian dan memberikan bekal berbagai 
pengetahuan. Sejak kecil, William James telah menziarahi banyak 
negara Eropa dengan berbagai lembaga pendidikannya, baik yang 
terdapat di Inggris, Swiss, Perancis, maupun yang ada di Jerman. 
William James telah memulai kegiatan akademiknya di Harvard dengan 
mempelajari ilmu kedokteran. Kemudian, ia mempelajari fisika, 
psikologi dan filsafat. Tentu saja ketika itu William James masih 
berada di bawah pengaruh langsung pemikir-pemikir Universitas Harvard.

Ketika studinya selesai, William James menjadi dosen di Harvard dalam 
bidang kedokteran, psikologi dan kemudian juga filsafat. Ia bergumul 
dengan persoalan-persoalan: Apakah arti menjadi manusia dan sejauh 
mana manusia itu merdeka? Bagaimana pikiran-pikiran itu mempengaruhi 
manusia?

Selain di Amerika. Willian James juga mengajar di Inggris, Oxford dan 
Edinburgh. Ia sekaligus seorang seniman dan pemikir tentang Tuhan. 
Disamping itu, James dapat disebut sebagai tokoh pertama yang 
mempopulerkan pragmatisme dan sekaligus menjadikannya sebagai mazhab 
filsafat yang hampir dapat dijadikan tumpuan dan pegangan kebanyakan 
orang Amerika.

Karangan-karangan James berisikan pokok-pokok pemikiran mengenai 
berbagai isu filosofis yang berkembang subur pada masanya. Beberapa 
diantaranya yang populer menyangkut arti kebenaran, prinsip-prinsip 
psikologi, kemauan untuk percaya, dan sebagainya.

Tak lama kemudian, psikologi telah membawa James ke alam filsafat 
sehingga ia beralih mempelajari banyak problematika agama dan 
metafisika. Maka, terbitlah karya besarnya, "Kemauan Untuk 
Percaya" (The Will to Believe) tahun 1897, serta "Aneka Ragam 
Pengalaman Keagamaan" (The Varieties of Religious Experiences) tahun 
1902. Kemudian pada tahun 1907, terbitlah bukunya yang terkenal, 
Pragmatism. James juga telah membukukan karya ilmiahnya tentang 
problematika filsafat dengan judul "Arti Kebenaran" (The Meaning of 
the Truth) tahun 1909 dan "Dunia Plural" (Pluralistic Universe) tahun 
1909.

William James menjadi dosen filsafat di Universitas Harvard selama 
kurang lebih 31 tahun dan meninggal dunia tahun 1910, setelah 
filsafat Pragmatismenya tersebar luas di Amerika dan Eropa. Buku-
bukunya yang diterbitkan setelah ia meninggal adalah: Some Problems 
in Philoshophy (1911) dan Essays in Radical Empirism (1912).

Pengaruh William James terhadap tokoh-tokoh seperti Niels Bohr dan 
Bertrand Russel begitu besar, terutama pada ajarannya yang menyangkut 
dinamisme alam. Tidak hanya berkat tulisan-tulisannya, namun juga 
cara hidupnya, filsafat pragmatisme menjadi populer. Tanpa 
pragmatisme, melalui tokoh seperti James, dan berikutnya Pierce serta 
Dewey, maka seluruh kehidupan intelektual pada abad XX, khususnya di 
Amerika akan sukar dibayangkan.

B. Apakah Agama Itu?

Agama sesungguhnya tidak mudah diberikan definisi atau dilukiskan, 
karena agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara 
suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia. Watak agama adalah suatu subyek 
yang luas dan kompleks yang hanya dapat ditinjau dari pandangan yang 
bermacam-macam dan membingungkan. Akibatnya, terdapatlah 
keanekaragaman teori tentang watak agama seperti teori antropologi, 
sosiologi, psikologi, naturalis dan teori kealaman. Sebagai akibat 
dari keadaan tersebut, tak ada suatu definisi tentang agama yang 
dapat diterima secara universal.

Kesulitan serupa dialami oleh William James saat berusaha menemukan 
pengertian agama yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang memang 
inherent dengan agama, baik sebagai fakta sejarah, prinsip-prinsip 
dan kondisi psikologis yang menyertainya. Keberagaman teori telah 
mengakibatkan agama dipahami sebagai berkaitan dengan rasa 
ketergantungan, berasal dari rasa takut, tak dapat dipisahkan dari 
kehidupan seksual, diidentifikasi dengan rasa ketakterbatasan, dan 
sebagainya. Oleh sebab itu, James kemudian mengakui bahwa dalam 
mengetengahkan terminologi agama, ia tidak dapat berangkat dari 
teologi, sejarah agama atau antropologi. Yang paling bisa ia kerjakan 
adalah merumuskan pengertian agama melalui pendekatan psikologis.

Bagi seorang psikolog, demikian James selanjutnya, kecenderungan 
keberagamaan seseorang setidak-tidaknya mesti merupakan bagian 
menarik dari sekumpulan fakta yang berkaitan erat dengan konstitusi 
mentalnya. Masalahnya kemudian adalah, apa saja yang menjadi 
kecenderungan keberagamaan itu? Apa signifikansi filosofisnya?

Menurut James, pemahaman yang logis akan mempersembahkan dua macam 
kerangka jawaban. pertama, berhubungan dengan watak agama, asal usul 
dan sejarahnya. Kedua, berhubungan dengan signifikansi agama. 
Kerangka jawaban yang pertama jelas merupakan proposisi eksistensial 
(existencial judgement), sedangkan yang kedua adalah proposisi 
tentang nilai (a proposition of value) atau proposisi spiritual (a 
spiritual proposition). Ini berarti bahwa sebagai suatu fenomena yang 
berkategori existencial judgement, agama dapat diungkap sosoknya 
melalui kajian-kajian tentang sejarah dan asal usulnya serta, 
kemudian, bagaimana kondisi-kondisi geografis tertentu berpengaruh 
terhadap inti ajaran yang dikembangkan oleh seorang tokoh agama. 
Sedangkan kedudukan agama sebagai proposisi spiritual, mengetengahkan 
seperangkat nilai wahyu yang menjadi pedoman hidup bagi seseorang.

Menurut William James, penggabungan dua macam pendekatan itu cukup 
membantu terutama sepanjang mengetengahkan deskripsi agama 
berdasarkan fakta dan logika. Akan tetapi secara esensial, agama 
memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Telaah psikologis 
menampilkan sisi lain agama, karena menurut teori ini setiap fenomena 
agama melibatkan emosi yang sangat mendalam; ada rasa takut keagamaan 
(religious fear), rasa kagum keagamaan (religious awe), rasa senang 
keagamaan (religious joy), dan sebagainya. Sebenarnya, perasan-
perasaan itu bersifat alamiah yang ditujukan kepada obyek-obyek itu 
sendiri. Rasa takut keagamaan hanyalah rasa takut biasa yang sering 
mencekam dan menghinggapi hati manusia.

Kompleksitas fenomena keagamaan semacam itu kemudian membuat James 
menarik suatu definisi luas (overal definition) tentang agama, yang 
diakuinya sendiri sebagai agak arbitrer. Dalam hal ini James 
menyatakan:

"Agama dengan demikian mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), 
tindakan (acts) dan pengalaman individual manusia dalam kesendirian 
mereka, saat mencoba memahami hubungan dan posisi mereka dihadapan 
apa yang mereka anggap suci."

Sungguhpun definisi itu cukup luas, tetapi menurut James, tetap akan 
melahirkan kontroversi baru, terutama menyangkut kata suci (divine). 
Sebab, banyak sistem pemikiran yang dianggap religius namun tidak 
secara positif mengasumsikan adanya zat yang mahasuci. Budhisme 
termasuk dalam kategori ini. Meski misalnya, Budha dianggap berposisi 
sebagai Tuhan, tetapi secara keseluruhan, sistem Budhis itu atheis.

Menurut James, pengalaman keagamaan bersifat unik dan membuat setiap 
individu mampu untuk menyadari: Pertama, bahwa dunia merupakan bagian 
dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberikan nilai bagi 
dunia inderawi; kedua, bahwa tujuan utama manusia adalah menyatukan 
dirinya dengan alam yang lebih tinggi itu; ketiga, bahwa keyakinan 
agama membangkitkan semangat baru dalam hidup; dan keempat, bahwa 
agama mengembangkan kepastian rasa aman dan damai serta menyegarkan 
cinta dalam hubungan kemanusiaan.

C. Teori Uji Pragmatik Atas Kebenaran Agama

Teori korespondensi menempatkan kebenaran sebagai milik pasti dari 
ide yang sesuai, sedangkan kesalahan adalah yang tidak sesuai dengan 
kenyataan. Menurut James, baik pragmatis maupun intelektualis 
menerima pengertian ini sebagai hal yang pasti. Perbedaan mereka 
kemudian terletak pada pertanyaan yang muncul: Apa arti kata yang 
tepat dari kata-kata sesuai dengan kenyataan? Kapan kenyataan menjadi 
sesuatu yang sesuai dengan ide kita?

Teori korespondensi bersikukuh menyatakan bahwa pikiran yang benar 
adalah yang sesuai dengan kenyataan. Sebagaimana pandangan yang 
berlaku umum lainnya, paham ini juga mengikuti alur pengalaman yang 
sangat biasa. Dalam hal ini James menyatakan:

"Tutuplah mata anda dan berpikirlah mengenai sebuah jam yang 
terpampang di sana, niscaya anda akan memperoleh sebuah gambar sejati 
atau paling tidak anda berhasil menyalin (copy) lempeng jam tersebut 
ke dalam benak anda. Namun diakui atau tidak, pikiran anda akan 
menyangkut cara karja jam itu (sekalipun anda seorang pembuat jam), 
akan jauh lebih sedikit dari sebuah copy, betapaun ia menjalani 
pemeriksaan yang meniadakan kemungkinan terjadinya benturan dengan 
kenyataan. Lalu, ketika anda bicara mengenai fungsi penjaga waktu 
dari jam itu, sesungguhnya sukar sekali untuk melihat dengan tepat 
apa yang dapat dicopy oleh pikiran anda."

Tak pelak lagi bahwa disini terdapat persolan, manakala ide-ide tidak 
dapat dengan pasti menyalin obyek mereka, maka apa artinya kata 
"sesuai" dengan obyek itu? Dengan demikian menurut James, arti 
kebenaran harus diubah menjadi yang bekerja (works). Ide-ide yang 
benar adalah ide-ide yang dapat diberlakukan, dibuktikan, dan 
diwujudkan; sedangakan ide-ide yang salah adalah yang tidak dapat 
diberlakukan. Kebenaran adalah suatu proses dan terjadi pada suatu 
ide. Kebenaran sejati adalah verifikasi. Hal ini berarti menekankan 
perhatian kepada hasil, konsekwensi-konsekwensi, dan fakta-fakta.

Kebenaran agama juga tidak dilihat secara intrinsik, akan tetapi 
dikaji dari segi hasil-hasil dan konsekwensi-konsekwensi praktisnya 
bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kebenaran agama 
didudukkan dalam perspektif pengaruh yang ditimbulkannya atau tidak 
bertentangan dengan prinsip cash value (al-Qima al-munsharifa). 
Persoalannya kemudian adalah, bagaimana sekiranya atheisme juga 
merupakan konsep yang, seperti halnya kepercayaan keagamaan teistik, 
menimbulkan konsekwensi-konsekwensi praktis yang memuaskan, apakah 
atheisme berarti konsep yang benar?

D. Kemauan Untuk Percaya

William James menepis kemungkinan atheisme dapat melahirkan 
konsekwensi-konsekwensi, karena dua alasan. Pertama, orang yang 
percaya adanya Tuhan mempunyai peluang lebih besar untuk menemukan 
kebenaran dan mendapatkan nilai tambah praktikalnya ketimbang orang 
yang ragu-ragu. Selain itu, orang-orang yang tidak percaya adanya 
Tuhan akan bertambah resiko kehilangan segalanya dalam usaha 
mendapatkan kebenaran. Kedua, kita tetap memiliki hak untuk percaya 
meski tanpa adanya bukti yang absolut. Dengan tidak mendorong 
kemungkinan eksistensi, kepercayaan kepada adanya Tuhan akan 
memperkaya kehidupan dan sikap dengan manfaat, sehingga ketidak 
percayaan gagal mendapatkan keberuntungan itu.

Menurut James, berpihak kepada kepercayaan adanya Tuhan adalah 
pilihan sejati (genuine option) dan merupakan kesimpulan tertinggi 
dari tahapan makna pilihan yang mengedepankan kepercayaan dan 
ketidakpercayaan sebagai pilihan aktual (living option). Keperpihakan 
kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan juga merupakan pilihan 
penting, kuat, dan tidak dapat dihindarkan.

--------------------

--- In mediacare@yahoogroups.com, "RM Danardono 
HADINOTO" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> --- In mediacare@yahoogroups.com, "wahyudibaca" <wahyudibaca@> 
> wrote:
> >
> > Agama adalah jalan hidup manusia untuk menghargai manusia sebagai 
> > manusia. Agama sebagai tatanan hidup manusia untuk membangun 
cinta 
> > kasih sesama manusia di muka bumi ini. Bagi saya Agama adalah 
> > membangun surga di bumi yang kita tinggali ini. Agama itu bukan 
> > menciptakan kekerasan atau perang. Agama tidak menciptakan kasta, 
> > harta, tahta. Agama adalah cinta kasih, agama menciptakan kasih 
> > sayang kepada sesama manusia bukan menciptakan permusuhan.
> > 
> > salam
> > 
> > yudi
> 
> 
> KALAU dijalankan....
> 
> 
> 62 tahun negara ini beragama dan berbangsa, hasilnya? cinta kasih? 
> Poso, Sampit, Palu, Malukku, jihad jihadan...korupsi, pungli, 
IPDN...
>


Reply via email to