Wamena, tempat yang indah "Papua yang sesungguhnya" saya terkesan dengan rumah 
adat honey dan jembatan gantungnya....

nano biak_papua imel: [EMAIL PROTECTED]



http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/28/daerah/3791091.htm

Kala Orang Pedalaman Harus Menginap di Rumah Sakit... 

BENNY DWI KOESTANTO dan ICHWAN SUSANTO 

Rasa miris langsung menyergap ketika tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 
memasuki kompleks Rumah Sakit Umum Daerah Wamena. Tidak terbayangkan bahwa 
tempat ini adalah satu-satunya rumah sakit rujukan di wilayah Pegunungan Tengah 
Papua.

Sungguh, tempat pelayanan kesehatan yang diresmikan oleh pemerintahan sementara 
PBB di Papua pada tahun 1960-an itu tidak lebih baik dari barak pengungsian. 
Puluhan pasien anak-anak dan dewasa tampak telantar di sejumlah bangsal. Tidak 
sedikit di antaranya ditempatkan di tempat tidur pasien yang hanya beralaskan 
tikar lusuh. Tak ada selimut yang menutupi tubuh mereka, termasuk di bangsal 
anak tempat sejumlah pasien bayi dirawat. Botol-botol infus yang seharusnya 
terpasang di tempatnya hanya digantung di sembarang tempat.

Tatapan mata para pasien kepada setiap orang di sekitarnya terasa kosong, 
seperti tiada harapan. Ketika waktu makan siang tiba, juga tidak ada perubahan 
suasana. Menu nasi, sayur daun ketela pohon, sepotong tempe, serta pisang 
sebagai penyegar mereka santap tanpa ekspresi.

"Sudah enam bulan saya di sini. Rindu keluarga, teman, dan kampung," kata 
Albert Walela, pasien yang berasal dari Yahukimo, menjawab Kompas.

Kaki kanan bocah berusia 11 tahun itu patah setelah jatuh dari pohon. Sejak 
dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena, belum pernah sekali pun 
keluarganya menengok. Butuh minimal Rp 500.000 sekali jalan untuk satu orang 
menuju Wamena dari Yahukimo menggunakan pesawat udara. Jumlah uang sebanyak itu 
sepertinya mustahil diperoleh keluarga Albert yang hanya petani subsisten. 
Menempuh perjalanan darat pun tidak memungkinkan karena jalan yang ada saat ini 
belum dapat dilalui kendaraan bermotor.

Hari-hari Albert habis di atas tempat tidurnya. Sesekali ia memang keluar ke 
pintu lorong bangsalnya menggunakan kursi roda. Namun, hal tersebut tidak dapat 
mengurangi kerinduannya kepada ayah, ibu, dan kedua adiknya di kampung.

Keinginannya yang kuat untuk sembuh pun selalu patah di tengah jalan ketika 
menghadapi kenyataan tidak memadainya pengobatan yang diperolehnya. Baru 
beberapa pekan sebelumnya kakinya yang patah digips. Ia harus tinggal di rumah 
sakit hingga sembuh, dengan pertimbangan supaya kondisinya dapat selalu 
dikontrol.

Dengan melihat minimnya fasilitas peralatan yang dimiliki RSUD Wamena serta 
perawatan dan pelayanan terhadap pasien seperti Albert, tak perlu heran kalau 
banyak kasus penyebaran penyakit dan wabah di Jayawijaya yang mengakibatkan 
penderitanya meninggal dunia.

Tahun 1996, misalnya, kasus yang berkaitan dengan wabah babi di kawasan 
pedalaman Papua itu telah merenggut ratusan nyawa warga setempat. Pada tahun 
2002 pun ada kasus diare yang merenggut nyawa puluhan anak. Terakhir, Maret 
2006, kasus muntaber mengakibatkan korban tewas lebih dari 100 warga di 
Jayawijaya.

Masyarakat sepertinya semakin tidak berdaya dan kehilangan akal untuk mengadu 
dan menggugat kondisi ini. Mereka mengaku sudah kerap menyampaikan keluhan 
tentang kondisi RSUD Wamena ataupun pelayanan kesehatan secara umum di daerah 
itu baik ke Pemerintah Kabupaten Jayawijaya maupun melalui sejumlah media massa 
lokal, tetapi belum ada perubahan yang signifikan.

Kondisi RSUD Wamena dapat dikatakan tetap stagnan dari waktu ke waktu, minim 
fasilitas, tenaga medis, sekaligus obat-obatan. Masyarakat pun tetap kesulitan 
memperoleh layanan kesehatan yang memadai sekalipun di tiap distrik telah 
terdapat puskesmas dan puskesmas pembantu. Akar persoalannya sama, tingkat 
kesadaran warga tentang kesehatan masih rendah. Selain itu, sebagaimana 
dikemukakan Direktur RSUD Wamena dr Deri M Sihombing, dana sangat terbatas dan 
tak ada dokter spesialis. "Kami hanya mempunyai lima dokter umum, termasuk 
saya. Akibatnya, para dokter itu harus berbagi peran, antara menangani pasien 
di bangsal dan poliklinik. Tidak adanya dokter spesialis memang sangat 
menyulitkan diagnosa, sekaligus menjadikan kegamangan untuk melengkapi RS ini 
dengan peralatan modern karena tidak terpakai dan mahal perawatannya," ujar 
Deri, seraya menjelaskan, ada 106 tempat tidur rawat inap di RS itu dengan 
pasien rawat jalan 80-100 orang per hari.

Biaya rutin

Anggaran operasional RSUD Wamena tahun ini mencapai Rp 18 miliar. Namun, diakui 
Deri, sebagian besar anggaran itu digunakan untuk biaya rutin, terutama 
membayar gaji karyawan yang jumlahnya 150 orang. Sisanya, untuk mencicil utang 
obat-obatan pada tahun anggaran sebelumnya dan memenuhi kebutuhan makan pasien.

"Angkutan udara mengakibatkan biaya pemenuhan konsumsi pasien tambah mahal 
ketimbang daerah lain di Papua. Dibandingkan dengan Kota Jayapura, misalnya, 
biaya pemenuhan konsumsi di Wamena dua kali lebih lebih mahal," kata Deri.

Berkaitan dengan itu, Wakil Ketua DPRD Jayawijaya Saul Elopere menyatakan, 
pendapatan daerah yang sangat minim, Rp 5 miliar, berbanding terbalik dengan 
banyaknya hal yang harus dibenahi. Karena itu, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten 
Jayawijaya kesulitan mengalokasikan anggaran.

"Meski demikian, proses pembenahan terus akan dilakukan dengan memaksimalkan 
penggunaan sekaligus pemantauan dana otonomi khusus. Kabupaten Jayawijaya 
mendapat jatah dana hingga Rp 64 miliar," ujarnya.

Untuk menanggulangi ketimpangan jumlah dokter dengan warga, terutama dalam hal 
pemenuhan dokter spesialis, menurut Elopere, Pemerintah Kabupaten Wamena kini 
menjalin kerja sama dengan Universitas Hasannudin Makassar. Namun, menurut 
Deri, program itu belum berjalan optimal terutama dilihat dari segi 
kesinambungannya.

Daerah pedalaman itu tampaknya memang belum mampu menarik minat dokter.

Kirim email ke